Laman

to night

Aku adalah binatang jalang yang menghembuskan angin kedinginan. apa pun bisa kita lakukan, biarkan Hayal mu melambung tinggi menikmati sensasi lambda sehingga hayalmu menembus batas, bangun ketika kau mulai lelah akan semua, bakarlah dinding-dinding yang membuatmu tidak mempunyai waktu untuk membuka sensasi Lamda. masih ingatkah kita pernah bercerita tentang puncuk-puncuk lambda di ketinggian 200Hez aku telah menemukan seluk beluk lambda. Mari bersama menembus batas normal, yang akan membuka tabir mimpi menjadi kenyataan. aku lambda yang membagunkan dengan Argumentum ad populum, wujud nyata, ilusi, melayang maya membuka tabir biru menjadi sir Lamda






Saturday, December 10, 2011

Membuka Pintu Berkat dengan Paruangan

Tirtoandayanto MR
Mereka datang dan berkumpul untuk satu tujuan, yaitu mengagungkan alam gaib, memohon pintu berkat terbuka, sekaligus membina persatuan antarpenduduk desa.
Pascabencana di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, pengungsi korban gempa dan tsunami di wilayah Pagai Selatan masih menunggu rumah yang dijanjikan oleh pemerintah. Beruntunglah mereka yang tinggal di gunung, seperti Desa Matotonan. Mereka jauh dari bencana dan tetap dapat berkehidupan normal, bahkan tetap bisa menjalankan upacara adat.
Bagi suku Mentawai—yang selain tinggal di Mentawai juga di Pagai Utara dan Pagai Selatan—upacara adat adalah bagian penting hidup keseharian. Masyarakat Mentawai, yang sebagaimana suku Nias dan Enggano, adalah pendukung budaya Proto-Melayu. Penduduknya masih mempertahankan kepercayaan nenek moyang, yaitu Sabulungan.
Kepercayaan tersebut menekankan bahwa setiap benda, hidup ataupun mati, memiliki roh. Karena itu, setiap akan melakukan aktivitas, manusia harus memperhitungkan masak-masak agar roh-roh penguasa alam mau memberkati. Kegiatan menebang pohon untuk membuat perahu, mengobati orang sakit, atau membangun rumah baru, misalnya, biasanya diawali upacara tersendiri. Termasuk juga ketika membuat tato, yang merupakan tradisi khas suku Mentawai, terkait dengan peran dan status penggunanya.  Sebelum membangun uma (rumah panjang) atau menyambut sikerei (tabib) dari desa lain, juga dilakukan punen (upacara adat). Caranya, dengan mengumpulkan para sikerei dalam satu uma. Semakin besar dan penting acara, semakin banyak sikerei yang terlibat. Dulu, di setiap desa dengan penduduk di atas 1.000 jiwa, jumlah sikerei bisa lebih dari 200 orang. Kuantitas ini memang tidak mengikat, tetapi hal ini menggambarkan betapa pentingnya keberadaan sikerei untuk menjalankan roda kehidupan. Mereka akan merapalkan doa-doa yang sesuai dengan keperluan sang pengundang.

No comments:

Post a Comment

terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat