Laman

to night

Aku adalah binatang jalang yang menghembuskan angin kedinginan. apa pun bisa kita lakukan, biarkan Hayal mu melambung tinggi menikmati sensasi lambda sehingga hayalmu menembus batas, bangun ketika kau mulai lelah akan semua, bakarlah dinding-dinding yang membuatmu tidak mempunyai waktu untuk membuka sensasi Lamda. masih ingatkah kita pernah bercerita tentang puncuk-puncuk lambda di ketinggian 200Hez aku telah menemukan seluk beluk lambda. Mari bersama menembus batas normal, yang akan membuka tabir mimpi menjadi kenyataan. aku lambda yang membagunkan dengan Argumentum ad populum, wujud nyata, ilusi, melayang maya membuka tabir biru menjadi sir Lamda






Saturday, December 3, 2011

MISTERI DI CANDI CETHO DAN PENATARAN



Masih soal misteri piramida di Jawa Barat, dibawah ini Pak Awang H Satyana berkisah tentang candi-candi di Jawa Barat.

Menurut Pak Awang usaha Pak Agung, Pak Timmy dkk-nya dari Yayasan Turangga Seta yang sedang mencari bukti bahwa Indonesia (Jawa) pada masa lalu pernah berkebudayaan sangat tinggi, berkebudayaan Atlantis (Santos, 2005), penakluk bangsa-bangsa seperti Afrika Utara, Timur Tengah dan Amerika (Indian), patut dipuji melihat semangatnya menggali masa lalu. Kini, termasuk menafsirkan bangunan dan relief candi-candi Sukuh, Cetho/Ceto/Ceta dan Penataran sebagai candi-candi yang ditafsirkannya lebih mirip bangunan piramida di Mesir atau piramida suku Maya di Amerika Tengah, daripada candi-candi Jawa, sekaligus relief2 yang menggambarkan penaklukan bangsa Timur Tengah dan Indian oleh Jawa.

Cukup menarik metode mereka menyamakan patung-patung dan relief-relief di ketiga candi itu dengan patung-patung dan ornamen2 dari Afrika Utara, Timur Tengah dan Indian. Sangat jelas bahwa mereka sangat diinspirasi oleh buku Atlantis karya Santos (2005) yang menyebutkan bahwa kebudayaan membangun piramida berasal dari Jawa lalu menyebar ke Afrika, Timur Tengah dan Amerika Tengah.

Tetapi, menurut hemat saya, mereka hanya menampilkan sebagian patung dan relief yang dirasakannya mendukung tesis Santos (2005) saja, dan tidak memasukkan banyak patung dan relief yang sama-sekali tak berhubungan dengan Afrika Utara-Timur Tengah- Amerika Tengah. Relief dan arca di candi-candi Penataran, Sukuh dan Cheto tak hanya yang ada di artikel yang mereka tulis.

Candi Sukuh dan Cetho di Kabupaten Karanganyar, sebelah timur Solo, di lereng barat Gunung Lawu sudah diketahui sebagai candi-candi yang unik sejak zaman Stutterheim, ahli arkeologi Belanda, menelitinya pada tahun 1930-an. Pembuatan patung dan reliefnya memang lebih kasar daripada relief dan patung candi-candi pada umumnya, itu juga yang membuat Stutterheim berpikir bahwa pemahatnya bukan pekerja dari kalangan istana, tetapi pemahat biasa dari desa sekitarnya.

Beberapa prasasti yang agak kasar, yang masih memakai tarikh candrasangkala Saka (1416-1459 M untuk Candi Sukuh dan 1468-1475 untuk Candi Cetho) memastikan persamaan waktu urutan pembangunan kedua candi ini yang dibangun pada masing-masing ketinggian 910 m (Sukuh) dan 1470 m dpl (Cetho). Kedua candi dibangun secara punden berundak dan menghadap ke barat, mungkin ke arah Merapi (padahal mereka duduk di lereng Lawu, boleh diduga bahwa Merapi pada saat itu lebih aktif daripada Lawu, dan kedua candi ini barangkali dibangun untuk maksud tertentu dalam penyembahan terhadap Merapi).

Tak usah mengherankan mengapa pembangunannya menggunakan batuan andesitik sebab memang di lereng Gunung Lawu banyak material itu, seperti halnya candi-candi di Jawa Tengah. Gunung Lawu berada di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan kedua candi ini dibangun di wilayah Jawa Tengah, sehingga masih memiliki sifat2 candi Jawa Tengah yang dibangun dengan batugunung, meskipun struktur bangunannya berbeda dari umumnya candi-candi Jawa Tengah, juga berbeda dari candi-candi Majapahit di Jawa Timur meskipun dibangun pada zaman Majapahit.

Tak usah diragukan lagi kronologi pembangunannya sebab tahun-tahun Saka itu (1 Saka=78 M) tercantum di candi tersebut, sehingga kita tak perlu mereka-reka kapan tahun pembuatannya.

Tak usah diherankan pula mengapa candi-candi ini mirip piramid, sebab kedua candi dibangun di lereng gunung yang cukup tinggi, sehingga dibangun berupa teras-teras yang berundak yang langsung digali di lereng gunung (tiga teras di Sukuh, dan tujuh di Cetho, dan di Sukuh masih ditambah dengan sebuah piramida besar ditopangi oleh sebuah lingga bertingkat dan sebuah sistem saluran air yang unik.

Pak Agung dkk dari Yayasan Turangga Seta hanya menampilkan patung2 dan relief2 yang dirasa mirip-mirip dengan gambaran orang2 dari Afrika, Timur Tengah dan Indian -sehingga cocok dengan tesis Santos (2005) tentang Indonesia adalah Atlantis yang pernah menaklukan Afrika, Timur Tengah dan Amerika. Padahal, ikonografi utama kedua candi bukanlah patung dan relief yang digambarkan Pak Agung dkk, melainkan figur-figur terpentingnya adalah (baik relief maupun arca) menggambarkan Bima dan adiknya Sadewa. Sekalipun mereka merupakan tokoh2 Mahabharata, di sini mereka muncul dalam adegan-adegan khas Jawa.

Gambaran2 Bima tampaknya berasal dari lakon Dewaruci yang dikenal baik oleh para penggemar wayang Jawa. Sadewa juga muncul pada sebuah karangan masa lalu bernama Sudamala, yang menceritakan bagaimana Sadewa berhasil meruwat Uma dari kutukan yang telah mengubahnya menjadi Durga. Tokoh lain yang menampilkan ideologi penyelamatan zaman itu adalah burung mistis Garuda yang muncul beberapa kali bukan sebagai tunggangan Wisnu tetapi sebagai tokoh otonom, Jatayu atau Garudeya, lakon dari pupuh pertama Mahabharata.

Beberapa arca, artefak penting telah dipindahkan ke museum Jakarta atau museum Surakarta entah kenapa sehingga bisa membuat ketidaklengkapan penafsiran. Misalnya di atas teras paling atas piramid di Candi Sukuh itu ada sebuah lingga besar yang kini ada di museum Jakarta. Juga dulu ada arca besar Bima yang kini telah berpindah sebagai koleksi pribadi seorang kolektor di Solo.

Akan halnya Candi Penataran/Panataran di dekat kota Blitar beradasarkan candrasengkala yang dipahatkan di candi itu diketahui bahwa candi ini pun dibangun pada zaman Majapahit pada 1369-1375 M. Candi induknya yang terdiri atas tiga tingkat pun dipenuhi relief yang lebih menceritakan kisah-kisah pewayangan Ramayana dibandingkan bangsa Jawa menyerang suku Indian seperti ditafsirkan pak Agung dkk. Tingkat pertama dihiasi relief Ramayana dengan adegan Hanoman datang di Alengka sebagai utusan Rama sampai tewasnya Kumbakarna. Di tingkat kedua dipahatkan kisah Kresnayana, cerita tentang bagaimana Kresna memperoleh istrinya, Rukmini. Candrasengkala termuda yang ditemukan di candi ini berangka tahun 1337 Saka (1415 M).

Pendek kata, meskipun Sukuh dan Cheto unik dalam struktur bangunannya, kedua candi ini masih didominasi oleh cerita pewayangan yang merupakan sinkretisme antara kebudayaan India dan Jawa, sebagaimana kita tahu yang merupakan pandangan hidup agama-agama Hindu (Penataran) dan Syiwa (Sukuh dan Cheto, yang di Indonesia berbentuk lingga). Keunikan struktur bangunan yang mirip piramid hanyalah sebagian kecil saja dari struktur candi, begitu juga keberadaan relief dan arca yang dirasa aneh.

Perlu diingat bahwa pada zaman Majapahit, Indonesia berhubungan sangat luas dengan wilayah-wilayah di seluruh Indonesia dan sekitarnya melalui program ekspansi selama zaman Tribuana Tunggadwi sampai Hayam Wuruk saat Gajah Mada menjadi mahapatihnya, baik dalam bentuk penaklukan maupun hubungan dagang saja. Pembangunan Sukuh dan Cheto serta Penataran sebagian ada pada zaman ekspansi itu.

Itu tak berarti sama sekali bahwa Indonesia (Jawa) adalah Atlantis. Itu hanya berarti bahwa pada zaman Majapahit memang pernah terjadi kejayaan Nusantara melalui politik ekspansi Sumpah Palapa, meskipun tokh tak sampai bertahan 200 tahun karena Majapahit yang jaya pun akhirnya mengalami ’sirna ilang kertaning bhumi - 1400 Saka (1478 M).
Maka buat saya, Candi Sukuh, Cetho dan Penataran tak membuktikan apa-apa tentang tesis Santos (205).

No comments:

Post a Comment

terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat