Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), pada awal Juli 2011, meriah dengan
pementasan Gandrung eng tay karya Dedy Luthan. Ini adalah persembahan
kelima dari Dedy yang mengeksplorasi gandrung, setelah kadung Dadi
Gandrung Wis (1990), Gandrung Salatun (1992), iki Buru Gandrung (1994),
dan Gandrung Blambangan (1999).
“Tapi Gandrung Eng Tay merupakan tari gandrung pertama garapan saya
yang tidak bercerita tentang penari gandrung, tetapi tentang kesetiaan
perempuan yang diangkat dari kisah klasik China,” ungkap pimpinan Dedy
Dance Company ini, yang kali ini menautkan kisah cinta Sam Pek Eng Tay
dengan gerakan dinamis gandrung khas Banyuwangi.
Dedy, meski berdarah Minang, sejak lama tertarik pada kesenian
gandrung. Pada 1989, ia masuk-keluar kampung di Banyuwangi memburu
kesenian gandrung yang biasa dipentaskan di perhelatan pernikahan dan
sejenisnya.
“Gandrung adalah misteri,” ujar Dedy, “kalau biasanya penari
perempuan menjadi anggota kelompok, dalam gandrung menjadi penari
sentral dan menari mengikuti rasanya, gamelan justru ditabuh mengikuti
gandrung.”
“Pokoke Kepenak”
Gandrung adalah seni pertunjukan khas Banyuwangi, daerah ujung timur Pulau Jawa. Itu juga sebabnya, sejak tahun 2000, Banyuwangi ditetapkan sebagai Kota Gandrung.
Gandrung adalah seni pertunjukan khas Banyuwangi, daerah ujung timur Pulau Jawa. Itu juga sebabnya, sejak tahun 2000, Banyuwangi ditetapkan sebagai Kota Gandrung.
Seniman-seniman tradisi Banyuwangi ini mempunyai prinsip pokoke
kepenak. Misalnya dalam hal musik, apa saja yang didengarnya enak akan
diadaptasi dengan rasa Banyuwangi. Angklung atau carug dan barong
didapat dari kebiasaan orang Madura.
Menurut Dedy Luthan, alat musik gandrung yang asli sebenarnya hanya
gendang, gong, kenong, biola, dan kloncing. Namun, perkembangan
selanjutnya ditambah dengan saron, terbang, bedug. Ada juga yang
menambah dengan angklung.
Sebagai daerah perlintasan dari Jawa ke Bali, budaya Banyuwangi,
khususnya Osing, mendapat percampuran Bali, Jawa, dan Madura. Terlihat
dari musik yang dinamis, seperti Bali, gerak tari yang ada kemiripan
dengan tari Bali, tetapi di beberapa bagian lenggangnya mirip dengan
tari Madura, dan kadang-kadang lembut mirip dengan tari Jawa.
Tari Gandrung—yang namanya diambil dari kata ‘gandrung’ (bahasa Jawa,
artinya ‘cinta setengah mati atau tergila-gila’)—dianggap satu genre
dengan tari ketuk tilu (Jawa Barat), tayub (Jawa Tengah dan Jawa Timur),
lengger (Cilacap dan Banyumas), serta joged bumbung di Bali.
Persamaannya, sang penari yang biasanya berpenampilan eksotik, menjadi
sorotan utama dan melibatkan tamu pria untuk menari bersama.
keren, saya menyaksikan penampilan ini dua hari berturut-turut..
ReplyDeletewah justu saya belom tuh om,,,,,,,,,,,
ReplyDelete