Laman

to night

Aku adalah binatang jalang yang menghembuskan angin kedinginan. apa pun bisa kita lakukan, biarkan Hayal mu melambung tinggi menikmati sensasi lambda sehingga hayalmu menembus batas, bangun ketika kau mulai lelah akan semua, bakarlah dinding-dinding yang membuatmu tidak mempunyai waktu untuk membuka sensasi Lamda. masih ingatkah kita pernah bercerita tentang puncuk-puncuk lambda di ketinggian 200Hez aku telah menemukan seluk beluk lambda. Mari bersama menembus batas normal, yang akan membuka tabir mimpi menjadi kenyataan. aku lambda yang membagunkan dengan Argumentum ad populum, wujud nyata, ilusi, melayang maya membuka tabir biru menjadi sir Lamda






Monday, December 12, 2011

Kepingan Fakta di Liang Bua




Penemuan situs manusia purba Liang Bua pada tahun 2003 mengguncang dunia arkeologi. Digali pertama kali pada tahun 1965, hingga kini temuan ini terus menjadi perdebatan di kalangan arkeolog.
BENARKAH Homo floresiensis yang tengkorak dan kerangkanya ditemukan di Liang Bua, Flores, oleh arkeolog Indonesia dan Australia tahun 2003 berkerabat dengan Pithecanthropus erectus—manusia kera yang berjalan tegak?
Atau, temuan yang diumumkan oleh arkeolog Michael Morwood dari Universitas Wollongong, Australia, secara sepihak pada tahun 2003 itu merupakan tengkorak homo sapiens—manusia modern—yang mengidap penyakit sehingga bertubuh kerdil hingga dijuluki manusia hobbit?
Terlepas dari perdebatan ilmiah yang hingga kini terus berlangsung itu, situs Liang Bua yang berada di gua karst yang dihiasi stalaktit di ketinggian 500 di atas permukaan laut (dpl) dan berjarak sekitar 25 kilometer utara Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu menyimpan kepingan fakta jejak peradaban Flores purba.
Ditempuh sekitar 2,5 jam perjalanan dengan mobil dari pusat kota Ruteng, jalanan menuju Liang Bua—yang artinya gua dingin—itu berkelok dan tanpa papan penunjuk jalan. Berada di Kampung Rampasasa, Desa Waemulu, Kecamatan Waeriri, Kabupaten Manggarai, situs Liang Bua berada tak jauh dari persawahan dan dikelilingi hutan.
Menurut pemandu, Cornelis Jaman (38), situs Liang Bua memiliki lebar 50 meter, panjang 40 meter, dan tinggi dinding dari permukaan tanah 25 meter. “Menurut legenda rakyat sini, gua ini diciptakan nenek moyang kami dengan bantuan makhluk gaib, tetapi tentu ini sekadar legenda,” ujarnya tanpa meneruskan ceritanya.
Penggalian (ekskavasi) situs terus berlangsung hingga kini dan memperkerjakan warga setempat dengan upah Rp 40.000 per hari. Beberapa nama arkeolog yang pernah melakukan penggalian itu, menurut Cornelis, adalah Michael Morwood, Raden Panji Soejono, Thomas Sutikno, Rokus Duwe Awe, dan Sri Warsisto. “Penggalian terus berlangsung, sehari menjelang Lebaran kemarin dihentikan, seusai Lebaran akan dilanjutkan,” katanya kepada Warisan Indonesia, akhir Agustus lalu.
Sedikitnya, ada 3 lubang besar yang digali membujur dan melintang dengan kedalaman bervariasi berkisar 3-6 meter yang diberi pembatas tali rafia, agar situs tidak rusak oleh pengunjung. Di permukaan tampak beberapa kantong plastik berisi serpihan tulang diklasifikasi dan diberi kode tertentu. “Kemarin, kami menemukan kerangka tikus purba, ini kantong tulangnya,” kata Blacius Nggadu (43), kuli gali yang sehari-hari membantu para antropolog, sembari menunjukkan temuan tulang belulang di telapak tangannya.

No comments:

Post a Comment

terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat