Masih soal misteri piramida di Jawa Barat, dibawah ini Pak Awang H Satyana berkisah tentang candi-candi di Jawa Barat.
Menurut Pak Awang usaha Pak Agung, Pak
Timmy dkk-nya dari Yayasan Turangga Seta yang sedang mencari bukti
bahwa Indonesia (Jawa) pada masa lalu pernah berkebudayaan sangat
tinggi, berkebudayaan Atlantis (Santos, 2005), penakluk bangsa-bangsa
seperti Afrika Utara, Timur Tengah dan Amerika (Indian), patut dipuji
melihat semangatnya menggali masa lalu. Kini, termasuk menafsirkan
bangunan dan relief candi-candi Sukuh, Cetho/Ceto/Ceta dan Penataran
sebagai candi-candi yang ditafsirkannya lebih mirip bangunan piramida di
Mesir atau piramida suku Maya di Amerika Tengah, daripada candi-candi
Jawa, sekaligus relief2 yang menggambarkan penaklukan bangsa Timur
Tengah dan Indian oleh Jawa.
Cukup menarik metode mereka menyamakan
patung-patung dan relief-relief di ketiga candi itu dengan
patung-patung dan ornamen2 dari Afrika Utara, Timur Tengah dan Indian.
Sangat jelas bahwa mereka sangat diinspirasi oleh buku Atlantis karya
Santos (2005) yang menyebutkan bahwa kebudayaan membangun piramida
berasal dari Jawa lalu menyebar ke Afrika, Timur Tengah dan Amerika
Tengah.
Tetapi, menurut hemat saya, mereka
hanya menampilkan sebagian patung dan relief yang dirasakannya mendukung
tesis Santos (2005) saja, dan tidak memasukkan banyak patung dan relief
yang sama-sekali tak berhubungan dengan Afrika Utara-Timur Tengah-
Amerika Tengah. Relief dan arca di candi-candi Penataran, Sukuh dan
Cheto tak hanya yang ada di artikel yang mereka tulis.
Candi
Sukuh dan Cetho di Kabupaten Karanganyar, sebelah timur Solo, di lereng
barat Gunung Lawu sudah diketahui sebagai candi-candi yang unik sejak
zaman Stutterheim, ahli arkeologi Belanda, menelitinya pada tahun
1930-an. Pembuatan patung dan reliefnya memang lebih kasar daripada
relief dan patung candi-candi pada umumnya, itu juga yang membuat
Stutterheim berpikir bahwa pemahatnya bukan pekerja dari kalangan
istana, tetapi pemahat biasa dari desa sekitarnya.
Beberapa prasasti yang agak kasar,
yang masih memakai tarikh candrasangkala Saka (1416-1459 M untuk Candi
Sukuh dan 1468-1475 untuk Candi Cetho) memastikan persamaan waktu urutan
pembangunan kedua candi ini yang dibangun pada masing-masing ketinggian
910 m (Sukuh) dan 1470 m dpl (Cetho). Kedua candi dibangun secara
punden berundak dan menghadap ke barat, mungkin ke arah Merapi (padahal
mereka duduk di lereng Lawu, boleh diduga bahwa Merapi pada saat itu
lebih aktif daripada Lawu, dan kedua candi ini barangkali dibangun untuk
maksud tertentu dalam penyembahan terhadap Merapi).
Tak usah mengherankan mengapa
pembangunannya menggunakan batuan andesitik sebab memang di lereng
Gunung Lawu banyak material itu, seperti halnya candi-candi di Jawa
Tengah. Gunung Lawu berada di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan
kedua candi ini dibangun di wilayah Jawa Tengah, sehingga masih
memiliki sifat2 candi Jawa Tengah yang dibangun dengan batugunung,
meskipun struktur bangunannya berbeda dari umumnya candi-candi Jawa
Tengah, juga berbeda dari candi-candi Majapahit di Jawa Timur meskipun
dibangun pada zaman Majapahit.
Tak usah diragukan lagi kronologi pembangunannya sebab tahun-tahun Saka itu (1 Saka=78 M) tercantum di candi tersebut, sehingga kita tak perlu mereka-reka kapan tahun pembuatannya.
Tak usah diherankan pula mengapa
candi-candi ini mirip piramid, sebab kedua candi dibangun di lereng
gunung yang cukup tinggi, sehingga dibangun berupa teras-teras yang
berundak yang langsung digali di lereng gunung (tiga teras di Sukuh, dan
tujuh di Cetho, dan di Sukuh masih ditambah dengan sebuah piramida
besar ditopangi oleh sebuah lingga bertingkat dan sebuah sistem saluran
air yang unik.
Pak Agung dkk dari Yayasan
Turangga Seta hanya menampilkan patung2 dan relief2 yang dirasa
mirip-mirip dengan gambaran orang2 dari Afrika, Timur Tengah dan Indian
-sehingga cocok dengan tesis Santos (2005) tentang Indonesia adalah
Atlantis yang pernah menaklukan Afrika, Timur Tengah dan Amerika.
Padahal, ikonografi utama kedua candi bukanlah patung dan relief yang
digambarkan Pak Agung dkk, melainkan figur-figur terpentingnya adalah
(baik relief maupun arca) menggambarkan Bima dan adiknya Sadewa.
Sekalipun mereka merupakan tokoh2 Mahabharata, di sini mereka muncul
dalam adegan-adegan khas Jawa.
Gambaran2 Bima tampaknya berasal dari
lakon Dewaruci yang dikenal baik oleh para penggemar wayang Jawa. Sadewa
juga muncul pada sebuah karangan masa lalu bernama Sudamala, yang
menceritakan bagaimana Sadewa berhasil meruwat Uma dari kutukan yang
telah mengubahnya menjadi Durga. Tokoh lain yang menampilkan ideologi
penyelamatan zaman itu adalah burung mistis Garuda yang muncul beberapa
kali bukan sebagai tunggangan Wisnu tetapi sebagai tokoh otonom, Jatayu
atau Garudeya, lakon dari pupuh pertama Mahabharata.
Beberapa arca, artefak penting
telah dipindahkan ke museum Jakarta atau museum Surakarta entah kenapa
sehingga bisa membuat ketidaklengkapan penafsiran. Misalnya di atas
teras paling atas piramid di Candi Sukuh itu ada sebuah lingga besar
yang kini ada di museum Jakarta. Juga dulu ada arca besar Bima yang kini
telah berpindah sebagai koleksi pribadi seorang kolektor di Solo.
Akan halnya Candi Penataran/Panataran
di dekat kota Blitar beradasarkan candrasengkala yang dipahatkan di
candi itu diketahui bahwa candi ini pun dibangun pada zaman Majapahit
pada 1369-1375 M. Candi induknya yang terdiri atas tiga tingkat pun
dipenuhi relief yang lebih menceritakan kisah-kisah pewayangan Ramayana
dibandingkan bangsa Jawa menyerang suku Indian seperti ditafsirkan pak
Agung dkk. Tingkat pertama dihiasi relief Ramayana dengan adegan Hanoman
datang di Alengka sebagai utusan Rama sampai tewasnya Kumbakarna. Di
tingkat kedua dipahatkan kisah Kresnayana, cerita tentang bagaimana
Kresna memperoleh istrinya, Rukmini. Candrasengkala termuda yang
ditemukan di candi ini berangka tahun 1337 Saka (1415 M).
Pendek kata, meskipun Sukuh dan
Cheto unik dalam struktur bangunannya, kedua candi ini masih didominasi
oleh cerita pewayangan yang merupakan sinkretisme antara kebudayaan
India dan Jawa, sebagaimana kita tahu yang merupakan pandangan hidup
agama-agama Hindu (Penataran) dan Syiwa (Sukuh dan Cheto, yang di
Indonesia berbentuk lingga). Keunikan struktur bangunan yang mirip
piramid hanyalah sebagian kecil saja dari struktur candi, begitu juga
keberadaan relief dan arca yang dirasa aneh.
Perlu diingat bahwa pada zaman
Majapahit, Indonesia berhubungan sangat luas dengan wilayah-wilayah di
seluruh Indonesia dan sekitarnya melalui program ekspansi selama zaman
Tribuana Tunggadwi sampai Hayam Wuruk saat Gajah Mada menjadi
mahapatihnya, baik dalam bentuk penaklukan maupun hubungan dagang saja.
Pembangunan Sukuh dan Cheto serta Penataran sebagian ada pada zaman
ekspansi itu.
Itu tak berarti sama sekali
bahwa Indonesia (Jawa) adalah Atlantis. Itu hanya berarti bahwa pada
zaman Majapahit memang pernah terjadi kejayaan Nusantara melalui politik
ekspansi Sumpah Palapa, meskipun tokh tak sampai bertahan 200 tahun
karena Majapahit yang jaya pun akhirnya mengalami ’sirna ilang kertaning
bhumi - 1400 Saka (1478 M).
Maka buat saya, Candi Sukuh, Cetho dan Penataran tak membuktikan apa-apa tentang tesis Santos (205).
No comments:
Post a Comment
terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat