Para leluhur tak mewariskan aksara. Sebagai gantinya, ‘Negeri Megalit’ ini memilih batu dan arca.
Suku Nias terkenal dengan kebudayaan megalitik dalam bentuk dolmen
(batu besar), menhir (batu tunggal yang berdiri tegak di atas tanah),
dan artefak (alat keseharian dari batu, tulang, logam dan sejenisnya).
Benda-benda ini, dijadikan monumen sekaligus pengakuan status di
masyarakat. Namun tugu-tugu batu tersebut, tidak sepenuhnya sekadar
simbol monument belaka. Melainkan bertujuan untuk mengabadikan dan
sebagai jembatan komunikasi, suatu peristiwa di masa lampau untuk
diketahui generasi terkini. Pada tubuh megalit dipahat berbagai ukiran,
menjadi ornamen yang merupakan simbol-simbol. Simbolsimbol tersebut
diinterpretasi dan kemudian dipahami masyarakat, biasanya untuk
menggambarkan bagaimana kualitas kehidupan pemiliknya. Para leluhur
menempuh cara ini karena mereka tidak mengenal aksara (budaya tulisan
tidak mereka kenal).
Penyampaian pesan seperti ini, dapat diketahui melalui simbol-simbol
atau ornamen-ornamen yang telah diukir serta melalui syair-syair kuno
(Hoho), dan cerita-cerita rakyat. Batu sengaja dipilih sebagai sarana
untuk mengabadikan suatu peristiwa dan juga sebagai tanda jasa, karena
sifatnya yang tetap selama-lamanya (lö mamalö) dan tidak berubah-ubah
(lö tebulö) sepanjang abad. Sehingga generasi ke generasi dapat
mengetahui dan mengenang peristiwa tersebut yang terjadi pada masa lalu.
Makanya tak usah heran, jika Arca-arca batu berusia ratusan tahun bisa
dijumpai dengan sangat mudah di halaman-halaman rumah penduduk.
Di wilayah Kecamatan Gomo, Nias Selatan, misalnya, setidaknya
ditemukan 14 titik yang merupakan situs (daerah temuan benda-benda
purbakala) batu megalit. Tapi yang sudah dibuka untuk umum baru empat
situs. Semua situs itu terletak di ladang dan hutan penduduk setempat,
di antaranya di daerah Lahusa Idano Tae, Gomo, dan desa Olayama, Dusun
Bihata, Kecamatan Lölöwa’u. Untuk menuju ke kedua lokasi, hanya bisa di
tempuh dengan berjalan kaki atau kendaraan roda dua. Itu pun harus
menyeberangi arus sungai dan jalan setapak di pegunungan yang memiliki
kemiringan 45 derajat, sangat melelahkan memang.
No comments:
Post a Comment
terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat