Tidak sembarang batu digunakan. Dan, tidak sembarang orang bisa memainkan.

Hingga suatu hari, Hikayat Manao, salah seseorang tetua yang
dihormati di Nias mendapat pesan dari seorang etnimusikolog, Rizaldi
Siagiaan. “Kami bertemu saat konser multimedia Megalitikum dan Kuantum
yang digelar di Jakarta, _ 2005 lalu. Saat itu, dia berpesan agar saya
menemukan kembali Feta Batu yang sudah sempat punah itu,” ungkap
Hikayat.
Jelas, ini bukan amanat yang gampang untuk dilaksanakan, justru
sebaliknya membuat pusing bapak empat anak ini._”Musik batu, batu musik.
Apa itu musik batu? Pertanyaan itu yang terus bergema dalam kepala
saya,” kenangnya. Bermula dari situlah, proses pencarian (kembali)
musik batu mulai dilakukannya. Diawali dengan mengetuk batu-batu yang
ada di pekarangan rumah_dengan pemukul kayu. Ternyata bunyi yang keluar
dari batu-batu_ itu sama dan senada. ”Kemana harus mencari batu yang
bunyinya macam-macam untuk bisa menganyam melodi?” pertanyaan itu
kembali memenuhi pikirannya.
Di tengah kepusingan yang menerpa, pria yang lahir pada 12 Juni 1958
ini lantas bergegas menuju hutan yang tak jauh dari Desa Bawömataluo,
tempat tinggalnya seharihari. Setengah jam kemudian ia terperangah
sebab menemukan pagar batu yang cukup panjang. Ini rupanya pembatas desa
yang dihikayatkan turun-temurun. Spontan ia berseru ke arah pagar dalam
bahasa Nias yang artinya, “Oh, leluhurku, aku baru mendapat amanat
untuk menemukan musik batu. Pernah kudengar kalian leluhurku
memilikinya. Tunjukkanlah batu bermusik kalau cerita yang kudengar itu
benar.”
No comments:
Post a Comment
terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat