Mereka datang dan berkumpul untuk satu tujuan, yaitu
mengagungkan alam gaib, memohon pintu berkat terbuka, sekaligus membina
persatuan antarpenduduk desa.
Pascabencana di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, pengungsi korban
gempa dan tsunami di wilayah Pagai Selatan masih menunggu rumah yang
dijanjikan oleh pemerintah. Beruntunglah mereka yang tinggal di gunung,
seperti Desa Matotonan. Mereka jauh dari bencana dan tetap dapat
berkehidupan normal, bahkan tetap bisa menjalankan upacara adat.
Bagi suku Mentawai—yang selain tinggal di Mentawai juga di Pagai
Utara dan Pagai Selatan—upacara adat adalah bagian penting hidup
keseharian. Masyarakat Mentawai, yang sebagaimana suku Nias dan Enggano,
adalah pendukung budaya Proto-Melayu. Penduduknya masih mempertahankan
kepercayaan nenek moyang, yaitu Sabulungan.
Kepercayaan tersebut menekankan bahwa setiap benda, hidup ataupun
mati, memiliki roh. Karena itu, setiap akan melakukan aktivitas, manusia
harus memperhitungkan masak-masak agar roh-roh penguasa alam mau
memberkati. Kegiatan menebang pohon untuk membuat perahu, mengobati
orang sakit, atau membangun rumah baru, misalnya, biasanya diawali
upacara tersendiri. Termasuk juga ketika membuat tato, yang merupakan
tradisi khas suku Mentawai, terkait dengan peran dan status
penggunanya. Sebelum membangun uma (rumah panjang) atau menyambut sikerei (tabib) dari desa lain, juga dilakukan punen (upacara adat). Caranya, dengan mengumpulkan para sikerei dalam satu uma. Semakin besar dan penting acara, semakin banyak sikerei yang terlibat. Dulu, di setiap desa dengan penduduk di atas 1.000 jiwa, jumlah sikerei bisa lebih dari 200 orang. Kuantitas ini memang tidak mengikat, tetapi hal ini menggambarkan betapa pentingnya keberadaan sikerei untuk menjalankan roda kehidupan. Mereka akan merapalkan doa-doa yang sesuai dengan keperluan sang pengundang.
No comments:
Post a Comment
terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat