Komplek Pemakaman Butuh di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, terletak
sekitar 10 kilometer dari Kota Solo. Jalan menuju ke pemakaman itu tidak
terlalu bagus. Jalannya berlubang-lubang dan sempit, sekitar tiga
hingga empat kilometer dari kompleks pemakaman itu.
Suasana di
kompleks pemakaman sangat teduh. Sebuah pohon besar berdiri tegak
menaungi masjid kecil bercat krem yang cukup terawat. Jalan masuk
menuju gerbang pemakaman yang berlapis semen juga rapi dan bersih.
Meski demikian, kesan bersahaja tetap tampak jelas.
Di
kompleks inilah terletak makam penguasa Keraton Pajang (1550-1582)
yang bergelar Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir. Pria yang pada masa
kecilnya bernama Mas Karebet ini dikenal sebagai salah satu cikal bakal
raja Jawa. Kerajaan yang dipimpinnya adalah embrio kerajaan Mataram
yang selanjutnya berkembang lagi menjadi Kesultanan Yogyakarta dan
Kasunanan Surakarta.
Untuk
masuk ke bagian dalam kompleks pemakaman, pengunjung harus melepaskan
alas kaki. Di sebelah dalam kompleks pemakaman yang dikelilingi tembok
itu terdapat lebih dari 20 pusara. Sembilan pusara di antaranya berada
di dalam rumah tua yang ada di dalam kompleks pemakaman. Pusara Joko
Tingkir berada pada bagian tengah rumah. Di dalam rumah yang alasnya
sudah bertegel itu juga terdapat pusara orangtua Joko Tingkir, yakni Ki
Kebo Kenanga dan Nyi Kebo Kenanga.
Selain
pusara, di halaman kompleks pemakaman terdapat kotak kaca yang di
dalamnya berisi batang kayu yang sudah kropos. Batang kayu tua ini
diyakini pernah dipakai Joko Tingkir pada abad ke-16 saat menuju Butuh
melalui Bengawan Solo untuk berguru pada Ki Ageng Butuh. Sama dengan
ayah Joko Tingkir, Ki Kebo Kenanga, Ki Ageng Butuh juga berguru pada
Syeh Siti Jenar, tokoh sufi yang dihukum mati oleh Wali Songo.
Perjalanan
hidup Joko Tingkir yang pernah menjadi raja menyebabkan makamnya kerap
dikunjungi orang, mulai dari rakyat jelata hingga pejabat di daerah
maupun di pusat. Bahkan, tidak sedikit orang yang secara khusus
bersemadi selama berhari-hari di makam yang dianggap keramat.
Selain
itu, orang sering mendatangi makam tokoh, seperti Joko Tingkir, karena
raja dalam tradisi Jawa bukan sembarang orang. Ia harus kejatuhan
wahyu kedaton terlebih dahulu.
Dengan
kata lain, seseorang harus mendapat anugerah dari kekuatan adikodrati
sebelum menduduki takhta kekuasaan. Lebih dari itu, seorang raja juga
harus memiliki kedekatan dengan kekuatan adikodrati.
Tak
mengherankan, kisah raja yang sebelum berkuasa mendapat anugerah
adikodrati dan berkemampuan membina hubungan secara kontinu dengan
penguasa alam gaib sangat sering didapati dalam legenda raja Jawa.
SEORANG
pemuda asli Kota Solo, Adam (21), mengatakan, ia pernah semadi di
makam Joko Tingkir selama dua hari saat usianya masih 17 tahun. Tidak
ada keinginan apa pun yang melandasinya untuk nglakoni (laku) di makam
Joko Tingkir selain rasa ingin nglakoni itu sendiri. “Waktu itu malam
Jumat Kliwon. Saya hanya sanggup semalam,” ujarnya.
Seorang
kerabat dekatnya, menurut Adam, juga pernah melakukan semadi di
kompleks pemakaman Joko Tingkir. Berbeda dengan Adam yang hanya
bertahan semalam, kerabat dekat Adam ini sanggup hingga sebelas malam
berturut-turut. “Orang yang nglakoni di makam Joko Tingkir biasanya
memang didorong motivasi yang bermacam-macam,” ujarnya.
Adam
mengaku tidak mau mengharapkan apa pun dari lakunya di makam Joko
Tingkir karena takut melawan hukum agamanya, yakni Islam. “Orang hanya
boleh berharap berkah dari Allah, tidak dari makam dan lain sebagainya.
Apa yang saya lakukan hanya sebatas untuk nglakoni, sekaligus berdoa
bagi leluhur,” ujar pria muda yang konon memiliki garis keturunan Joko
Tingkir ini.
Juru
kunci makam Joko Tingkir, Jono (56), mengungkapkan, selain sekadar
untuk nyekar (menaburkan kembang), orang-orang yang datang ke makam
Joko Tingkir ada pula yang berharap mendapat petunjuk mengenai masa
depannya. Meski demikian, selama belasan tahun menjaga makam itu, ia
merasa tidak pernah menemui hal-hal yang bersifat gaib.
Meski
jumlahnya semakin sedikit, laku tapa prihatin sangat erat dalam
kehidupan orang Jawa, terutama mereka yang sungguh-sungguh menghayati
kejawen. Bentuk laku tapa, seperti puasa, menyepi, kungkum (berendam di
mata air) saat malam hari, diyakini dapat menghantarkan orang untuk
aneges karsa atau mengetahui kehendak Tuhan atas dirinya.
Aneges
karsa itulah sebenarnya yang dibutuhkan manusia. Kesibukan,
kebisingan, gelora nafsu dalam diri, membuat manusia kerap gagal
memahami kehendak Yang Kuasa atas dirinya. Aneges karsa hanya bisa
dicapai lewat hening sekaligus kerendahan hati.
Kisah
Joko Tingkir yang membatalkan niatnya untuk membalas dendam atas
kekalahannya dari Sutawijaya memperlihatkan sikap pasrah pada kehendak
Yang Kuasa. Ia mau rendah hati dan menyingkirkan nafsu kekuasaannya. Ia
bersedia menjalani apa yang menjadi tugas dalam hidupnya, yakni
mengajar rakyat dan mengembangkan tradisi baru di tengah masyarakat.
No comments:
Post a Comment
terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat