Laman

to night

Aku adalah binatang jalang yang menghembuskan angin kedinginan. apa pun bisa kita lakukan, biarkan Hayal mu melambung tinggi menikmati sensasi lambda sehingga hayalmu menembus batas, bangun ketika kau mulai lelah akan semua, bakarlah dinding-dinding yang membuatmu tidak mempunyai waktu untuk membuka sensasi Lamda. masih ingatkah kita pernah bercerita tentang puncuk-puncuk lambda di ketinggian 200Hez aku telah menemukan seluk beluk lambda. Mari bersama menembus batas normal, yang akan membuka tabir mimpi menjadi kenyataan. aku lambda yang membagunkan dengan Argumentum ad populum, wujud nyata, ilusi, melayang maya membuka tabir biru menjadi sir Lamda






Saturday, December 10, 2011

Gandrung Melawan Arus Zaman


WARISAN INDONESIA
Tari Gandrung yang energik dan sangat dinamis, dipercaya menggambarkan kultur asli orang Osing.
Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), pada awal Juli 2011, meriah dengan pementasan Gandrung eng tay karya Dedy Luthan. Ini adalah persembahan kelima dari Dedy yang mengeksplorasi gandrung, setelah kadung Dadi Gandrung Wis (1990), Gandrung Salatun (1992), iki Buru Gandrung (1994), dan Gandrung Blambangan (1999).
“Tapi Gandrung Eng Tay merupakan tari gandrung pertama garapan saya yang tidak bercerita tentang penari gandrung, tetapi tentang kesetiaan perempuan yang diangkat dari kisah klasik China,” ungkap pimpinan Dedy Dance Company ini, yang kali ini menautkan kisah cinta Sam Pek Eng Tay dengan gerakan dinamis gandrung khas Banyuwangi.
Dedy, meski berdarah Minang, sejak lama tertarik pada kesenian gandrung. Pada 1989, ia masuk-keluar kampung di Banyuwangi memburu kesenian gandrung yang biasa dipentaskan di perhelatan pernikahan dan sejenisnya.
“Gandrung adalah misteri,” ujar Dedy, “kalau biasanya penari perempuan menjadi anggota kelompok, dalam gandrung menjadi penari sentral dan menari mengikuti rasanya, gamelan justru ditabuh mengikuti gandrung.”
“Pokoke Kepenak”
Gandrung adalah seni pertunjukan khas Banyuwangi, daerah ujung timur Pulau Jawa. Itu juga sebabnya, sejak tahun 2000, Banyuwangi ditetapkan sebagai Kota Gandrung.
Seniman-seniman tradisi Banyuwangi ini mempunyai prinsip pokoke kepenak. Misalnya dalam hal musik, apa saja yang didengarnya enak akan diadaptasi dengan rasa Banyuwangi. Angklung atau carug dan barong didapat dari kebiasaan orang Madura.
Menurut Dedy Luthan, alat musik gandrung yang asli sebenarnya hanya gendang, gong, kenong, biola, dan kloncing. Namun, perkembangan selanjutnya ditambah dengan saron, terbang, bedug. Ada juga yang menambah dengan angklung.
Sebagai daerah perlintasan dari Jawa ke Bali, budaya Banyuwangi, khususnya Osing, mendapat percampuran Bali, Jawa, dan Madura. Terlihat dari musik yang dinamis, seperti Bali, gerak tari yang ada kemiripan dengan tari Bali, tetapi di beberapa bagian lenggangnya mirip dengan tari Madura, dan kadang-kadang lembut mirip dengan tari Jawa.
Tari Gandrung—yang namanya diambil dari kata ‘gandrung’ (bahasa Jawa, artinya ‘cinta setengah mati atau tergila-gila’)—dianggap satu genre dengan tari ketuk tilu (Jawa Barat), tayub (Jawa Tengah dan Jawa Timur), lengger (Cilacap dan Banyumas), serta joged bumbung di Bali. Persamaannya, sang penari yang biasanya berpenampilan eksotik, menjadi sorotan utama dan melibatkan tamu pria untuk menari bersama.

2 comments:

  1. keren, saya menyaksikan penampilan ini dua hari berturut-turut..

    ReplyDelete
  2. wah justu saya belom tuh om,,,,,,,,,,,

    ReplyDelete

terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat