Ada yang berbeda di pematang sawah pedesaan Wonosobo,
Jawa Tengah. Ketika bebek-bebek berkoak riuh-rendah, terdengar suara
gamelan dari tudung bambu di tengah semilir angin dan gemericik air.
Bentuknya mirip pengki raksasa, tingginya sekitar satu meter. Terbuat
dari anyaman bambu yang diperkuat karet dari ban bekas. Di bagian atap
ditambahkan ijuk yang ujungnya disimpul sehingga serupa tanduk yang
melengkung.
Masyarakat setempat menyebut alat ini sebagai kowangan. Fungsi
awalnya sebagai tempat berteduh penggembala bebek kala panas ataupun
hujan. Untuk mengusir jenuh, alat ini akhirnya dimainkan dan menimbulkan
suara yang menakjubkan. Di bagian dalam dipasang enam utas tali dari
ijuk yang melintang. Di bagian bawah diselipkan tiga batang bambu tipis
sehingga akhirnya menimbulkan bebunyian. Kowangan pun beralih fungsi
menjadi alat musik. Inilah yang disebut musik bundengan.
Tak ada catatan pasti kapan dan siapa penemunya. Kemungkinan sudah
ada sejak awal abad ke-20. Barnawi pernah dikenal sebagai pelestari
bundengan. Lewat tangannya pula alat musik ini mengalami sedikit
perubahan. Penggunaan ijuk sebagai dawai diganti senar raket supaya
lebih nyaring. Kemahirannya mencipta nada membuat bundengan jadi
pengiring tari lengger di beberapa kesempatan.
Sayangnya, Barnawi meninggal 30 September 2010. Hanya tersisa dua
pewaris yang ia percaya jadi penerus bundengan, yaitu putri bungsunya
yang masih SMP dan Hengki Krisnawan (41).
Boleh jadi, saat ini hanya Hengki yang memopulerkan bundengan agar
dikenal orang banyak. Di kampungnya, Sruni, Jaruksari, Wonosobo, ia
menggerakkan mudamudi membentuk grup lenggeran. Sebagai pegawai di
Kantor Budaya dan Pariwisata Pemerintah Kabupaten Banjarnegara,
penggemar motor besar ini kerap mengundang wisatawan asing ke tempatnya
guna menyaksikan tari lengger dengan iringan bundengan.
Lucu juga bentuknya, ternyata awalnya buat berteduh ya.
ReplyDeleteiya om makasih udah maen ke ogut om
ReplyDelete