Laman

to night

Aku adalah binatang jalang yang menghembuskan angin kedinginan. apa pun bisa kita lakukan, biarkan Hayal mu melambung tinggi menikmati sensasi lambda sehingga hayalmu menembus batas, bangun ketika kau mulai lelah akan semua, bakarlah dinding-dinding yang membuatmu tidak mempunyai waktu untuk membuka sensasi Lamda. masih ingatkah kita pernah bercerita tentang puncuk-puncuk lambda di ketinggian 200Hez aku telah menemukan seluk beluk lambda. Mari bersama menembus batas normal, yang akan membuka tabir mimpi menjadi kenyataan. aku lambda yang membagunkan dengan Argumentum ad populum, wujud nyata, ilusi, melayang maya membuka tabir biru menjadi sir Lamda






Friday, July 20, 2012

Menapak Tilas Jejak Kesakralan Hindu di Gedongsongo


Diasz Kundi
Kompleks candi ini menyimpan misteri berabad-abad yang belum terjawab. Perjalanan ke puncak candi yang berat akan menjawab pertanyaan, mengapa nenek moyang kita mendirikan tempat ibadah di puncak pegunungan?
Masyarakat sekitar menyebut kompleks candi itu Gedongsongo. Dalam bahasa Jawa, ‘gedong’ berarti rumah atau bangunan, sedangkan ‘songo’ berarti sembilan. Secara harfiah, Gedongsongo berarti ‘sembilan bangunan’. Meskipun pengunjung hanya menyaksikan lima kompleks bangunan, masyarakat yakin bahwa awalnya kawasan ini memiliki sembilan kompleks bangunan candi.
Bangunan candi itu berderet dari bawah ke puncak perbukitan Ungaran. Baik warga maupun para arkeolog Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah mempunyai beberapa tafsiran terhadap maksud peletakan bangunan itu. Tafsiran pertama menganggapnya sebagai simbol hierarki kesucian.  Artinya, candi yang di atas lebih suci dari candi yang di bawah. Tafsiran kedua mengatakan, deretan ini menunjukkan sebuah prosesi keagamaan yang berjalan dari candi terbawah hingga ke atas.
Adapun tafsiran ketiga menganggapnya sebagai gambaran dari sembilan lubang yang terdapat pada tubuh manusia, yaitu sepasang (dua) mata, sepasang (dua) telinga, dua lubang hidung, mulut, kemaluan, dan anus. Banyak anggota masyarakat berkeyakinan bahwa empat bagian kompleks candi yang tak terlihat itu mengalami proses moksa (menghilang secara gaib).  Sampai kini keyakinan itu tertanam kuat dalam benak masyarakat. Mbah Sapto, seorang budayawan setempat, dan rekannya, Ki Suro Menggolo, adalah sebagian di antara orang-orang yang menjunjung keyakinan itu.  Menurut mereka, candi paling bawah yang mengawali rangkaian itu adalah lubang kemaluan, lalu berderet ke atas. “Sehingga bisa diilustrasikan, candi-candi ini tegak berdiri menggambarkan sembilan lubang pada [tubuh] manusia secara utuh,” tutur mereka.

Museum Taman Prasasti, Serpihan Kisah Nisan-nisan Tua


Warisan Indonesia/Ibnu Setiadi
Ada kisah yang tersembunyi pada nisan-nisan tua bekas kuburan kaum elite masa kolonial. Sayang, salah satu kompleks permakaman paling tua di dunia itu tak terurus. Di situ bersemayam jenazah para gubernur jenderal, panglima perang, hingga aktivis yang mati muda, Soe Hok Gie. Di taman ini terlukis peristiwa sepanjang massa dari goresan prasasti mereka yang pergi.
Di sini pula tertanam kehijauan yang kita dambakan. Pesan itu tertulis di batu penanda peresmian Museum Taman Prasasti, Jalan Tanah Abang 1, Gambir, Jakarta Pusat. Tertanggal 9 Juli 1977 oleh Pejabat Gubernur KDKI Jakarta Letjen TNI (Marinir) Ali Sadikin. Warga sekitar lebih suka menyebutnya Taman Prasasti Kebun Jahe. Pada masa penjajahan Belanda, bangunan itu adalah sebuah permakaman mewah buat orangorang terpandang saat itu. Namun, Pemerintah DKI Jakarta mengubahnya menjadi museum. Dari kejauhan, museum itu sangat kentara.
Gaya arsitekturnya kontras dengan bangunanbangunan lain di sekitarnya. Delapan belas pilar kokoh yang menjulang tinggi di gerbang amat menyita perhatian. Saat membangun museum ini pada tahun 1844, para perancangnya sengaja mengadopsi arsitektur klasik gaya Doria. Hal yang kerap ditemui di kantor-kantor pengadilan.
Dua meriam perunggu di kanan-kiri museum seolah-olah menyambut para pengunjung. Di pagar sekeliling tembok depan terpajang sekitar 35 nisan dari batu gunung biru atau batu pantai yang keras dari India Selatan. Semakin tinggi jabatan seseorang, semakin bagus kualitas batu yang digunakan.
Berbeda dengan museum pada umumnya, Museum Taman Prasasti ini tidak memajang koleksinya di ruang pamer yang berhias sorotan lampu dan ruangan dengan pengatur suhu. Bangunan itu sejatinya memang dirancang sebagai museum terbuka.
Nisan-nisan kuburan orang yang meninggal pada zaman kolonial Belanda pun dibiarkan apa adanya. Namun, ada juga yang sudah diinventaris dan dikelompokkan. Kesan angker dan seram pun sirna dengan suasana rindangnya pepohonan, kicauan burung, bentuk nisan dan patung yang beraneka corak unsur dan bahasa