Laman

to night

Aku adalah binatang jalang yang menghembuskan angin kedinginan. apa pun bisa kita lakukan, biarkan Hayal mu melambung tinggi menikmati sensasi lambda sehingga hayalmu menembus batas, bangun ketika kau mulai lelah akan semua, bakarlah dinding-dinding yang membuatmu tidak mempunyai waktu untuk membuka sensasi Lamda. masih ingatkah kita pernah bercerita tentang puncuk-puncuk lambda di ketinggian 200Hez aku telah menemukan seluk beluk lambda. Mari bersama menembus batas normal, yang akan membuka tabir mimpi menjadi kenyataan. aku lambda yang membagunkan dengan Argumentum ad populum, wujud nyata, ilusi, melayang maya membuka tabir biru menjadi sir Lamda






Wednesday, December 14, 2011

Arca Tanpa Aksara



Para leluhur tak mewariskan aksara. Sebagai gantinya, ‘Negeri Megalit’ ini memilih batu dan arca.
Suku Nias terkenal dengan kebudayaan megalitik dalam bentuk dolmen (batu besar), menhir (batu tunggal yang berdiri tegak di atas tanah), dan artefak (alat keseharian dari batu, tulang, logam dan sejenisnya).  Benda-benda ini, dijadikan monumen sekaligus pengakuan status di masyarakat. Namun tugu-tugu batu tersebut, tidak sepenuhnya sekadar simbol monument belaka. Melainkan bertujuan untuk mengabadikan dan sebagai jembatan komunikasi, suatu peristiwa di masa lampau untuk diketahui generasi terkini.  Pada tubuh megalit dipahat berbagai ukiran, menjadi ornamen yang merupakan simbol-simbol. Simbolsimbol tersebut diinterpretasi dan kemudian dipahami masyarakat, biasanya untuk menggambarkan bagaimana kualitas kehidupan pemiliknya. Para leluhur menempuh cara ini karena mereka tidak mengenal aksara (budaya tulisan tidak mereka kenal).
Penyampaian pesan seperti ini, dapat diketahui melalui simbol-simbol atau ornamen-ornamen yang telah diukir serta melalui syair-syair kuno (Hoho), dan cerita-cerita rakyat. Batu sengaja dipilih sebagai sarana untuk mengabadikan suatu peristiwa dan juga sebagai tanda jasa, karena sifatnya yang tetap selama-lamanya (lö mamalö) dan tidak berubah-ubah (lö tebulö) sepanjang abad. Sehingga generasi ke generasi dapat mengetahui dan mengenang peristiwa tersebut yang terjadi pada masa lalu. Makanya tak usah heran, jika Arca-arca batu berusia ratusan tahun bisa dijumpai dengan sangat mudah di halaman-halaman rumah penduduk.
Di wilayah Kecamatan Gomo, Nias Selatan, misalnya, setidaknya ditemukan 14 titik yang merupakan situs (daerah temuan benda-benda purbakala) batu megalit. Tapi yang sudah dibuka untuk umum baru empat situs.  Semua situs itu terletak di ladang dan hutan penduduk setempat, di antaranya di daerah Lahusa Idano Tae, Gomo, dan desa Olayama, Dusun Bihata, Kecamatan Lölöwa’u. Untuk menuju ke kedua lokasi, hanya bisa di tempuh dengan berjalan kaki atau kendaraan roda dua. Itu pun harus menyeberangi arus sungai dan jalan setapak di pegunungan yang memiliki kemiringan 45 derajat, sangat melelahkan memang.

No comments:

Post a Comment

terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat