Nama aslinya adalah Mas Karèbèt, putra
Ki Ageng Pengging. Ketika ia dilahirkan, ayahnya sedang menggelar
pertunjukan wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir. Kedua ki ageng
ini adalah murid Syekh Siti Jenar. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng
Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia.
Sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak terhadap Kesultanan Demak. Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir).
Sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak terhadap Kesultanan Demak. Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir).
Mas Karebet tumbuh menjadi
pemuda yang gemar bertapa, dan dijuluki Jaka Tingkir. Guru pertamanya
adalah Sunan Kalijaga. Ia juga berguru pada Ki Ageng Sela, dan
dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng yaitu, Ki Juru Martani, Ki
Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.
Babad
Tanah Jawi selanjutnya mengisahkan, Jaka Tingkir ingin mengabdi ke ibu
kota Demak. Di sana ia tinggal di rumah Kyai Gandamustaka (saudara Nyi
Ageng Tingkir) yang menjadi perawat Masjid Demak berpangkat lurah
ganjur. Jaka Tingkir pandai menarik simpati Sultan Trenggana sehingga
ia diangkat menjadi kepala prajurit Demak berpangkat lurah wiratamtama.
Beberapa
waktu kemudian, Jaka Tingkir bertugas menyeleksi penerimaan prajurit
baru. Ada seorang pelamar bernama Dadungawuk yang sombong dan suka
pamer. Jaka Tingkir menguji kesaktiannya dan Dadungawuk tewas.
Akibatnya, Jaka Tingkir pun dipecat dari ketentaraan dan diusir dari
Demak.
Jaka
Tingkir kemudian berguru pada Ki Ageng Banyubiru (saudara seperguruan
ayahnya). Setelah tamat, ia kembali ke Demak bersama ketiga murid yang
lain, yaitu Mas Manca, Mas Wila, dan Ki Wuragil.
Rombongan
Jaka Tingkir menyusuri Sungai Kedung Srengenge menggunakan rakit.
Muncul kawanan siluman buaya menyerang mereka namun dapat ditaklukkan.
Bahkan, kawanan tersebut kemudian membantu mendorong rakit sampai ke
tujuan.
Saat
itu Sultan Trenggana sekeluarga sedang berwisata di Gunung Prawoto.
Jaka Tingkir melepas seekor kerbau gila yang sudah diberi mantra.
Kerbau itu mengamuk menyerang pesanggrahan Sultan di mana tidak ada
prajurit yang mampu melukainya.
Jaka
Tingkir tampil menghadapi kerbau gila. Kerbau itu dengan mudah
dibunuhnya. Atas jasanya itu, Sultan Trenggana mengangkat kembali Jaka
Tingkir menjadi lurah wiratamtama.
Kisah
dalam naskah-naskah babad tersebut seolah hanya kiasan, bahwa setelah
dipecat, Jaka Tingkir menciptakan kerusuhan di Demak, dan ia tampil
sebagai pahlawan yang meredakannya. Oleh karena itu, ia pun mendapatkan
simpati Sultan kembali.
Prestasi
Jaka Tingkir sangat cemerlang meskipun tidak diceritakan secara jelas
dalam Babad Tanah Jawi. Hal itu dapat dilihat dengan diangkatnya Jaka
Tingkir sebagai bupati Pajang bergelar Adipati Adiwijaya. Ia juga
menikahi Ratu Mas Cempaka, putri Sultan Trenggana.
Sepeninggal
Sultan Trenggana tahun 1546, putranya yang bergelar Sunan Prawoto naik
takhta, tapi kemudian tewas dibunuh Arya Penangsang (sepupunya di
Jipang) tahun 1549. Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Kalinyamat,
menantu Sultan Trenggana yang menjadi bupati Jepara.
Kemudian
Arya Penangsang mengirim utusan untuk membunuh Adiwijaya di Pajang,
tapi gagal. Justru Adiwijaya menjamu para pembunuh itu dengan baik,
serta memberi mereka hadiah untuk mempermalukan Arya Penangsang.
Sepeninggal
suaminya, Ratu Kalinyamat (adik Sunan Prawoto) mendesak Adiwijaya agar
menumpas Arya Penangsang karena hanya ia yang setara kesaktiannya
dengan adipati Jipang tersebut. Adiwijaya segan memerangi Arya
Penangsang secara langsung karena sama-sama anggota keluarga Demak.
Maka,
Adiwijaya pun mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh Arya
Penangsang akan mendapatkan tanah Pati dan Mataram sebagai hadiah.
Sayembara
diikuti kedua cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki
Panjawi. Dalam perang itu, Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Ageng
Pemanahan) berhasil menyusun siasat cerdik sehingga menewaskan Arya
Penangsang di tepi Bengawan Sore.
Setelah
peristiwa tahun 1549 tersebut, Ratu Kalinyamat menyerahkan takhta
Demak kepada Adiwijaya. Pusat kerajaan tersebut kemudian dipindah ke
Pajang dengan Adiwijaya sebagai sultan pertama.
Sultan
Adiwijaya juga mengangkat rekan-rekan seperjuangannya dalam
pemerintahan. Mas Manca dijadikan patih bergelar Patih Mancanegara,
sedangkan Mas Wila dan Ki Wuragil dijadikan menteri berpangkat ngabehi.
Sesuai
perjanjian sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dan bergelar
Ki Ageng Pati. Sementara itu, Ki Ageng Pemanahan masih menunggu karena
seolah-olah Sultan Adiwijaya menunda penyerahan tanah Mataram.
Sampai
tahun 1556, tanah Mataram masih ditahan Adiwijaya. Ki Ageng Pemanahan
segan untuk meminta. Sunan Kalijaga selaku guru tampil sebagai penengah
kedua muridnya itu. Ternyata, alasan penundaan hadiah adalah
dikarenakan rasa cemas Adiwijaya ketika mendengar ramalan Sunan Prapen
bahwa di Mataram akan lahir sebuah kerajaan yang mampu mengalahkan
kebesaran Pajang. Ramalan itu didengarnya saat ia dilantik menjadi
sultan usai kematian Arya Penangsang.
Sunan
Kalijaga meminta Adiwijaya agar menepati janji karena sebagai raja ia
adalah panutan rakyat. Sebaliknya, Ki Ageng Pemanahan juga diwajibkan
bersumpah setia kepada Pajang. Ki Ageng bersedia. Maka, Adiwijaya pun
rela menyerahkan tanah Mataram pada kakak angkatnya itu.
Tanah
Mataram adalah bekas kerajaan kuno, bernama Kerajaan Mataram yang saat
itu sudah tertutup hutan bernama Alas Mentaok. Ki Ageng Pemanahan
sekeluarga, termasuk Ki Juru Martani, membuka hutan tersebut menjadi
desa Mataram. Meskipun hanya sebuah desa namun bersifat perdikan atau
sima swatantra. Ki Ageng Pemanahan yang kemudian bergelar Ki Ageng
Mataram, hanya diwajibkan menghadap ke Pajang secara rutin sebagai
bukti kesetiaan tanpa harus membayar pajak dan upeti.
Saat
naik takhta, kekuasaan Adiwijaya hanya mencakup wilayah Jawa Tengah
saja, karena sepeninggal Sultan Trenggana, banyak daerah bawahan Demak
yang melepaskan diri.
Negeri-negeri
di Jawa Timur yang tergabung dalam Persekutuan Adipati Bang Wetan saat
itu dipimpin oleh Panji Wiryakrama bupati Surabaya. Persekutuan
adipati tersebut sedang menghadapi ancaman invansi dari berbagai
penjuru, yaitu Pajang, Madura, dan Blambangan.
Pada
tahun 1568 Sunan Prapen penguasa Giri Kedaton menjadi mediator
pertemuan antara Sultan Adiwijaya dengan para adipati Bang Wetan. Sunan
Prapen berhasil meyakinkan para adipati sehingga mereka bersedia
mengakui kedaulatan Kesultanan Pajang di atas negeri yang mereka pimpin.
Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama diambil sebagai menantu
Adiwijaya.
Selain
itu, Adiwijaya juga berhasil menundukkan Madura setelah penguasa pulau
itu yang bernama Raden Pratanu bergelar Panembahan Lemah Duwur
Arosbaya menjadi menantunya.
Dalam
pertemuan tahun 1568 itu, Sunan Prapen untuk pertama kalinya berjumpa
dengan Ki Ageng Pemanahan dan untuk kedua kalinya meramalkan bahwa
Pajang akan ditaklukkan Mataram melalui keturunan Ki Ageng tersebut.
Mendengar ramalan tersebut, Adiwijaya tidak lagi merasa cemas karena ia menyerahkan semuanya pada kehendak takdir
Sutawijaya
adalah putra Ki Ageng Pemanahan yang juga menjadi anak angkat Sultan
Adiwijaya. Sepeninggal ayahnya tahun 1575, Sutawijaya menjadi penguasa
baru di Mataram, dan diberi hak untuk tidak menghadap selama setahun
penuh.
Waktu
setahun berlalu dan Sutawijaya tidak datang menghadap. Adiwijaya
mengirim Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil untuk menanyakan
kesetiaan Mataram. Mereka menemukan Sutawijaya bersikap kurang sopan
dan terkesan ingin memberontak. Namun kedua pejabat senior itu pandai
menenangkan hati Adiwijaya melalui laporan mereka yang disampaikan
secara halus.
Tahun
demi tahun berlalu. Adiwijaya mendengar kemajuan Mataram semakin
pesat. Ia pun kembali mengirim utusan untuk menyelidiki kesetiaan
Sutawijaya. Kali ini yang berangkat adalah Pangeran Benawa (putra
mahkota), Arya Pamalad (menantu yang menjadi adipati Tuban), serta
Patih Mancanegara. Ketiganya dijamu dengan pesta oleh Sutawijaya. Di
tengah keramaian pesta, putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden
Rangga membunuh seorang prajurit Tuban yang didesak Arya Pamalad. Arya
Pamalad sendiri sejak awal kurang suka dengan Sutawijaya sekeluarga.
Maka
sesampainya di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya,
sedangkan Pangeran Benawa menjelaskan kalau peristiwa pembunuhan
tersebut hanya kecelakaan saja. Sultan Adiwijaya menerima kedua laporan
itu dan berusaha menahan diri.
Pada
tahun 1582 seorang keponakan Sutawijaya yang tinggal di Pajang,
bernama Raden Pabelan dihukum mati karena berani menyusup ke dalam
keputrian menemui Ratu Sekar Kedaton (putri bungsu Adiwijaya). Ayah
Pabelan yang bernama Tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang karena
diduga ikut membantu anaknya.
Ibu
Raden Pabelan yang merupakan adik perempuan Sutawijaya meminta bantuan
ke Mataram. Sutawijaya pun mengirim utusan untuk merebut Tumenggung
Mayang dalam perjalanan pembuangannya ke Semarang.
Perbuatan
Sutawijaya itu menjadi alasan Sultan Adiwijaya untuk menyerang
Mataram. Perang antara kedua pihak pun meletus. Pasukan Pajang
bermarkas di Prambanan dengan jumlah lebih banyak, namun menderita
kekalahan. Adiwijaya semakin tergoncang mendengar Gunung Merapi
tiba-tiba meletus dan laharnya ikut menerjang pasukan Pajang yang
berperang dekat gunung tersebut.
Adiwijaya
menarik pasukannya mundur. Dalam perjalanan pulang, ia singgah ke
makam Sunan Tembayat namun tidak mampu membuka pintu gerbangnya. Hal
itu dianggapnya sebagai firasat kalau ajalnya segera tiba.
Adiwijaya
melanjutkan perjalanan pulang. Di tengah jalan ia jatuh dari punggung
gajah tunggangannya, sehingga harus diusung dengan tandu. Sesampai di
Pajang, datang makhluk halus anak buah Sutawijaya bernama Ki Juru Taman
memukul dada Adiwijaya, membuat sakitnya bertambah parah.
Adiwijaya
berwasiat supaya anak-anak dan menantunya jangan ada yang membenci
Sutawijaya, karena perang antara Pajang dan Mataram diyakininya sebagai
takdir. Selain itu, Sutawijaya sendiri adalah anak angkat Adiwijaya
yang dianggapnya sebagai putra tertua.
Adiwijaya
alias Jaka Tingkir akhirnya meninggal dunia tahun 1582 tersebut. Ia
dimakamkan di desa Butuh, yaitu kampung halaman ibu kandungnya.
Sultan
Adiwijaya memiliki beberapa orang anak. Putri-putrinya antara lain
dinikahkan dengan Panji Wiryakrama Surabaya, Raden Pratanu Madura, dan
Arya Pamalad Tuban. Adapun putri yang paling tua dinikahkan dengan Arya
Pangiri bupati Demak.
Arya
Pangiri didukung Panembahan Kudus (pengganti Sunan Kudus) untuk
menjadi raja. Pangeran Benawa sang putra mahkota disingkirkan menjadi
bupati Jipang. Arya Pangiri pun menjadi raja baru di Pajang, bergelar
Sultan Ngawantipura
Sayyidina Abdurrohman (Jaka Tingkir), salah satu garis keturunannya…
**Sayyidina Abdul Halim (P. Benawa),
** Sayyidina Abdurrohman (P. Samhud Bagda),
** Sayyidina Abdul Halim,
** Sayyidina Abdul Wahid,
** Sayyidina Abu Sarwan.
** Sayyidina KH. As’ari,
** Sayyidina KH. Hasyim As’ari
** Sayyidina KH. Abdul Wahid Hasyim
**KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
No comments:
Post a Comment
terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat