Penemuan situs manusia purba Liang Bua pada tahun 2003
mengguncang dunia arkeologi. Digali pertama kali pada tahun 1965, hingga
kini temuan ini terus menjadi perdebatan di kalangan arkeolog.
BENARKAH Homo floresiensis yang tengkorak dan kerangkanya ditemukan
di Liang Bua, Flores, oleh arkeolog Indonesia dan Australia tahun 2003
berkerabat dengan Pithecanthropus erectus—manusia kera yang berjalan
tegak?
Atau, temuan yang diumumkan oleh arkeolog Michael Morwood dari
Universitas Wollongong, Australia, secara sepihak pada tahun 2003 itu
merupakan tengkorak homo sapiens—manusia modern—yang mengidap penyakit
sehingga bertubuh kerdil hingga dijuluki manusia hobbit?
Terlepas dari perdebatan ilmiah yang hingga kini terus berlangsung
itu, situs Liang Bua yang berada di gua karst yang dihiasi stalaktit di
ketinggian 500 di atas permukaan laut (dpl) dan berjarak sekitar 25
kilometer utara Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa
Tenggara Timur (NTT), itu menyimpan kepingan fakta jejak peradaban
Flores purba.
Ditempuh sekitar 2,5 jam perjalanan dengan mobil dari pusat kota
Ruteng, jalanan menuju Liang Bua—yang artinya gua dingin—itu berkelok
dan tanpa papan penunjuk jalan. Berada di Kampung Rampasasa, Desa
Waemulu, Kecamatan Waeriri, Kabupaten Manggarai, situs Liang Bua berada
tak jauh dari persawahan dan dikelilingi hutan.
Menurut pemandu, Cornelis Jaman (38), situs Liang Bua memiliki lebar
50 meter, panjang 40 meter, dan tinggi dinding dari permukaan tanah 25
meter. “Menurut legenda rakyat sini, gua ini diciptakan nenek moyang
kami dengan bantuan makhluk gaib, tetapi tentu ini sekadar legenda,”
ujarnya tanpa meneruskan ceritanya.
Penggalian (ekskavasi) situs terus berlangsung hingga kini dan
memperkerjakan warga setempat dengan upah Rp 40.000 per hari. Beberapa
nama arkeolog yang pernah melakukan penggalian itu, menurut Cornelis,
adalah Michael Morwood, Raden Panji Soejono, Thomas Sutikno, Rokus Duwe
Awe, dan Sri Warsisto. “Penggalian terus berlangsung, sehari menjelang
Lebaran kemarin dihentikan, seusai Lebaran akan dilanjutkan,” katanya
kepada Warisan Indonesia, akhir Agustus lalu.
Sedikitnya, ada 3 lubang besar yang digali membujur dan melintang
dengan kedalaman bervariasi berkisar 3-6 meter yang diberi pembatas tali
rafia, agar situs tidak rusak oleh pengunjung. Di permukaan tampak
beberapa kantong plastik berisi serpihan tulang diklasifikasi dan diberi
kode tertentu. “Kemarin, kami menemukan kerangka tikus purba, ini
kantong tulangnya,” kata Blacius Nggadu (43), kuli gali yang sehari-hari
membantu para antropolog, sembari menunjukkan temuan tulang belulang di
telapak tangannya.
No comments:
Post a Comment
terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat