Laman

to night

Aku adalah binatang jalang yang menghembuskan angin kedinginan. apa pun bisa kita lakukan, biarkan Hayal mu melambung tinggi menikmati sensasi lambda sehingga hayalmu menembus batas, bangun ketika kau mulai lelah akan semua, bakarlah dinding-dinding yang membuatmu tidak mempunyai waktu untuk membuka sensasi Lamda. masih ingatkah kita pernah bercerita tentang puncuk-puncuk lambda di ketinggian 200Hez aku telah menemukan seluk beluk lambda. Mari bersama menembus batas normal, yang akan membuka tabir mimpi menjadi kenyataan. aku lambda yang membagunkan dengan Argumentum ad populum, wujud nyata, ilusi, melayang maya membuka tabir biru menjadi sir Lamda






Tuesday, April 23, 2019

pesona wisata air terjun temam

Jangan lupa, komen, like, subscribe and share. teman yang suka subscribe channel Youtube memiliki andil yang sangat besar dalam kehidupan seorang Youtubers. 

asiknya, jalan jalan ke desa jeruk terusan


Jangan lupa, komen, like, subscribe and share. teman yang suka subscribe channel Youtube memiliki andil yang sangat besar dalam kehidupan seorang Youtubers. 

Saturday, February 10, 2018

Jika Saya Presiden Dirjen Pajak Saya Bubarkan



Awalnya saya ingin menjadi presiden, tapi rasanya sulit untuk di capai. Banyak angan-angan yang rasanya ingin di sebarkan, tapi baru sebatas impian. Jika saya presiden, terbesit dalam pikiran saya yang pertama kali saya bubarkan Dirjen Pajak. Kenapa?.
         Ketidak puasan masyarakat ‎terhadap pelayanan negara saat ini cendrung membengkak dari pada puasnya. Tentunya pasti ada masalah yang menjadi penyebabnya, wajar-wajar saja jika masyarakat beragumen dan berharap ada respon, maupun memiliki pendapat sendiri, namanya juga negeri demokrasi.
           Awalnya, semua operasional negara saat ini dibiayai sepenuhnya oleh masyarakat. Pengorbanan masyarakat tidak hanya sebatas harta maupun benda, bahkan tidak sedikit nyawa yang menjadi taruhan untuk merebut negara ini dari koalisi penjajah.
             Nah, sekarang sudah berapa puluh tahun kita melawati batas itu. Tapi mengapa masyarakat khususnya saya masih merasa di jajah ?. Itu karena saya anggap negara kita tidak pede, kurang mandiri dan hanya mengadopsi sistem jajahan yang menyedot darah, lendir dari tubuh sendiri. 
        Kita sekarang tinggal di negeri sulap yang mampu jalan di tempat, bahkan terpuruk karena energi dan gizinya sudah habis tersedot untuk mengeluarkan peluh yang bau menyengat.
          Tidak jarang kita melihat pemberitaan masih banyak warga miskin, warga terlantar, pengangguran, rumah tidak layak, pengemis, gembel, anak putus sekolah, bahkan warga tidak bisa berobat akibat tidak punya biaya.
         Di sisi lain, masyarakat dibebankan dengan se-gudang pajak yang terus dijejalkan sejak lahir hingga mati masuk ke Liang Lahat. Mungkin cita-cita saya terlalu tinggi untuk menjadi presiden, tapi mungkin ide saya, bisa menjadi morfin bagi masyarakat berfikir atau penerus saya mendatang.
        Banyaknya pajak dibuat hanya untuk menghasilkan peluh keringat, membuat masyarakat capek dan jenuh. Stop perbudakan mental, masyarakat bukan lagi aset sumber kekayaan pribadi. Pajak bumi bangunan, pajak kendaraan, pajak penghasilan, Pajak pemakaman Umum, pajak, pajak, pajak dan Pajak.
        Membuat kaum ibu-ibu sering bertengkar dengan suaminya di rumah. Warga di doktrin lebih penting pajak dari pada kenyamanan, keamanan, ‎serta santapan pagi bersama keluarga. Selama ini warga terus diprogram oleh beragam informasi, "Fungsi Pajak Membangun Negara"  Faktanya, seluruh perusahaan yang dibangun dan di kelola negara di negeri ini seperti renternir dan vampir yang selalu menghisap darah setiap korbannya.
          ‎Listrik negara bayar, gas subsidi negara bayar, sekolah negara bayar, kuliah negara bayar, jalan tol bayar, transportasi umum negara bayar, telekomunikasi negara bayar, rumah sakit negara bayar, semuanya tidak ada yang gratis. 
       jika sudah lepas dari penjajahan, semestinya negeri kita sudah mandiri mampu menanggung seluruh kebutuhan masyarakat. Walaupun tidak secara spesifik, mungkin negara bisa memenuhi dulu kebutuhan ‎pokok yang diperlukan warganya.
         Masa saya mendatang tidak akan ada lagi pajak, pajak, pajak. Sistem kita membuat masyarakat sekarat, penerapan pajak sama dengan memenggal kepala saudara sendiri. Di masa depan, hanya ada pengelola uang negara, semua warga berhak mendapat uang negara yang di dapat dari bumi mereka sendiri.
         Hasil pengolahan Kekayaan alam di bagi rata, deportasi semua perusahaan asing, negara monopoli semua bidang, mandiri di masa mendatang. Semua masyarakat di jadikan pegawai negara, walau dalam kandungan sudah mendapat upah.
            Jika ada yang bertanya, operasional negara nantinya dari mana. Cukup dari zakat saja, karena zakat tidak membebani rakyat di pumut satu tahun satu kali. Banyak zakat yang bisa di serap 2,5 persen penghasilan, atau 2,5 persen dari harta yang di pendam, zakat kebun, tizaroh dan penghasilan lainnya.
        Pembangunan merata dilakukan, masyarakat merangkap pegawai sekaligus pemilik negara. Mereka bisa diberdayakan dalam semua bidang, pembangunan, budi daya, perkebunan, teknologi, keamanan, meliter, dengan satu visi dan misi, demi Kesejahteraan bersama.
         Apakah ide ini bisa di wujudkan, itu sulit diprediksi karena waktu berjalan sangat cepat. Semua warga, miskin, kaya, tua dan muda punya peluang dan kesempatan yang sama. Pendidikan diperlukan untuk membuat pemikiran lebih terbuka, pendidikan bukan membuat pendidik dan yang didik menjadi terpaksa.
          Anda bebas berimajinasi dan mengungkapkan ekpresi untuk menyongsong masa mendatang. Mungkin begitulah segelintir impian yang tersandung dalam kata-kata. Semoga menjadi kenyataan.

Sunday, June 4, 2017

#Tangis Ibu di Kamar Jenazah#

#Tangis Ibu di Kamar Jenazah#

Aroma Danur terbayang membekas dalam ingatanku dengan harum khas berselera, warnanya hijau dengan gel yang tidak terlalu terang tapi basah. Malam ini nampaknya se sunyi malam itu, karena hanya aku dan kereta-kereta usang yang bercerita.
        Dari situ aku melangkah menuju lorong panjang tanpa berkata. Satu ruangan, dua ruangan, tiga ruangan dan masih ada satu ruangan lagi yang tersisa. ‎
Di tengah lorong nampak satu kereta dengan kain penutup biasa, sementara orang-orang sibuk di luar gedung, sembari menunggu kedatangan tamu yang diundang.
         ‎Suara berlari, jelas terdengar dari belakangku sembari mendekati kereta yang berada persis di samping dinding putih. Nampak seorang ibu setengah baya, menggunakan daster lusuh, tanpa ragu mendatangi lokasi itu.
         Dia mendekat, dan menyesali nasibnyasetelah membuka kain penutup di atas kereta. Wanita itu jatuh lemas lalu menyadarkan kepala ke besi pendorong. Dia mulai meringis, menangis sembari sesekali membenturkan kepala ke keranda besi. Ternyata yang di atas itu anak satu-satunya.
       Wanita itu tersimpuh, sesekali kembali memberanikan diri menyingkap tabir penutup‎ kereta, lalu dia terjatuh lagi.‎ Sempat aku tersadar dan mulai bergeser, memberikan ruang emosi yang sebentar lagi kuprediksi tak terbendung.
        ‎
Belum jauh aku melangkah menuju kamar terakhir di dalam lorong itu, kupandangi lagi wanita separuh baya itu dengan sedikit haru, dia hanya menundukan kepala bersimpuh di lantai sembari mengusap-ngusap besi tua itu.
        ‎
"Alan,,,Alan,,,ini mama Alan," terdengar lirih. Sementara aku masih menyaksikannya dari sudut yang tidak terlalu jauh. Suara hentakan itu semakin keras dan menjadi-jadi, wanita itu mulai hilang kendali, kepalanya dibenturkan semakin keras lagi, bahkan semakin lama semakin tambah keras lagi. "Maaf Mama Alan,,,, maaf Mama Alan, mama minta maaf, mama gak ada uang," ratapnya di iringin tangisan yang semakin menjadi-jadi.
         Beberapa orang berusaha mendekati, namun mereka hanya mampu berdiri terpaku dengan jarak yang cukup jauh. Mereka tidak berani mendekat dan memecah luapan emosi antara ibu dan anak yang tengah berlangsung itu. Mungkin itulah salah satu memory yang masih aku simpan sampai saat ini, ternyata ibu itu menangisi anaknya yang mati dibunuh perampok dengan 17 luka tusukan senjata tajam.
         Usia anaknya masih cukup muda sekitar 28 tahun. Informasinya, dia tewas akibat mempertahankan lattop satu-satunya yang dia pegang saat pergi belajar ke rumah temannya dengan cara berjalan kaki.
          Awalnya, ibunya sudah melarang anaknya pergi karena tidak memiliki sepeser pun uang untuk diberikan agar bisa menaiki ‎angkutan umum
. Mereka termasuk keluarga miskin, yang bekerja sebagai buruh serabutan.
        Mungkin lattop itu merupakan harta kesayanganya yang dia sandang dengan tas ransel hitam saat keluar rumah. Karena ingin mempertahan harta satu-satunya, dia menjadi korban pembunuhan disertai perampasan di pinggir jalan.
           Menurutku manusia itu sama saja, tidak ada anehnya, bahkan aku terbilang cukup sering menyaksikan banyak kejadian. Tapi yang menjadi sorotan malam itu, memang sedikit berbeda. Aku seperti mendapat mimpi, ada luapan emosi yang dalam dan moment itu tidak bisa kita beli dengan uang. Ada makna yang bisa aku serap, dari kejadian malam itu,
         "Sayangilah ibu kalian, seperti dia menyayangi kalian. Meskipun anaknya mati, orang tua pasti menyesali kenapa tidak bisa memberikan yang terbaik untuk anaknya sendiri. Sesulit apapun kondisi keluarga, orang tua selalu memikirkan yang terbaik untuk anaknya, walaupun pemikiran itu sulit untuk mereka realisasikan, tetap hormatilah mereka," mungkin itu saja cerita saya malam ini, wasalam.
     
          Perbuatan Ibu Kepada Anaknya 

1. jika makanan kurang, Ia akan memberikan makanan itu kepada anaknya dan berkata, “Makanlah, ibu tdk lapar.”
2. Wkt makan, Ia selalu menyisihkan ikan dan daging untuk anaknya dan berkata, “ibu tdk suka daging, makanlah”
3. Tengah mlm saat dia sdg menjaga anaknya yg sakit, Ia berkata,
“Istirahatlah, ibu blm ngantuk..”
4. Saat anak sudah tamat sekolah, bekerja, mengirimkan uang untuk ibu. Ia berkata, “Simpanlah untuk keperluanmu, ibu masih ada simpanan,”
5. Saat anak sdah sukses, menjemput ibunya untuk tinggal di rumah besar, Ia berkata, “Rumah tua kita sangat nyaman, ibu tidak terbiasa tinggal di sana.”
6. Saat menjelang tua, ibu sakit keras, anaknya akan menangis, ibu masih tersenyum sambil berkata, “Jangan menangis, ibu tidak apa apa.” 

Tidak peduli seberapa kaya kita, seberapa hebat kita, seberapa sukses kita, seberapa miskinya kita, Seberapa susahnya kita, seberapa dewasanya kita. Ibu selalu menganggap kita anak kecilnya, selalu mengkhawatirkan anaknya tapi tidak pernah membiarkan kita mengetahui kondisi dia sebenarnya.