Laman

to night

Aku adalah binatang jalang yang menghembuskan angin kedinginan. apa pun bisa kita lakukan, biarkan Hayal mu melambung tinggi menikmati sensasi lambda sehingga hayalmu menembus batas, bangun ketika kau mulai lelah akan semua, bakarlah dinding-dinding yang membuatmu tidak mempunyai waktu untuk membuka sensasi Lamda. masih ingatkah kita pernah bercerita tentang puncuk-puncuk lambda di ketinggian 200Hez aku telah menemukan seluk beluk lambda. Mari bersama menembus batas normal, yang akan membuka tabir mimpi menjadi kenyataan. aku lambda yang membagunkan dengan Argumentum ad populum, wujud nyata, ilusi, melayang maya membuka tabir biru menjadi sir Lamda






Saturday, December 10, 2011

Nyobeng dan Jejak Ritual Kaum Pengayau


Muhlis Suhaeri
Kalimantan sering dikaitkan dengan tradisi mengayau atau potong kepala. Tradisi itu sudah tak ada lagi, tetapi ritual persembahan untuk menghormati kepala hasil mengayau tetap berlangsung.
Mengayau di masyarakat Dayak, Kalimantan—yang konon simbol keperkasaan sekaligus menghindarkan warga dari penyakit—sudah dilarang sejak 1894, yakni sejak pertemuan akbar para tetua suku Dayak di Tumbang Anoi, Kalimantan Tengah. Namun, hasil kesepakatan itu tak sepenuhnya tersosialisasi.
Di Kalimantan Barat, misalnya, menurut Waliman (45), mantan Kepala Desa Hli Buei, Kecamatan Siding, Kabupaten Kalimantan Barat, daerahnya masih mengalami puncak budaya mengayau pada 1948-1950. “Mengayau di wilayah ini berakhir sejak misionaris masuk,” kata Waliman, yang merupakan salah satu warga dari subsuku Dayak Bidayuh.
Toh, tradisi yang berkaitan dengan mengayau tetap ada sampai sekarang. Pada pertengahan Juni yang lalu, misalnya, masyarakat Dayak yang tinggal di luar daerah pulang kampung. Sekolah setempat pun diliburkan selama dua hari.
Itulah jadwal penyelenggaraan nyobeng atau nibakng siwak setiap tahunnya di Dusun Sebujit Baru, Sebujit Iyang, dan Sebujit Lama yang berasal dari satu keturunan. Dulu, malah selain setiap Juni, juga diselenggarakan pada Maret dan April. Warga menyebut peristiwa tersebut dengan istilah gawai.
“Setiap gawai, kami selalu pulang, supaya bisa berkumpul dengan keluarga,” tutur Okren (30), pemuda di Sebujit, yang sudah sejak 1995 bekerja di Kuching, Sarawak, Malaysia. Padahal, dari perbatasan di Serikin ke Kuching jaraknya sekitar 50 kilometer. Dari Serikin ke Sebujit masih sekitar satu jam perjalanan dengan kondisi jalan tanah dan berlumpur kalau hujan.
Benedit Anak Kalong (39), anggota Polis Diraja Malaysia (PDRM), sejak enam tahun lalu selalu datang ke Sebujit setiap ada gawai. Meskipun dia dari subsuku Dayak Iban, istrinya orang Sebujit, anak ketua adat. Benedit naik motor bersama anak dan istri selama dua jam dari Kuching ke Sebujit. Katanya, ia mengikuti gawai tidak untuk bersenang-senang, tetapi untuk menyucikan jiwa dan raga.

No comments:

Post a Comment

terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat