Perhelatan Yayasan Saraswati yang sudah melahirkan Ubud Writers &
Readers Festival (UWRF) tahun ini semakin semarak, heboh, dan menarik.
Kenduri yang berlangsung sejak 8 tahun ini dijuluki “Among The Top Six
Best Literary Festivals in The World” oleh Harper Bazaar, United
Kingdom. Apalagi, kali ini tema sentralnya bertajuk “Nandurin Karang
Awak (Cultivate The Land Within)”, kalimat yang direnggut dari salah
satu geguritan—syair yang dinyanyikan—karya pujangga dan pendeta besar
Bali yang sangat dihormati: Ida Pedanda Made Sidemen.
“Dalam karyanya itu, Ida Pedanda Made Sidemen menitipkan pesan kepada
kita,” tulis Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika, di dalam buku acara,
“agar mengisi hidup ini dengan menimba ilmu sebanyakbanyaknya dan
selalu berpegang pada kebenaran. Beliau yakin, hanya dengan pengetahuan
dan keluhuran budi, manusia akan dapat mengatasi segala tantangan
hidup.”
Bupati Gianyar Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati menyatakan, tema besar itu mengandung nilai-nilai
kearifan lokal, tradisi, dan spiritualitas Bali. “Yang nantinya diharapkan menjadi inspirasi bagi para peserta festival dalam berkarya dan berdialog dengan mengedepankan dimensi kesederhanaan hidup, kekayaan batin, dan kemerdekaan jiwa.”
kearifan lokal, tradisi, dan spiritualitas Bali. “Yang nantinya diharapkan menjadi inspirasi bagi para peserta festival dalam berkarya dan berdialog dengan mengedepankan dimensi kesederhanaan hidup, kekayaan batin, dan kemerdekaan jiwa.”
Sementara Tjokorda Raka Kertyasa, sebagai pembina festival, bertanya,
apa yang kita tanam dalam diri kita? Jawabannya, “Tubuh ini adalah
bumi, yang terdiri dari lapisan-lapisan, elemen-elemen Panca Maha Butha
dan roh atau jiwa.”
Wayan Juniartha, koordinator program untuk Indonesia, menjelaskan
lebih lanjut bahwa Nandurin Karang Awak (menanami tanah sendiri) ada
dalam geguritan Salampah Laku, puisi panjang tradisional. Dalam
geguritan itu disebutkan: “… idep beline mangkin, makinkin mayasa lacur,
tong ngelah karang sawah, karang awake tandurin… (kehendak kakanda
sekarang, mulai melakukan tapa kesederhanaan, tidak memiliki tanah
sawah, maka tubuh diri-lah yang ditanami).”
“Mengolah diri sendiri sebagaimana mengolah sawah—menyebarkan benih
kebajikan, memotong rumput-rumput keinginan, serta memanen dengan
saksama agar hanya biji budi terbaik yang dihasilkan—merupakan konsep
filosofis penting dalam tataran spiritual Bali,” kata Juniartha kepada
Warisan Indonesia.
No comments:
Post a Comment
terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat