Laman

to night

Aku adalah binatang jalang yang menghembuskan angin kedinginan. apa pun bisa kita lakukan, biarkan Hayal mu melambung tinggi menikmati sensasi lambda sehingga hayalmu menembus batas, bangun ketika kau mulai lelah akan semua, bakarlah dinding-dinding yang membuatmu tidak mempunyai waktu untuk membuka sensasi Lamda. masih ingatkah kita pernah bercerita tentang puncuk-puncuk lambda di ketinggian 200Hez aku telah menemukan seluk beluk lambda. Mari bersama menembus batas normal, yang akan membuka tabir mimpi menjadi kenyataan. aku lambda yang membagunkan dengan Argumentum ad populum, wujud nyata, ilusi, melayang maya membuka tabir biru menjadi sir Lamda






Sunday, August 28, 2011

RONGOWARSITO: Dari Santri Bengal Jadi Pujangga Agung

Nama Raden Ngabehi Ronggowarsito memang sudah tidak asing lagi. Dia adalah seorang pejangga keraton Solo yang hidup pada 1802-1873. Tepatnya lahir hari Senin Legi 15 Maret 1802, dan wafat 15 Desember 1873, pada hari Rabu Pon. Pujangga yang dibesarkan di lingkungan kraton Surakarta ini namanya terkenal karena dialah yang menggubah Jangka Jayabaya yang tersohor hingga ke mancanegara itu. Hingga sekarang kitab ramalan ini masih menimbulkan kontroversi.
R. Ng. Ronggowarsito adalah bangsawan keturunan Pajang, dengan silsilah sebagai berikut :
-                     P. Hadiwijoyo (Joko Tingkir)
-                     P. Benowo, putera Emas (Panembahan Radin)
-                     P. Haryo Wiromenggolo (Kajoran)
-                     P. Adipati Wiromenggolo (Cengkalsewu)
-                     P.A. Danuupoyo, KRT Padmonegoro (Bupati Pekalongan)
-                     R.Ng. Yosodipuro (Pujangga keraton Solo)
R. Ng.Yosodipuro alias Bagus Burham adalah R.Ng.Ronggowarsito yang kita kenal. Semasa kecil hingga remaja dia memang lebih dikenal dengan nama Bagus Burhan, dan pernah menuntut ilmu di Pesantren Tegalsari atau Gebang Tinatar, seperti yang sekilas telah dipaparkan dalam Jelajah Misteri No.0450 lalu.
Dari jalur ibundanya, R.Ng.Ronggowarsito  merupakan seorang bangsawan  berdarah Demak, dengan silsilah sebagai berikut:
- R. Trenggono (Sultan Demak ke III)
- R.A. Mangkurat
- R.T. Sujonoputero (Pujangga keraton Pajang)
- K.A. Wongsotruno
- K.A. Noyomenggolo (Demang Palar)
- R. Ng. Surodirjo I
- R.Ng. Ronggowarsito/Bagus Burham.
Karena ayahandanya wafat sewaktu sang pujangga belum cukup dewasa, Bagus Burhan kemudian ikut dengan kakeknya, yaitu R. Tumenggung Sastronegoro, yang juga seorang bangsawan keraton Solo.
Dikisahkan, pada saat dirawat oleh kakeknya inilah Bagus Burhan hidup dengan penuh kemanjaan, sehingga bakatnya sebagai seorang pujangga sama sekali belum terlihat. Bahkan, kesukaannya di masa muda adalah sering menyabung jago, dan bertaruh uang. Bermacam-macam kesukaan yang menghambur-hamburkan uang seakan menjadi cirri khasnya kala itu.
Namun demikian sang kakek, R. Tumenggung Sastronegoro, telah meramalkan kalau nanti cucu kinasihnya ini akan menjadi seorang pembesar setaraf dengan kakek buyutnya. Untuk mewujudkan ramalannya ini, sang kakek kemudian menitipkan Bagus Burhan ke Kyai Imam Bestari pemilik pondok pesantren Gebang Tinatar di Tegalsari, Ponorogo.
Pada saat di pesantren, kebengalan Bagus Burhan semakin menjadi. Hal ini membuat Kyai Imam Bestari kewalahan. Kesukaannya bertaruh dan berjudi sabung ayam tidak kunjung luntur. Karena kebiasaan buruknya ini, maka sering kali bekal yang dibawanya dari Solo habis tak karuan di arena judi sabung ayam.
Karena kenakalannya, setelah setahun berguru, tak ada kemajuan sama sekali. Oleh karena itulah Kyai Imam Bestari memintanya agar pulang ke Solo. Sang Kyai  merasa tak sanggup untuk mengajarnya ilmu-ilmu keagamaan.
Wibawa Kyai Imam Bestari membuat Bagus Burhan tak kuasa untuk menolak titahnya. Namun, dia menghadapi dilema. Kalau dirinya pulang ke Solo, kakeknya pasti akan marah besar.
Karena takut pada murka kakeknya inilah, maka bersama dengan Ki Tanujoyo pamomongnya, Bagus Burhan memutuskan untuk tidak pulang ke Solo. Dia memilih berguru ke Kediri.
Dikisahkan, dalam perjalanan menuju Kediri, Bagus Burhan dan Ki Tanujoyo tersesat di sebuah hutan. Karena  hingga tiga hari tiga malam tak menjumpai rumah penduduk, maka selama itu pula mereka tak makan dan tak minum. Karena kelaparan, Bagus Buhan yang biasa hidup enak dan serba kecukupan akhirnya pingsan.
Sementa itu, di tempat lain, yakni di padepokan Kyai Imam Bestari, sang Kyai memperoleh wangsit yang memberikan pertanda bahwa Ponorogo akan dilanda kelaparan. Dalam wangsit itu dikatakan bahwa bencana kelaparan ini akan tertolong bila Bagus Burhan yang telah pergi jauh itu mau diajak kembali ke Ponorogo.
Demi mendapatkan isyaroh ini, sebagai seorang linuwih, Kyai Imam Bestari langsung mengirim utusan untuk menjemput kembali bocah Bengal itu ke Solo.  Celakanya, menurut laporan yang diperoleh, para utusan itu tidak mendapatkan Bagus Burhan di Solo. Bahkan, anak itu belum juga sampai ke rumah kakeknya.
Setelah mendapatkan laporan itu, Kyai Imam Bestari bermunajat kepada Allah untuk meminta petunjukNya. Singkat cerita, Bagus Burhan memang berhasil diketemukan. Bocah ini pun tidak menolak ketika diajak kembali ke padepokan, karena ini memang harapannya agar tidak mendapatkan murka dari sang kakek.
Saat menetap kembali di pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo. Perilaku Bagus Burhan ternyata tak kunjung berubah. Tetap suka berboros-boros dengan bertaruh dan berjudi sabung ayam. Hal ini sangat mengecewakan Kyai Imam Bestari. Karena tak tak tahan melihat kelakukan santrinya, maka suatu hari sang Kyai memarahi Bagus Burhan dengan kata-kata yang sangat menusuk perasaan si anak muda.
Mendapatkan kemarahan hebat dari Kyai Imam Bestari, Bagus Burhan berniat segera hengkang dari pesantren. Untunglah, dalam kondisi seperti iini Ki Tanujoyo segera mengambil peranan. Dia berusaha tampil menolong keadaan, dengan cara membesarkan hati Raden Bagus Burhan.
“Raden ini bukan keturunan orang kebanyakan. Leluhur Raden adalah bangsawan keraton yang hebat. Untuk diketahui, itu semua bukan dicapai dengan hidup enak-enak. Akan tetapi, dicapai dengan cara laku prihatin, tirakat, mesu budi dan patiraga. Apakah Raden tidak ingin seperti mereka?””
Mendengar perkataan Ki Tanujoyo seperti itu, akhirnya bangkitlah semangat Raden Bagus. Dia pun mencoba tetap bertahan di pesantren Gebang Tinatar di Tegalsari, Ponorogo. Sampai suatu ketika, dirinya minta diantar ke kali Kedhung Batu untuk menjalani tirakat, sebagaimana yang pernah ditempuh oleh para leluhurnya.
Berkat kekerasan hati dan ketekunannya, maka setelah menjalani tirakat selama 40 hari 40 malam di kedung Watu, tanpa makan dan minum, kecuali sesisir pisang setiap harinya, akhirnya ada hasil yang dia peroleh. Dari tirakatnya ini Raden Bgus memperoleh wisik, yakni ditemui eyang buyutnya, R.Ng.Yosodipuro I. Dia diminta menengadahkan telinganya, dan gaib sang kakek buyutnya kemudian masuk kedalamnya.
Ada kisah lain yang tak kalah aneh. Konon, Ki Tanujoyo yang menemaninya dipinggir kali, sewaktu menyiapkan nasi untuk buka saat tirakat menginjak hari kw 40, orang tua ini melihat ada sinar masuk ke dalam kendilnya, yang ternyata berupa ikan untuk lauk sang Bagus berbuka puasa.
Semenjak usai menjalani tirakat ini, pribadi Raden Bagus Burhan pun berubah 180 derajat. Kebengalannya berubah menjadi sikap yang sangat patuh. Tak hanya itu, kalau pada awalnya dia santri yang bebal, akhirnya berubah menjadi santri yang cepat menerima pelajaran yang diberikan oleh Kyai Imam Bestari. Dia juga memiliki kelebihan dalam hal mengaji dan berdakwah, sehingga jauh lebih menonjol dibandingkan santri-santri lainnya. Karena kecerdasannya ini, Bagus Burhan memperoleh sebutan baru dari Kyai Imam Bestari, yakni Mas Ilham.
Misteri Kematian Sang Pujangga
Pada akhir sekitar rentang 1979, kematian R.Ng. Ronggowarsito alias Bagus Burham memang sempat menjadi bahan polemik. Pokok pangkal polemik tersebut adalah sekitar kematian Ronggowarsito yang telah diketahui sebelumnya oleh dirinya sendiri. Ya, delapan hari sebelum ajal menjemputnya sang pujangga telah menulis berita kematian tersebit dalam Serat Sabda Jati. Demikian cuplikannya dalam susunan kalimat asli:
“Amung kurang wolu ari kadulu, tamating pati patitis. Wus katon neng lobil makpul, antarane luhur, selaning tahun Jumakir, toluhu madyaning janggur. Sengara winduning pati, netepi ngumpul sakenggon.”
Artinya kurang lebih bahwa dirinya akan meninggal pada tanggal 5 Dulkaidah 1802 atau tanggal 24 Desember 1873 pada hari Rabu Pon.
Tulisan tersebut memang sempat melahirkan kontroversi berkepanjangan. Ada yang menilai bahwa Ronggowarsito  meninggal bukan secara alami, akan tetapi dibunuh atas perintah persekongkolan Raja Paku Buwono IX yang mendapat desakan Belanda. Ketika itu Belanda merasa resah karena melihat kelebihan dan kemampuannya. Karena itulah Belanda berkepentingan menghabisinya. Apalagi, ayahanda Ronggowarsito ternyata juga telah diculik Belanda hingga akhirnya tutup usia di Jakarta.
Keinginan Belanda itub rupanya sejalan dengan Paku Buwono IX. Sang raja juha merasakan adanya sesuatu yang kurang berkenan dengan sepak terjang Ronggowarsito yang ketika itu namanya sangat terkenal mengingat karya-karyanya. Maka kuat dugaan, konspirasi menyikirkan Ronggowarsito akhirnya berjalan sempurna.
Apakah keraguan ini benar? Memang, sampai sekarang hal tersebut tetap menjadi misteri. Di satu pihak menganggap bahwa dengan kelinuwihannya Ronggowarsito memang mampu mengetahui saat-saat kematiannya, meski kematian adalah rahasia Tuhan. Namun di pihak lain menduga bahwa tidak menutup kemungkinan ada tangan-tangan lain yang merekayasa kematian tersebut, sekaliggus merekayasa kalimat ramalan pada  Serat Sabda Jati sebagaimana dinukuli di atas.
Memang, banyak kalangan ahli yang beranggapan, bahwa bait-bait sebagaimana kami nukilkan itu merupakan tambahan dari orang lain. Hal ini jika mengingat dari sekitar 50 buku tulisan karya Ronggowarsito tidak terlalu nyata, mana tulisan murni karyanya, dan mana yang ditulis bersama-sama dengan orang lain, maupun yang merupakan terjemahan.  Hal ini mudah dimaklumi, mengingat pada waktu itu belum ada perlindungan hak cipta. Apalagi sewaktu Ronggowarsito bertugas di keraton Solo kerajaan dalam kondisi tidak menentu, terpengaruh dengan perseteruan keluarga raja dan campur tangan kaum penjajah Belanda yang ingin mengail d iair keruh. Bagaimana yang sebenarnya, hanya Tuhan yang Maha Tahu.
Sumur Tua Bernuansa Mistis
Beberapa waktu yang lalu Misteri berziarah ke makam pujangga agung Tanah Jawa ini. Yang menarik, di bagian utara komplek makam, terdapat sebuah sumur tua, yang konon sudah ada sejak pertama kali makam tersebut dibangun.
Mungkin karena ketuaannya, Misteri memang merasakan kalau sumur ini telah dipengaruhui oleh khodam sang pujangga yang memiliki daya linuwih tersebut. Kekuatan khodam ini terasa sangat dominant.
Memang, menurut kepercayaan sumur ini menyimpan karomah untuk memperoleh atau meramalkan gambaran jati diri seseorang. Caranya adalah dengan prosesi ritual tertentu, yakni dengan memasukkan uang gobang kuno ke dalam sumur yang saat penghujan hanya berkedalaman sekitar satu setengah meter dari permukaan tanah tersebut.
Menurut tutur, orang yang melakukan ritual akan memperoleh gambaran yang dapat terlihat, yang melambangkan nasib atau peruntungannya. Contohnya, jika terlihat gambaran payung, maka diyakini akan memperoleh jabatan tinggi. Contoh lainnya, bila si pelaku ritual melihat gambaran buku, maka diyakini dia akan menjadi penulis atau pengarang terkenal yang buku-bukunya laris.
Masih banyak gambaran lain yang bisa diperoleh peziarah, yang tentu saja untuk membacanya kita perlu minta petunjuk juru kunci.
“Sumur ini ada yang menyebutnya Sumur Tiban. Menurut penerawangan, sumur itu ditunggu oleh sejenis jin yang berwujud seorang puteri.Namanya Sekar Lara Gadung Melati,” demikian tutur Bu Bambang, 55 tahun, isteri juru kunci yang sering diminta tolong mengantarkan tamu, apabila suaminya tidak sedangg ada di tempuh karena keperluan yang tak dapat ditinggalkan.
Ketika Misteri berkunjung ke tempat ini, maih terlihat batang-batang hio bekas para peziarah. Juga terlihat di sana sini tersebar kembang dari para peziarah yang belum sempat dibersihkan.
“Hampir setiap hari ada tamu yang ritual di sini. Tetapi yang paling banyak di hari Kamis malam Jum’at Kliwon,” tambahnya pula.
Kompleks makam Ronggowarsito ini dibangun hingga mencapai bentuknya yang sekarang  sekitar 1955 oleh Dinas P & K kala ini. Yang terasa unik, di luar cungkup pujangga terlihat makam Carel Prederick Winters (1799-1859), berikut isterinya, Jacoma Hendrika Logeman (1828). Maka ini memang dipindahkan dari makam Kerkop di Jebres Solo sekitar 1985.
Tak jauh dari maka sang pujangga juga ada makam Bagus Tlogo dan Bagus Gumyur. Mereka disebut sebagai cikal bakal makam, yang merupakan pemuda kembar yang hingga kini masih masih paling diangap wingit.
Sementara itu, terlepas dari mana yang benar tentang peristiwa wafatnya sang pujangga, tulisan-tulisan karyanya telah memberikan andil dalam kesusteraan kita. Khususnya sastrawan bahasa Jawa. Tanpa Ronggowarsito, mungkin terlampau sedikit kajian sastra-sastra Jawa yang dapat dimanfaatkan.
Ramalan Jangka Jayabaya, misalnya, sangat besar andilnya bagi masyarakat Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Terlebih, apabila kondisi bangsa sedang terpuruk, biasanya ada secercah harapan, bahwa di suatu saat nanti cobaan akan berakhir setelah munculnya seorang pemimpin sejati, yang disenangi rakyat, yaitu Satrio Piningit atau Ratu Adil, yang akan mengentaskan kita dari keterpurukan keadaan.
Sebagai contoh, pada zaman pemberontakan Dipenogoro (1825-1830), pengikut sang pangeran mengira bahwa beliaulah Ratu adil yang ditunggu-tunggu, yang akan mampu melepaskan mereka dari derita akibat ulah penjajah Belanda. Demikian pula ketika Jepang mencengkramkan kuku-kuku penjajahannya di Indonesia.
Demikian juga ketika negara kita dilanda oleh krisis multi dimensi, harga-harga mahal, kesulitan hidup mencekik leher seperti sekarang ini. Dengan adanya wacana akan datangnya sang Ratu Adil, maka rakyat tetap memiliki rasa optimis. Setidaknya, mereka masih punya harapan bahwa di suatu waktu nanti keadaan ini akan berakhir, dan kejayaan bangsa akan pulih, bahkan melebihi kejayaan masa lampau.
Kapan itu? Kita sama-sama menunggu. “Bayang-bayang hanya setinggi badan.” Demikian kata pepatah., yang artinya cobaan dari Tuhan sebatas kita mampu menanggungnya. Mungkin, kita memang masih harus bersabar!

Mengungkap Misteri Gajah Pendem

gajah-pendem
gajah-pendem
Awal Agustus yang lalu, empat orang spiritualis dari Gunung Kidul, Yogyakarta, Solo, Jawa Tengah, Jakarta serta Bantul, melakukan ritual pendeteksian posisi harta karun di patung Gajah Pendem. Patung tua ini terletak di Dusun Senden, Desa Cepoko Sawit, Kecamatan Sawit, Boyolaki, Jawa Tengah. Keempat spiritualis yang dipimpin oleh Lia Hermin Puteri dari Sanggar Songgo Buwono, Yogyakarta ini, ingin membuktikan rumor yang beredar selama ini di desa Cepoko Sawit.
Rumor yang beredar tersebut menyebutkan bahwa di bawah patung Gajah Pendem atau sekitarnya, terdapat harta karun berupa lantakan emas murni. Tak hanya itu, di tempat ini juga disebut-sebut ada emas murni dalam bentuk miniature perahu yang beratnya tak kurang dari 50 Kg.
Karena rumor yang beredar cukup santer, empat spiritualis itu melakukan pendeteksian secara langsung. Tak pelak lagi, kegiatan para orang pintar ini, sempat pula mendapat perhatian dan menjadi tontonan masyarakat setempat. Lalu bagaimana hasil pendeteksian mereka?
Menurut penuturan Lia Hermin, ternyata rumor yang beredar di Desa Cepoko Sawit selama ini, tidak hanya isapan jempol belaka. Tapi memang benar-benar ada buktinya. Sebagaimana penuturan perempuan yang biasa disapa dengan panggilan Bunda Bunda Lia ini, dari hasil penerawangan dirinya dan tiga orang spiritualis lainnya terdeteksi  posisi harta karun tersebut memang berada di sekitar Gajah Pendem. Bahkan posisi miniatur kapal yang terbuat dari emas murni, persis berada dibawah Gajah Pendem. Sedangkan koin emas murni yang jumlahnya sekitar 1000 keping, berhamburan di sekitarnya.
Namun menurutnya lagi, harta karun yang nilainya tak terhingga ini, belum bisa dilakukan pengangkatan dalam waktu dekat. Selain berada di bawah kedalaman tanah, prosesi mengangkat harta karun seperti itu, memerlukan ritual khusus dengan perlengkapan ritual yang spesifik pula. Lebih-lebih, harta karun tersebut ada penjaga gaibnya.
“Mengangkat harta karun, tak semudah membalikkan telapak tangan. Harta karun di sini, tak bisa diangkat dengan peralatan nyata. Karena dijaga oleh gaib. Kalau digali dengan teknologi peralatan, ya nggak kelihatan,” tutur Bunda Lia kepada Misteri.
Apa yang dikatakan oleh Bunda Lia, dibenarkan pula salah seorang penduduk setempat yakni Suwarno, 54 tahun. Menurut pria yang juga anggota Legiun Veteran ini, beberapa waktu yang lalu, pernah Gajah Pendem ini berusaha diangkat ke permukaan dengan peralatan canggih. Maksudnya, ingin mengetahui harta karun jenis apa yang terpendem di bawahnya seperti yang selama ini digembar-gemborkan oleh masyarakat. Namun, jangankan terangkat atau bisa menggeser posisi patung gajah tersebut, belum sempat Gajah Pendem ini bergerak, rantai sebesar ibu jari orang dewasa yang digunakan sebagai alat untuk mengikat, langsung putus.
“Padahal saat pengangkatan berlangsung, rantai yang mengikatnya sebanyak tiga buah,” tandas Suwarno.
Selain itu, sudah puluhan paranormal yang datang dari berbagai daerah untuk mengangkat harta karun yang ada di bawah serta di sekitar Gajah Pendem. Namun hiingga detik ini, tak seorangpun yang berhasil.
“Saya percaya, kalau disini ada harta karunnya entah berupa apa. Dan ini sudah menjadi isyu masyarakat sejak dulu. Dan saya juga percaya, jika harta karun itu ada penunggu gaibnya. Buktinya, kendaraan berat dengan tiga rantai besar yang berusaha menggeser patung gajah ini dari posisinya, langsung putus,” terang Suwarno dengan nada serius.
Lalu, bagaimana legenda Gajah Pendem yang kini telah berujud patung dan berada di bawah kedalaman tanah sekitar dua meter ini?
Menurut penuturan Suwarno, memang ada sebuag legenda yang melatarbelakangi mengapa patung gajah itu disebut Gajah Pendem. Ketika di wilayah Boyolali, masih berdiri kerajaan Pengging Purwa dengan rajanya yang bernama Damarmaya. Raja ini mempunyai seorang putera mahkota yang cukup tampan. Selain tampan, putera mahkota ini juga mempunyai kesaktian yang luar biasa.
Karena ketampanannya inilah, banyak putri dari kerajaan tetangga maupun kadipaten, yang berusaha merebut hati sang pangeran. Sayangnya, tak seorangpun puteri yang berhasil melunakkan hatinya.
Ketampanan putera mahkota Pengging Purwa, beritanya kian menyebar kemana-mana. Tak hanya kerajaan yang ada di Nusantara saat itu yang mendengar akan ketampanannya. Bahkan tak sedikit puteri dari negeri seberang di luar wilayah Nusantara yang datang melamar putera mahkota kerajaan Pengging Purwa. Salah satunya yakni, puteri dari negeri Campa. Tak jelas siapa nama puteri dari negeri Campa yang datang melamar putera mahkota Pengging Purwa saat itu.
Namun menurut legenda yang beredar dari tutur, agar lamarannya diterima oleh Raja Pengging Purwa dan putera mahkota terpikat kepadanya, selain mengandalkan kecantikan, saat datang ke Pengging Purwa, puteri ini membawa berbagai macam bentuk emas sebagai persembahan. Salah satunya yakni miniatur kapal yang terbuat dari emas murni. Belum lagi dalam bentuk perhiasan serta koin yang bergambar puteri tersebut.
Karena letaknya negerinya yang jauh, selain membawa kapal besar, puteri ini bersama pengawalnya juga membawa seekor gajah yang mengangkut semua barang berharga yang terbuat dari emas.
Begitu tiba di negeri Pengging Purwa, puteri Campa ini langsung menghadap raja untuk mengutarakan maksdunya. Secara kebetulan, saat diriya menghadap Raja Pengging Purwa, putera mahkota melihatnya. Kedua insan berlainan jenis ini kemudian saling curi pandang. Rupanya, ada kecocokan diantara mereka. Namun sayangnya, Raja Pengging Purwa justeru merasa tersinggung atas barang-barang persembahan yang dibawa puteri Campa dari negerinya. Dengan maskawin emas sebanyak itu, Raja Pengging Purwa justru menilai itu sebuah penghinaa.
Saat itu juga, lamaran puteri Campa langsung ditolak. Padahal sebenarnya, putera mahkota sudah menyukai puteri Campa yang melamarnya.
Kemarahan Raja Pengging Purwa, rupanya tak sebatas menolak lamaran puteri Campa. Sang Prabu Damarmaya kemudian keluar menuju alun-alun di mana gajah yang mengangkut barang berharga itu berhenti. Setelah mendekati gajah tersebut, Raja Pengging Purwa ini langsung mengeluarkan kata-kata berupa kutukan.
Saat itu juga, atas kutukan dari Raja Pengging Purwa, gajah yang mengangkut barang berharga yang rencananya digunakan sebagai maskawin itu, langsung berubah menjadi batu, namun bentuknya tetap seperti gajah.
Tak lama setelah gajah tersebut berubah menjadi batu, atas kesaktian Damarmaya pula, gajah itu langsung tenggelam ke bumi. Karena itulah, mengapa nama gajah tersebut sekarang lebih dikenal dengan nama Gajah Pendem. Maksdunya, gajah yang terpendem. Seterusnya, karena malu, puteri Campa kembali ke negerinya….
Demikianlah asal muasal legenda terbentuknya patung Gajah Pendem. Tentu saja perlu penelitian intensif untuk membuktikan kebenaran kisah ini.
“Atas dasar dari legenda tersebut, kemudian daerah sini diberi nama Desa Cempoko. Maksudnya, berasal dari kota Campa,” papar Suwarno.
Sebenarnya, sekarang terletak di mana negeri Campa itu? Masih menurut Suwarno, menurut legenda yang beredar di masyarakat, negeri Campa zaman dulu, sekarang telah berubah nama menjadi Kamboja. Apalagi menurutnya lagi, sekarang negara Kamboja merupakan salah satu negera penganut agama Budha. Begitu juga dengan binatang gajah, juga banyak di negara tersebut.
Benarkah Campa, negeri tempat asal puteri yang melamar putera mahkota Pengging Purwo sekarang ini menjadi wilayah Kamboja? Dalam wawancara ekseklusif Misteri dengan Duta Besar Indonesia untuk Kamboja Nurrahman Urip, 60 tahun, disebutkan bahwa dalam legenda, khususnya legenda Jawa, banyak orang awam yang mengatakan jika negeri Campa zaman dulu, sekarang ini merupakan atau telah menjadi negara Kamboja.
“Hal itu salah besar. Karena sebenarnya, negeri Campa jaman dulu, kini telah berubah nama menjadi negara Vietnam. Negara Kamboja sendiri, memang bertetangga dengan Vietnam serta berbatasan langsung,” ungkap Nurrahman.
“Disini saya tidak bermaksud mencampuri legenda Jawa yang telah merakyat mengenai negeri Campa zaman dulu. Cuma saya hanya ingin meluruskan,” terang diplomat yang telah bertugas sebagai Duta Besar di Kamboja 2 tahun lebih ini kepada Misteri.

Tanah Kuburan dalam Mitos Orang Bali

kuburan bali
Ada banyak mitos yang dianut orang Bali. Misalnya saja, ada hari tertentu saat mereka tak boleh menebang bambu yakni di hari Minggu. Atau berangkat ke tajen bila bertemu dengan orang hamil itu pertanda sang penjudi akan kalah. Masih banyak puluhan mitos lainnya yang tak bisa dihitung dengan jari.
Diantara begitu banyak mitos yang dianut orang Bali, dan ini sudah dianggap sebagai pakem, salah satunya adalah yang menyangkut kematian, kuburan, dan sejenisnya. Mitos atau pamali yang berhubungan dengan ketiga hal inilah yang paling banyak dihindari.
“Mencium aroma kuburan saja di seputar halaman rumah, atau di jalan sudah membuat orang Bali merinding,” ujar Dewa Naga, 57 tahun, yang mengaku berulang kali rumahnya dilempari orang dengan tanah kuburan.
Biasanya, tanah kuburan itu tidak mesti diambil di kuburan yang sebenarnya. Karena kekuatan magisnya maka tanah pasir yang diambil di tepi pantai pun bisa berubah seolah-olah menjadi tanah kuburan.
“Ini karena saat melewati kuburan tanah itu diberi semacam Ajian Aruti Mangala Prancata  oleh mereka yang iri atau dengki kepada kita,” tegas Dewa Naga.
Dampak dari model guna-guna ini adalah seluruh keluarga penghuni rumah akan berantakan, bahkan rejeki bisa menjauh.
Menurut Dewa Naga, di antara mereka yang sampai sekarang merasakan dampak kejahatan guna-guna tanah kuburan adalah Ketut Badra, 40 tahun, tetangganya di Tojan, Gianyar, 25 km arah timur Denpasar.
Badra sejak sepuluh tahun yang lampau tanpa sebab yang jelas, tiba-tiba saja mengalami sakit mengurus dan mengering tinggal tulang belulang. Padahal sebelumnya, Badra adalah lelaki tangguh yang setiap hari sanggup memanjat 10 kelapa di kampungnya.
“Suatu siang dia mencium aroma kuburan di tepi sungai di ujung desa kami. Saat dia menengoknya, dia melihat ada periuk kecil berisi kembang sepatu hitam, cempaka hitam dan sejumput tanah kuburan yang ditenggarai adalah milik demit atau Gamang yang menghuni dasar sungai tersebut,” kisah Dewa Naga lebih lanjut.
Ru[anya, ketika itu Ketut Badra tidak sadar kalau periuk kecil berisi sesajen itu adalah milik Gamang. Tanpa sengaja Badra menyepaknya dan periuk itupun akhirnya terpental masuk ke sungai.
Seminggu kemudian stelah kejadian itu Badra bermimpi didatangi orang tinggi besar setinggi tiang listrik, kulitnya legam dan lidahnya menjulur.
“Dalam kepercayaan orang Bali, itulah raja Gamang yang hidup di dasar sungai yang mengalir di timur kampung Tojan ini,” tambah Dewa.
Sejak saat itulah, tepatnya 13 April 1995, Badra menunjukkan perilaku aneh. Dia tak berani keluar rumah meski siang hari sekalipun. Bahkan melihat sinar matahari lewat jendela kamarnya saja dia ketakutan seperti melihat macan di tengah hutan. Makannya juga semakin sedikit, bahkan kadangkala seminggu sekali baru mau makan.
“Karena itu badannya semakin kurus bak tulang terbungkus kulit, matanya kosong menatap hampa kepada siapa saja yang  ada didekatnya. Kami menyebut apa yang dialami Badra itu sebagai terkena Pekakas Gamang,” jelas Dewa.
Setelah hampir setahun sakitnya belum ada tanda perbaikan, keluarganyapun menanyakan kepada orang pintar, persisnya seorang guru spiritual di Klungkung Bali. Disebutkan bahwa suatu siang Badra memang menyepak periuk Gamang yang isinya tanah kuburang sehingga dia menjadi terkena apa yang disebut sebagai sakit ngeb-ngeban, obatnya termasuk sangat sulit.
Keluarga Badra pun menerima kenyataan itu dengan lapang dada, karena dalam pandangan orang Bali, sakit menahun akibat kutukan karena menyepak periuk bertanah kuburan itu memang sangat sulit obatnya.
Sejak peristiwa itu, kehidupan sehari-hari Badra dulu riang, ramah menyapa siapa saja sahabatnya, sekarang ini tampak membeku, mirip mayat hidup. Keluarganya sudah kehabisan akal untuk menyembuhkan sakitnya. Mungkin seratus dokter, seratus dukun dan seratus orang pintar telah dihubungi untuk menyembuhkan penyakitnya. Namun tak satupun memberikan harapan yang pasti.
Bagi orang Bali, tanah kuburan memang bisa membawa petaka pada siapapun yang tertimpa oleh kesialannya. Seperti juga yang dialami oleh Wayan Soper, 45 tahun, manajer salah satu hotel di Bali.
Ceritanya, sekitar lima tahun yang lalu Wayan Soper punya kerabat yang meninggal dunia di Bandung, Jawa Barat. Karena akan dilakukan Ngaben bagi si mayat, maka diputuskan oleh pemuka agama setempat di Bandung untuk hanya mengirim tanah kuburannya ke Bali, dan tidak perlu membakar jenazahnya.
“Kami sebenarnya tidak setuju karena itu tidak lumrah, tapi keluarga di Bandung bersikeras agar tanah kuburan itu dikirim ke Bali,” papar Wayan yang asli kelahiran Mengwi Bali ini.
Apa yang terjadi memang diluar akal sehat manusia. Akibat membawa tanah kuburan itu, sejak naik bus di terminal di Bandung, bus sudah menunjukkan gejala kurang beres. Memang nagas, ebelum masuk kota Jogya, bus yang ditumpangi utusan yang membawa tanah kuburan itu bertabrakan.
“Terpaksa sang utusan berganti bus lagi, tapi tetap dengan membawa tanah kuburan itu. Anehnya, menjelang masuk terminal Jurang Asri, Surabaya, bus bertabrakan lagi. Kamipun berganti bus lagi,” kenangnya.
Itu saja rupanya belum cukup. Menjelang masuk Kota Negara, bus yang ditumpanginya bertabrakan lagi. Akhirnya, merekapun berganti bus untuk ketiga kalinya. Untunglah sampai di Bali tanah kuburan itu tetap utuh tapi tiga bus telah jadi korbannya.
Yang lebih sial lagi, begitu sampai di Bali, saat tanah kuburan itu akan diikutkan dalam upacara Ngaben, keanehan juga terjadi. Menjelang upacara memukur, isteri almarhum yang sebelumnya sehat saat masih berada di Bandung, tanpa mengalami sakit apapun tiba-tiba meninggal dunia.
Tanah kuburan membawa sial juga dialami oleh Made Sudi, 47 tahun, tehnisi penyedia jasa tower telepon selular, kelahiran Tabanan Bali. Dia tidak menyepak periuk Gamang penuh tanah kuburan seperti Badra, atau membawa tanah kuburan dari Bandung, tapi berniat menyantet musuh bebuyutannya dengan menggunakan tanah kuburan sebagai medianya.
“Menurut Mbah Dukun, saya mesti mencari segenggam tanah kuburan yang ada di tempat kampung musuh yang akan saya sanet itu,” tuturnya belum lama ini kepada Misteri.
Made Sudi menyanggupi syarat itu. Dia pun nekad mengambil tanah kuburan di kampung tempat tinggal orang yang akan disantetnya. Namun karena kemalaman, dia tak segera bisa membawa tanah kuburan itu ke tempat sang dukun, tapi terlebih dahulu menyimpannya di meja yang ada di sebelah tempat tidurnya.
“Tengah malam, tiba-tiba telinga saya mendenging dahsyat seperti disambar pesawat jet. Bahkan, karena peristiwa ini gendang telinga saya sampai seperti pecah, karena kerasnya suara itu. Dokter yang memeriksa saya setidaknya mengatakan demikian,” kenang Made Sudi.
Alhasil, dia tak sempat lagi membawa tanah kuburan itu ke rumah dukun karena keburu harus mengobati telinganya. Sampai sekarang pun telinga sebelah kanannya masih sering kumat dan mengeluarkan cairan berbau busuk.
Begitulah kepercayaan orang Bali terhadap tanah kuburan. Memang, tak sembarang saja dia bisa dimanfaatkan untuk mencelakai orang lain, salah-salah yang celaka malahan diri kita sendiri.

Monday, August 22, 2011

Kisah Supranatural Keramat Pamijahan


Goa Safar Wadi
Syech Abdul Muhyi adalah tokoh ulama legendaris yang lahir di Mataram tahun 1650. Ia tumbuh dan menghabiskan masa mudanya di Gresik dan Ampel, Jawa Timur. Ia pernah menuntut ilmu di Pesantren Kuala Aceh selama delapan tahun. Ia kemudian memperdalam Islam di Baghdad pada usia 27 tahun dan menunaikan ibadah haji.
Setelah berhaji, ia kembali ke Jawa untuk membantu misi Sunan Gunung Jati menyebarkan agama Islam di Jawa Barat. Awalnya Abdul Muhyi menyebarkan Islam di Darma, Kuningan, dan menetap di sana selama tujuh tahun. Selanjutnya, ia mengembara hingga ke Pameungpeuk, Garut Selatan, selama setahun.
Abdul Muhyi melanjutkan pengembaraannya hingga ke daerah Batuwangi dan Lebaksiuh. Setelah empat tahun menetap di Lebaksiuh, ia bermukim di dalam goa, yang sekarang dikenal sebagai Goa Safarwadi, dengan maksud untuk mendalami ilmu agama dan mendidik para santrinya.
Keberadaan Goa Safarwadi ini erat kaitannya dengan kisah perjalan Syech Abdul Muhyi. Dikisahkan, pada suatu saat ia mendapat perintah dari gurunya yakni Syekh Abdul Rauf Singkel (dari Kuala Aceh), untuk mengembangkan agama Islam di Jawa Barat bagian selatan sekaligus mencari tempat yang disebutkan dalam ilham dengan sebuah gua khusus sebagai tandanya.
Setelah melalui perjalanan yang sangat panjang dan berat, pada suatu hari ketika sedang asyik bertafakkur, memuji kebesaran Allah, Syech Abdul Muhyi tiba-tiba menoleh ke arah tanaman padinya, yang didapati telah menguning dan sudah sampai masanya untuk dipanen.
Konon, setelah dipanen, hasil yang diperoleh ternyata tidak kurang juga tidak lebih atau hanya mendapat sebanyak benih yang ditanam. Mengetahui hal ini ia menjadi sangat terkejut sekaligus gembira, karena itu adalah pertanda bahwa perjuangannya mencari gua sudah dekat.
Upaya pertama untuk memastikan adanya gua yang dicari dan ternyata berhasil ini, dilanjutkan dengan cara menanam padi kembali di lahan sekitar tempat tersebut. Sambil terus berdoa kepada Allah SWT upaya ini pada akhirnya juga mendapatkan hasil. Padi yang ditanam, berbuah dan menguning, lalu dipetik hasilnya, ternyata menuai hasil sama sebagaimana yang terjadi pada peristiwa pertama. Hal ini semakin menambah keyakinan Syech Abdul Muhyi bahwa di tempat itulah (di dalam gunung) terdapat gua yang dicarinya.
Suatu hari ketika sedang berjalan ke sebelah timur gunung tersebut, sambil bermunajat kepada Allah SWT, Syech Abdul Muhyi tiba-tiba mendengar suara air terjun dan kicauan burung-burung kecil dari tempat tersebut. Ia kemudian melangkah turun ke tempat di mana suara itu berada, dan di sana ia melihat sebuah lubang besar yang ternyata sesuai dengan sifat-sifat gua yang cirri-cirinya telah ditunjukkan oleh gurunya.
Seketika itu juga terangkatlah kedua tangan Syekh Abdul Muhyi, menengadah ke atas sambil mengucap doa sebagai tanda syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan pertolongan pada dirinya dalam upaya menemukan gua yang dicari.
Peristiwa penemuan gua ini terjadi pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal, tahun 1111 H/1690 M, setelah perjuangan berat dalam mencarinya selama kurang lebih 12 tahun. Usia Syech Abdul Muhyi sendiri pada waktu itu adalah genap 40 tahun. Dan gua tersebut pada nantinya akan dikenal dengan nama Gua Pamijahan.
Gua Pamijahan terletak di sebuah kaki bukit yang sekarang dikenal dengan sebutan Gunung Mujarod (bukan Mujarob seperti yang pernah ditulis Idris Nawawi dalam Majalah ini – Red). Nama ini diambil dari kata bahasa Arab yang berarti “tempat penenangan” atau dalam bahasa Sunda disebut sebagai; tempat “nyirnakeun manah”, karena Syech Abdul Muhyi sering melakukan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) di dalam gua tersebut.
Gua Pamijahan ini pada dasarnya memiliki makna khusus dalam perjalanan dakwah dan spiritual Syech Abdul Muhyi. Penemuan dan keberadaan gua ini seolah menjadi simbol yang menandakan bahwa perjalanan spiritual Syech Abdul Muhyi telah mengalami puncaknya. Selain itu, selalu terdapat makna dan fungsi khusus dalam setiap hal yang terhubung secara istimewa dengan tokoh yang menjalaninya.
Hal ini bisa dipahami karena seperti yang diungkapkan oleh Martin Van Bruinessen, bahwa para tokoh sejarah Islam di nusantara khususnya, biasa melakukan pendekatan supranatural dalam rangka meningkatkan kharisma mereka. Gua besar di Pamijahan (Tasikmalaya Selatan) sebagai tempat Syech Abdul Muhyi melakukan ‘riyadhah spiritual’, dan salah satu pusat penyebaran tarekat Syathariyah di Pulau Jawa adalah contoh dari hal tersebut.
Para juru kunci di tempat ini bahkan menunjukkan sebuah lorong sempit yang konon dilalui oleh Syech Abdul Muhyi untuk pergi ke Makkah setiap Jum’at. Sementara itu di Cibulakan (Pandeglang-Banten) misalnya, juga terdapat sebuah sumur yang konon berhubungan dengan sumber air zam-zam di Makkah. Menurut riwayat, Maulana Mansyur, yang diyakini sebagai wali, yang dimakamkan di Cikaduwen, pulang dari Makkah melalui sumber mata air zam-zam dan muncul di sumur ini.
Ringkasnya, hingga saat ini masih ada “kyai” di Jawa, yang menurut para pengikutnya yang paling fanatik, setiap Jum’at secara gaib pergi sembahyang di Masjidil Haram. Semua ini juga menandaskan perihal lain, yakni kuatnya peranan haji dan Makkah serta hubungannya dengan tradisi spiritual sebagai legitimasi kekuasaan atau keilmuan seseorang, dalam pandangan orang Jawa.
Di lingkungan kekeramatan Pamijahan sendiri terdapat beberapa kisah yang mengandung pengertian di atas. Satu kisah yang sering beredar menyebutkan bahwa, konon Syech Abdul Muhyi bersama Maulana Mansyur dan Ja’far Shadiq sering shalat di Makkah bersama-sama lewat Gua Pamijahan. Ketiga orang itu memang dikenal mempunyai ikatan persahabatan yang sangat erat.
Kisah supranatural lain di lingkungan kekeramatan Pamijahan adalah kisah yang menjadi muasal diharamkannya merokok di lingkungan tersebut. Menurut kepercayaan masyarakat, pada suatu hari Syech Abdul Muhyi dan Maulana Mansyur berada di Makkah hendak pulang ke tanah Jawa, keduanya kemudian berunding tentang pemberangkatan bahwa siapa yang sampai lebih dulu di Jawa, hendaklah menunggu salah seorang yang lain di tempat yang telah ditentukan.
Lalu berangkatlah kedua sahabat tersebut dengan cara masing-masing, yakni; Syeikh Maulana Mansyur berjalan di atas bumi sedangkan Syech Abdul Muhyi di bawah bumi, keduanya sama-sama menggunakan kesaktiannya.
Namun, ketika Syech Abdul Muhyi sedang berada dalam perjalanan di bawah laut, tiba-tiba ia merasa kedinginan, lalu berhenti sebentar. Sewaktu hendak menyalakan api dengan maksud untuk merokok, tanpa disangka muncul kabut yang membuat sekelilingnya jadi gelap. ia terpaksa berdiam diri menunggu kabut tersebut menipis sambil merokok. Namun kabut itu ternyata semakin menebal. Akhirnya ia teringat bahwa merokok itu perbuatan yang makruh (dibenci Allah). Maka seketika itu juga ia merasa berdosa dan segera bertaubat kepada Allah SWT. Bersamaan dengan itu kabut pun menghilang, dan akhirnya ia bisa berangkat lagi meneruskan perjalanannya.
Mulai saat itulah Syech Abdul Muhyi menjauhkan diri dari merokok, bahkan bisa dikatakan mengharamkan rokok untuk dirinya. Sedang kepada keluarga dan pengikutnya, ia  hanya melarang mereka merokok sewaktu di dekat dirinya.
Oleh karena itu, di daerah Pamijahan ada tempat tertentu yang dilarang secara adat untuk merokok, khususnya tempat yang berada di sekitar makam Syech Abdul Muhyi. Adapun batas-batas wilayah larangan merokok antara lain: sebelah timur daerah Kaca-Kaca, sebelah barat jalan yang menuju ke gua dimulai dari masjid Wakaf, sebelah selatan dimulai dari makam Dalem Yudanagara (+ 300 m) dari makam Syech, sedang sebelah utara (±300 m) dari makam Syech, yaitu jalan umum yang menuju ke Makam Eyang Abdul Qohar di Pandawa.
Singkat kata, wilayah-wilayah dengan batasan yang telah ditentukan tersebut adalah daerah larangan merokok menurut adat yang berlaku.
Kisah-kisah semacam ini tidak akan dibahas lebih jauh. Yang perlu direnungi adalah hikmah yang berada di baliknya. Sebab, setiap cerita yang ada pada dasarnya menunjukkan keluasan ilmu, keluhuran pribadi dan kemuliaan pengabdian Syech Abdul Muhyi kepada masyarakat dalam perjuangannya mengajarkan prinsip-prinsip Islam dan menjauhkan mereka dari bentuk-bentuk kepercayaan yang sesat.
Pamijahan sendiri pada dasarnya adalah nama sebuah kampung yang letaknya di pinggir kali, sehingga ia merupakan tempat yang menguntungkan karena masyarakat sekitar dapat mengolahnya untuk mengembang-biakkan ikan, akan tetapi kondisi ini juga bisa sebaliknya, yakni kadang-kadang membawa bencana, seperti banjir yang melanda daerah tersebut beberapa waktu yang lalu. Peristiwa ini membuat banyak rumah yang hanyut karena tidak kuat menahan banjir. Oleh karena itu pula, bangunan-bangunan yang sekarang masih ada dan terletak di tepi sungai harus dibuat permanen.
Pamijahan termasuk ibu kota Desa di Wilayah Kecamatan Bantarkalong, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Sebelum Syech datang ke Pamijahan, sudah ada kampung yakni daerah Bojong, wilayah Sukapura, terletak di sebelah Timur Laut dari kampung Pamijahan sekarang, yang kini dikenal dengan nama Kampung Bengkok. Di sana terdapat makam Dalem Sacaparana, mertuanya Syech Abdul Muhyi.
Adapun kata “Pamijahan” adalah nama baru, di masa hidup Syech Abdul Muhyi sendiri nama tersebut belum dikenal. Wilayah ini disebut oleh Syech Abdul Muhyi dengan istilah Safar Wadi. Nama ini diambil dari kata Bahasa Arab, yakni: safar yang berarti “jalan” dan wadi yang berarti “lembah”. Jadi, Safar Wadi adalah jalan yang berada di lembah. Hal ini disesuaikan dengan letaknya yang berada di antara dua bukit di pinggir kali.
Namun sekarang Safar Wadi dikenal juga dengan nama Pamijahan, karena banyak orang yang berdatangan dari pelosok Pulau Jawa secara berduyun-duyun, laksana ikan yang akan bertelur (mijah). Karena itu nama Safar Wadi kemudian berganti menjadi Pamijahan, sebab mempunyai arti yang hampir mirip dengan tempat ikan akan bertelur, dan bukan berarti tempat “pemujaan”.
Goa Safarwadi merupakan salah satu tujuan utama peziarah yang berkunjung ke Pamijahan. Panjang lorong goa sekitar 284 meter dan lebar 24,5 meter. Peziarah bisa menyusuri goa dalam waktu dua jam. Salah satu bagian goa yang paling sering dikunjungi adalah hamparan cadas berukuran sekitar 12 meter x 8 meter yang disebut sebagai Lapangan Baitullah. Tempat itu dulu sering dipakai shalat oleh Syech Abdul Muhyi bersama para santrinya.
Di samping lapangan cadas itu terdapat sumber air Cikahuripan yang keluar dari sela-sela dinding batu cadas. Mata air itu terus mengalir sepanjang tahun. Oleh masyarakat sekitar, air itu dipopulerkan sebagai air “zam-zam Pamijahan.” Air ini dipercaya memiliki berbagai khasiat. Menjelang Ramadhan, para peziarah di Pamijahan tak lupa membawa botol air dalam kemasan, bahkan jerigen, untuk menampung air “zam-zam Pamijahan” itu. Dengan minum air itu, badan diyakini tetap sehat selama menjalankan ibadah puasa.
Syech Muhyi ini disebut juga oleh bangsa wali lainnya dengan gelar A’dzomut Darojat, yang artinya “orang yang mempunyai derajat agung.” Bercerita tentang derajat kewaliyan, tentu kita hanya paham atau mengerti secara sepintas, bahwa yang disebut derajat seperti ini hanya ada di zaman Wali Songo. Sebenarnya pemahaman seperti ini tidak benar, karena derajat Waliyulloh akan terus mengalir hingga sampai pada akhir zaman sebagai sunnaturrosul.
Syech Abdul Muhyi dalam sejarah hidupnya adalah seorang yang zuhud, pintar, sakti dan terkenal paling berani dalam memerangi musuh Islam. Namun semua itu adalah masa lalu dan kini hanya tinggal kenangan belaka. Hanya saja walau ia sudah ratusan tahun telah tiada, namun rohmat serta kekeramatannya masih banyak diburu, terutama oleh para peziarah yang minta berkah lewat wasilahnya.

Asal Mula Kanjeng Kyai Plered

Kala itu, kejayaan Majapahit pun mulai berangsur redup. Nun … di Katumenggungan Wilwatikta yang tenang dan damai, di pagi nan cerah itu, sang Tumenggung yang dikaruniai sepasang anak yang mulai beranjak dewasa, yakni Raden Sahid dan Dewi Rasa Wulan memanggil keduanya untuk menghadap.
Setelah keduanya  menghaturkan sembah bakti, sang Tumenggung pun berkata; “Sahid, sekarang engkau sudah dewasa. Mulai sekarang, engkau harus bersiap-siap untuk menggantikan bila aku sudah tak mampu lagi melaksanakannya.”
“Sebelumnya, aku dan ibumu berharap agar engkau segera menikah. Katakanlah, gadis mana yang selama ini telah menjadi tambatan hatimu. Nanti aku yang akan melamarkan untukmu,” imbuhnya.
Raden Sahid yang duduk bersila dengan takzim dan kepala menunduk sebagai tanda hormat kepada orang tua, hanya diam membisu. Hatinya benar-benar galau. Betapa tidak, sejatinya, di dalam hati ia menolak untuk segera menikah.  Tapi apa daya, jika menolak, ia takut membuat kedua orang tuanya kecewa.
Padahal dalam hati yang sangat dalam, beliau menggerutu, belum siap memikirkan tentang arti sebuah mahligai rumah tangga. Di tengah-tengah suasana yang mencekam itu, mendadak terdengar suara Tumenggung Wilwatikta memecah kesunyian; “Mengapa engkau diam Sahid?”
“Apakah engkau menolak permintaanku?” Sambungnya cepat.
“Ampun … ayahanda,” sahtu Raden Sahid dengan terbata-bata, “tak ada maksud hamba untuk menolaknya.”
“Tetapi mengapa engkau diam dan tidak segera menjawab,” potong sang ayah dengan cepat.
“Ampun … ayahanda,” jawab Raden sahid dengan santun, “sampai saat ini, hamba masih menimbang-nimbang, wanita mana yang tepat untuk menjadi menantu ayahanda.”
Tumenggung Wilwatikta pun menarik napas lega, “Baiklah kalau begitu. Pertimbangkan dengan masak-masak, dan hati-hati dalam menentukan jodohmu.”
Karena dianggap cukup, maka, Raden Sahid pun diperkenankan untuk undur diri. Dan kepada Dewi Rasa Wulan, sang ayah hanya berpesan agar dirinya bersiap-siap untuk menerima pinangan dari pemuda  yang sudah ditetapkan kedua orang tuanya.
Tanpa berani membantah, Rasa Wulan pun hanya diam … lalu, ia pun undur diri dari hadapan ayahandanya.
Tidak seperti biasanya, keceriaan yang biasa diperlihatkan keduanya di kadipaten mendadak hilang. Hingga malam menjelang, Raden Sahid masih disungkupi kegelisahan. Bahkan, matanya pun tak bisa dipejamkan walau malam terus merangkak. Hatinya teramat sedih …
“Untuk menghindar dari paksaan ayah, kiranya aku harus pergi dari sini,” demikian bisik hatinya. Dan benar, seiring dengan malam yang terus merangkak dan seisi katumenggungan sedang terbuai dalam mimpi indahnya masing-masing, diam-diam Raden Sahid pun ke luar dari kamarnya dan pergi ….
Paginya, tatkala Dewi Rasa Wulan mengetahui bahwa kakaknya tak ada di kamarnya, sontak, hatinya pun khawatir. Dengan harap-harap cemas ia pun mencari sang kakak di berbagai penjuru katumenggungan. Tapi apa daya, sang kakak seolah lenyap bak ditelan bumi. Dewi Rasa Wulan pun yakin, sang kakak telah pergi meninggalkan katumenggungan tanpa meminta izin pada kedua orang tuanya.
“Mengapa Kangmas Sahid tidak mengajakku,” bisik hati Rasa Wulan, “padahal aku juga bermaksud pergi agar terhindar dari paksaan ayah.” Dengan langkah gontai, Dewi Rasa Wulan pun masuk ke kamarnya untuk menyiapkan pakaian dan langsung menyusul kakaknya.
Waktu terus berlalu. Malamnya, barulah seisi katumenggungan heboh. Mereka baru sadar jika Raden Sahid dan Rasa Wulan telah pergi tanpa sepengetahuan orang tuanya. Mendengar laporan bahwa kedua anaknya pergi, Tumenggung Wilatikta pun terkejut. Dengan cepat ia memerintahkan seluruh telik sandi katumenggungan untuk menelisik keberadaan kedua anaknya itu.
Tapi apa daya, keduanya seolah lenyap ditelan bumi. Hari bergangti minggu dan minggu berganti bulan bahkan bulan bergantiu tahun, tapi, keberadaan keduanya tetap saja tidak terendus.
Berbilang waktu, dalam pengembaraannya, Raden Sahid mengalami pahit dan getirnya penderitaan serta menghadapi berbagai macam cobaan hingga di kemudian hari ia dikenal sebagai sosok waliyullah yang sangat masyhur, Khanjeng Sunan Kalijaga — lewat bimbingan seorang Waliyulloh A’dzom Sunan Bonang, yang diteruskan kepada Sunan Gunung Jati, sampai pada akhirnya mendapat derajat kewalian secara sempurna lewat talqin Nabiyulloh Hidir AS, hingga akhirnya beliau diambil mantu dan dijadikan tangan kanan paling setia oleh Sunan Gunung Jati Cirebon.
Tak jauh berbeda dengan sang kakak, di dalam pengembaraannya, setelah berbilang tahun tidak juga berhasil menemukan Raden Sahid, akhirnya, Dewi Rasa Wulan pun bertapa ngidang (bertapa seperti kijang, hidup bersama-sama kawanan kijang dan mengerjakan apa yang dikerjakan oleh kijang, termasuk memakan makanan yang biasa dimakan oleh kijang-Jw) di tengah hutan Glagahwangi (perbatasan Pasundan, Jawa Barat).
Di dalam hutan  nan lebat dan angker itu terdapat sebuah danau bernama Sendhang Beji, yang ditepiannya tumbuh dengan subur sebatang pohon besar yang batangnya menjorok dan menaungi permukaannya. Dan tak ada yang menyangka jika pada salah satu cabangnya yang menjorok ke atas permukaan Sendhang Beji itu terdapat seseorang yang sedang bertapa ngalong (bertapa seperti kalong, bergantungan pada cabang pohon-Jw). Ya … sosok linuwih itu tak lain adalah Syekh Maulana Mahgribi.
Waktu terus berlalu. Dan pada suatu nan terik, Rasa Wulan pun mendatangi Sendhang Beji. Ia berniat ingin mandi, untuk menyegarkan badannya. Ia sama sekali tak tahu jika di atas permukaan air sendhang itu ada seorang laki-laki yang sedang bertapa — dan tanpa malu-malu Rasa Wulan pun membuka seluruh pakaian penutup tubuhnya. Dalam keadaan tanpa sehelai benang pun, dengan perlahan-lahan ia berjalan menghampiri danau dan mandi di Sendhang Beji. Kesejukan air danau membuat tubuhnya jadi terasa sangat nyaman.
Sementara itu, Syekh Maulana Mahgribi yang sedang bertapa tepat di atas danau memandang kemolekan tubuh Rasa Wulan dengan penuh pesona. Melihat kecantikan dan kesintalan tubuhnya, sontak, birahi Syekh Maulana Mahgribi pun bangkit hingga meneteskan bibit hidup (sperma-Jw) dan jatuh tepat diatas tempat Rasa Wulan mandi.
Karena peristiwa itu, maka, Rasa Wulan pun hamil. Akhirnya, Rasa Wulan pun tahu jika laki-laki yang bergantungan pada cabang pohon di atas danau itulah yang menyebabkan kehamilannya.
“Mengapa engkau tega berbuat demikian?” Protes Rasa Wulan sambil menunjuk sengit ke arah Syekh Maulana Mahgribi. “Mengapa engkau menghamiliki?”
Syekh Maulana Mahgribi hanya diam. Ia seakan tidak mendengar apa-apa.
“Karena telah berbuat, maka, engkau harus bertanggung jawab!” Sergah Rasa Wulan semakin sengit.
“Mengapa engkau menuduhku?” Tanya Syekh Maulana Mahgribi dengan sabar.
“Lihat! Aku hamil,” sahut Rasa Wulan.
“Engkau yakin jika aku yang menghamilimu?” Tanya Syekh Maulana Mahgribi meminta ketegasan.
“Ya. Aku yakin!” Sahut Rasa Wulan tegas.
“Karena di tempat ini tidak ada laki-laki lain, maka, engkaulah yang kutuduh menghamiliku,” imbuhnya dengan berapi-api.
Untuk menghindarkan diri dari tuduhan itu, Syekh Maulana Mahgribi pun langsung mencabut kemaluannya — kemudian menyingkapkan sarungnya dan menunjukkan kepada Rasa Wulan bahwa ia tidak memiliki kemaluan. Syekh Maulana Mahgribi pun berujar, “Lihat, aku bukan laki-laki. Jadi mana mungkin aku menghamilimu.”
“Bagaimana pun juga aku tetap menuduhmu yang menghamiliku” kata Rasa Wulan, “karena itu, engkau harus bertanggung jawab terhadap kehidupan bayi yang tengah kukandung ini.”
“Aku yang harus bertanggung jawab?” Tanya Syekh Maulana Mahgribi.
“Ya. Engkau yang harus bertanggung jawab,” sahut Rasa Wulan, “mengasuh dan memeliharanya kelak setelah lahir.”
Syekh Maulana Mahgribi tidak dapat mengelak. Dan pada waktunya, setelah anak yang dikandung oleh Rasa Wulan itu lahir, maka, si jabang bayi pun yang diberi nama Kidang Telangkas pun diserahkan kepada Syekh Maulana Mahgribi. Kelak dikemudian hari, secara turun temurun, keturunan Kidang Telangkas menjadi raja di tanah Jawa.
Kembali ke perdebatan sengit antara Dewi Rasa Wulan dengan Syekh Maulana Maghribi, saat itu, ternyata kemaluannya yang dicabut berubah wujud menjadi sebilah mata tombak —  yang akhirnya menjadi “sipat kandel” (senjata andalan) dari raja-raja Jawa. Dan tombak itu dinamakan Khanjeng Kyai Plered.
Saat ini Khanjeng Kyai Plered itu merupakan salah satu dari senjata pusaka Keraton Yogyakarta.
Namun dalam perdebatan lain, tombak Khanjeng Plered, yang asli telah raib dan dimiliki oleh seorang Waliyulloh Kamil, yang turun temurun selalu dijaga dan dirawat secara baik, sebab hal semacam ini sudah menjadi ilmu Waris bagi ahli generasi sesama Waliyulloh “Di mana hak yang terlahir dari seorang waliyulloh, maka, akan kembali kepada hak sederajat lainnya” Juga seperti maqolahnya Rosululloh SAW: “Sesungguhnya hak warisku akan terpenuhi oleh keturunanku kelak, dan tiada kuberikan pengganti kecuali yang memahamiku, maka sambutlah pemberianku hingga kamu menggantikanku
Setiap yang aku miliki (sisa peninggalan hidup) adalah bagian wujud kasar yang tiada berarti dan hakikat sebenarnya adalah kembali ke yang  punya, maka peliharalah apa yang menjadi izin langsungku hingga kau menikmati dengan apa yang sesungguhnya kau pahami

Golok Pusaka Langlangbuana


Warga Jawa Barat, masyarakat Pasundan khususnya, selama ini mungkin banyak mendengar cerita tentang adanya harimau gaib yang diyakini sebagai wujud penjelmaan dari Prabu Siliwangi. Harimau gaib ini digambarkan sebagai hewan berbulu loreng, atau ada juga yang mengatakan berbulu putih dan disebut sebagai Lodaya.
Disamping harimau loreng dan Lodaya, yang diyakini sebagai jelmaan Prabu Siliwangi dan para pengikut setianya, sesungguhnya masih ada jenis harimau gaib lainnya, yakni harimau yang berbulu hitam pekat. Nah, jenis harimau hitam inilah yang mungkin masih kurang diketahui seperti apa asal-usulnya.
Meski terkesan musykil, namun bagi masyarakat Jawa Barat, khususnya yang tinggal di daerah pinggiran, masih meyakini kalau kesemua jenis harimau gaib tersebut hingga kini masih ada dan kerap menampakkan wujudnya di tempat-tempat tertentu. Fenomena itu utamanya kerap terjadi di sekitar Leuweung Sancang, Garut Selatan. Menurut cerita, di Leuweung Sancang inilah Prabu Siliwangi bersama para pengikut setianya memutuskan jalan gaib dengan cara ngahyang atau moksa.
Lantas, bagaimana asal-usul harimau hitam dari Pajajaran itu?
Menurut informasi yang Misteri terima, sosok harimau hitam yang kini dijadikan lambang kesatuan kepolisian daerah di Jawa Barat ini tidak lain mulanya berasal dari salah seorang tokoh pengabdi setia di Pajajaran.
Saat Prabu Siliwangi berkuasa, sang tokoh mendapat kepercayaan jabatan sebagai pejabat tinggi keamanan, atau setara dengan Panglima Polri pada saat sekarang. Dialah petinggi polisi pertama yang sempat diangkat dilingkungan Kerajaan Pajajaran. Tokoh dimaksud tak lain adalah yang namanya populer dengan sebutan Eyang Langlangbuana. Dia pertama kali ditunjuk sebagai pengabdi polisi di lingkungan kerajaan pada  1515, dan bersamanya sempat pula ditunjuk dua orang ajudannya, yaitu yang bernama Eyang Jagariksa dan Eyang Jagapirusa.
Disebutkan, ketiga tokoh inilah yang bertanggungjawab terhadap keamanan di lingkungan dalam kerajaan. Mereka juga memiliki pos pusat di Pakuan, juga sejumlah pos-pos jaga di kawasan Sukadana, Cibitu dan Cianjur.
Eyang Langlangbuana, atau yang dikenal pula sebagai Eyang Jagaraksa atau Jagasatru, menurut sejarah, sebenarnya bukanlah orang Pajajaran asli. Dia adalah pengembara yang berasal dari Kerajaan Bugis, Makasar. Kemudian dia menikah dengan wanita di Pajajaran.
Sebelum singgah di Pajajaran, Eyang Langlangbuana sempat pula mengembara ke belahan bumi lain. Seperti ke Tanah Arab yang lamanya 77 tahun, dan terakhir ke Tanah Jawa, atau dalam hal ini adalah Pajajaran.
Seperti diceritakan, Prabu Siliwangi dan segenap pengikut setianya akhirnya sepakat memilih jalan gaib untuk mati secara moksa. Sementara. saat mendapati tekanan berat dari pihak musuh, Eyang Langlangbuana memilih jalan akhirnya sendiri, yaitu meninggal secara wajar.
Menurut sebuah sumber, makam Eyang Langlangbuana berada di kawasan Cibule, di kaki Gunung Pangrango, Cianjur.
Sudah barang tentu, Eyang Langlangbuana termasuk leluhur yang memiliki jasa besar bagi Pajajaran. Makamnya kini sangat dikeramatkan. “Namun, untuk dapat mencapainya, boleh dikata tidaklah gampang. Sebab, disamping lokasinya yang berada di kedalaman hutan yang rimbun, juga untuk tiba di sana kita pun harus siap berjalan jongkok dan merayap, dikarenakan makam itu terkurung oleh pohon-pohon yang besar,” tegas sumber Misteri yang enggan disebutkan namanya.
Sementara, berkaitan dengan cerita keleluhuran Eyang Langlangbuana yang nama besarnya kini diabadikan sebagai simbol kesatuan kepolisian Jawa Barat, terungkap sebuah informasi kalau ternyata senjata pusakanya adalah sebilah golok yang panjangnya sekitar satu meter. Pusaka ini sekarang berada di tangan seorang kolektor di Bandung.
Karena bahannya yang bukan sembarangan, pusaka Eyang Langlangbuana tersebut diyakini menyimpan tuah tertentu. Menurut sang pemilik, banyak kalangan yang berhasrat untuk dapat memilikinya.
“Golok ini berkhodam seekor harimau gaib berbulu hitam, jelmaan dari Eyang Langlangbuana. Golok ini merupakan perangkat beladiri yang sangat ringan untuk dimainkan. Sehingga, banyaknya pihak yang berminat,” kata sang pemilik yang juga enggan disebut identitasnya.
Menurut pengakuannya, golok yang bergagang berupa ukiran kepala harimau hitam itu adalah benar-benar asli. Benda tersebut merupakan warisan dari para leluhurnya yang sempat mendalami dan menyusuri sejarah Pajajaran.

BAJULGILING: Ajimat Sakti Milik Jaka Tingkir part2



Lebih kurang 10.000 orang prajurit dipersiapkan. Pangeran Benowo naik kuda di belakang ayahnya yang duduk di atas gajah. Di Prambanan mereka berhenti dan memperkuat pertahanan dengan meriam.
Kyai Adipati Mandaraka (Juru Mertani), yang melihat akan terjadinya pertempuran besar, mendesak Senopati agar pergi ke Gua Langse (Gua Rara Kidul) sedangkan ia sendiri akan ke Gunung Merapi untuk meminta bantuan. Setelah kembali dari Gua Langse Senopati mengumpulkan 1.000 orang prajurit, dan 300 orang di antaranya ditempatkan di sebelah selatan Prambanan. Mereka mendapat perintah, begitu terdengar suara letusan keluar dari Gunung Merapi, harus segera memukul canang Kyai Bicak dan berteriak-teriak. Sebagai panglima diangkat Tumenggung Mayang.
Pertempuran terjadi di dua tempat. Pasukan Mataram pura-pura melarikan diri. Tetapi orang-orang Pajang yang mengejarnya tiba-tiba diserang oleh pasukan Matram dari dua arah dan dicerai-beraikan. Gelap malam menghentikan pertempuran itu. Kedua belah pihak kembali ke kubu pertahanan masing-masing.
Hari itu pukul tujuh pagi, Gunung Merapi meletus di tengah-tengah kegelapan. Hujan lebat, hujan debu, gempa bumi, banjir dan gejala alam lain yang menyeramkan. Orang-orang Mataram memukul Canang Kyai Bicak. Banjir menggenangi kubu panjang yang memaksa mereka melarikan diri dalam kebingungan. Sultan terseret dalam kekacauan itu.
Selanjutnya diceritakan dalam Serat Babad Tanah Jawi. Sultan, dalam hal ini Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, yang malang dan terpaksa melarikan diri itu ingin berdoa di makam Tembayat, tetapi pintu makam tidak dapat dibuka. Raja tidak mampu membukanya sehingga ia berlutut saja di luar. Juru kunci memberikan penjelasan yang sangat buruk tentang kejadian itu. Rupanya Allah tidak lagi memberinya izin menjadi raja. Hal ini amat mengguncangkan jiwa sang raja. Pada malam hari ia tidur dalam bale kencur yang dikelilingi air, yang sangat menyegarkan.
Esok harinya perjalanan dilanjutkan, tetapi raja terjatuh dari gajahnya dan menjadi sakit karenanya. Setelah itu ia dinaikkan di atas tandu, begitulah perjalanan pulang ke Pajang amat lambat dan raja duduk terguncang-guncang di atas tandu.
Pangeran Benowo, Pangeran Pengiri, Tumenggung Wirakerti dan Suratanu yang menolong raja saat jatuh dari gajah, segera mengetahui, mengapa Sultan tidak bisa lagi mengendalikan gajah yang tiba-tiba menjadi galak, karena tidak lagi adanya ikat pinggang azimat dari Kyai Buyut Banyubiru di pinggangnya. Suratanu ingat, Sultan melepaskan ikat pinggang itu dari tubuhnya dan meletakkan di sampingnya saat berdoa di depan makam Sunan Tembayat. Suratanu meyakini ikat pinggang itu pasti lupa terbawa oleh Sultan dan masih tertinggal di depan pintu makam di Tembayat.
Dengan cepat Suratanu menggebrak kudanya kembali ke makam Sunan Tambayat. Tapi ikat pinggang itu sudah tidak ada di tempatnya. Menurut juru kunci, hilangnya ikat pinggang Sultan memberi pertanda akan berakhirnya masa kejayaannya, karena ikat pinggang itulah yang telah mengantarnya mendapatkan harkat dan martabat yang terhormat.
Banyak kisah tentang hilangnya dan keberadaan ikat pinggang bertimang Kyai Bajulgiling yang bertuah itu. Ada sebagian kisah menceritakan, ikat pinggang yang tertinggal di depan pintu makam Sunan Tembayat itu diambil dan disimpan oleh juru kunci makam. Tetapi ada pula yang mempercayai ikat pinggang itu hilang secara gaib, yang hilangnya azimat itu juga diketahui dan disadari oleh Sultan.
Namun yang jelas, ikat pinggang dengan Timang Kyai Bajulgiling azimat buatan Kyai Buyut Banyubiru itu secara gaib masih tersimpan di seputar makam Sunan Tembayat di Gunung Jabalkat. Karena itu tak heran bila sejak dahulu sampai sekarang banyak orang pintar yang berusaha mengambilnya dari alam gaib, baik untuk dirinya sendiri atau untuk kepentingan orang lain. Hal ini karena adanya kepercayaan, akan kekuatan gaib yang terkandung dalam Timang Kyai Bajulgiling yang dapat mengangkat derajat, harkat dan martabat pemilik atau pemakainya.
Meski sudah banyak sekali orang pintar yang memburu kepala ikat pinggang sakti milik Jaka Tingkir itu, namun hingga kini belum diperoleh informasi apakah sudah ada di antara mereka yang berhasil mendapatkan benda keramat dari alam gaib itu.
Saat Misteri berkunjung ke lokasi Makam Sunan Tembayat di Gunung Jabalkat beberapa waktu silam, yang kebetulan ditemani oleh Mbah Diran, seorang paranormal asal dusun setempat, tidak berhasil mendapatkan gambaran gaib mengenai benda ini.
”Sepertinya ada kekuatan gaib yang sangat hebat menutupi keberadaan Timang Kyai Bajulgiling, sehingga Mbah sulat untuk melacak posisinya. Mungkin, faka ini juga yang membuat banyak orang yang memburunya sulit mendapatkan pusaka sakti ini,” ungkap Mbah Diran, yang setia menemani perjalanan Misteri.

BAJULGILING: Ajimat Sakti Milik Jaka Tingkir part1


Komplek-Makam-Jaka-Tingkir
Menurut Babad Jawi dan Babad Sengkala, timang atau kepala ikat pinggang Kyai Bajulgiling adalah timang sakti milik Kyai Buyut dari Banyubiru yang kemudian diberikan kepada Jaka Tingkir atau Mas Karebet. Timang Kyai Bajulgiling’bersama ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit buaya itu diberikan Kyai Buyut dari Banyubiru kepada Jaka Tingkir sebagai piandel dalam pengabdiannya ke Kerajaan Demak Bintoro yang kemungkinan akan mengalami banyak hambatan, baik selama di perjalanan maupun setelah berada di Demak Bintaro.
Diceritakan dalam Babad Pengging, konon Timang Kyai Bajulgiling dibuat oleh Kyai Banyubiru dari bijih baja murni yang diambil dari dalam gumpalan magma lahar Gunung Merapi. Dengan kekuatan gaibnya, bijih baja murni itu oleh Kyai Banyubiru dibuat menjadi dua pusaka. Satu berbentuk sebilah keris luk tujuh yang dikenal dengan nama Kyai Jalakpupon dan satunya lagi berbentuk timang (kepala ikat pinggang) yang kemudian dikenal dengan nama Kyai Bajulgiling, karena bentuk mata timang yang seperti buaya giling dengan kepala sedikit terangkat, mulut terkatup tapi kedua matanya terbuka lebar.
Kekuatan gaib yang dimiliki oleh Timang Kyai Bajulgiling ialah, barang siapa yang memakai ikat pinggang Timang Kyai Bajulgiling ini, maka dia akan kebal dari segala macam senjata tajam dan ditakuti semua binatang buas. Hal ini selain kekuatan alami yang dimiliki oleh inti bijih baja murni itu sendiri, juga karena adanya kekuatan rajah berkekuatan gaib yang diguratkan Kyai Banyubiru di seputar timang tersebut. Kemudian kekuatan ikat pinggang ber-Timang Kyai Bajulgiling beberapa kali dialami dan dibuktikan sendiri oleh JakaTingkir.
Mengenai hal ini Babad Tanah Jawi menceritkan sebagai berikut:
Jaka Tingkir konon lahir di Pengging yang penuh rahasia, yang tentunya sebuah negeri kecil yang berdiri sendiri. Di sana terdapat beberapa benda kuno dari zaman Hindu, juga sebuah makam keramat yang dinyatakan sebagai tempat peristirahatan ayah Jaka Tingkir yang bernama Kebo Kenanga alias Andayaningrat. Karena ia lahir sewaktu ada pertunjukkan wayang Beber (juga dinamakan wayang Karebet), maka ia pun dinamakan Mas Karebet.
Tetapi Jaka Tingkir tidak dibesarkan di Pengging, namun di Tingkir, sebab Sunan Kudus, raja pendeta diplomat jendral Demak, telah membunuh ayahnya karena pembangkangan, dan tidak lama setelah itu ibunya pun meninggal. Keluarganya kemudian membawanya ke Tingkir, dan disana ia diasuh oleh seorang janda kaya, sahabat ayahnya. Karena itulah ia diberi nama Jaka Tingkir, pemuda dari Tingkir.
Mengikuti saran Ki Ageng Selo, gurunya dan Sunan Kalijaga, Jaka Tingkir pergi ke Demak untuk bekerja mengabdikan diri pada Sultan Demak, dan melamar sebagai pengawal pribadi. Keberhasilannya meloncati kolam masjid dengan lompatan ke belakang tanpa sengaja, karena sekonyong-konyong ia harus menghindari Sultan dan para pengiringnya memperlihatkan bahwa dialah orang yang tepat sebagai tamtama, dan diapun dijadikan sebagai kepala.
Beberapa waktu kemudian satuan itu menuntut perluasan. Seorang calon yang tak berwajah tampan (buruk rupa), bersikap tidak menyenangkan bagi panglima muda ini. Karenanya calon itu tidak diuji seperti bisa, yaitu menghancurkan kepala banteng dengan tangan telanjang, melainkan diuji kekebalannya yang disetujui pula oleh yang bersangkutan. Dan hanya dengan sebuah tusuk konde Jaka Tingkir mampu menembus jantungnya. Alangkah hebat kesaktiannya. Tapi seketika itu juga, hal ini mengakibatkan ia dipecat dan dibuang.
Kepergiannya menimbulkan rasa sedih yang mendalam pada kawan-kawannya. Dengan rasa putus asa Jaka Tingkir pulang kembali dan ingin mati saja.
Dua orang pertapa, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang (suami dari putri Bondan Kejawen atau adik Ki Ageng Getas Pendawa, kakek buyut Panempahan Senopati) tidak hanya memberi pelajaran, tetapi juga memberi semangat kepadanya. Ketika Jaka Tingkir berziarah di malam hari di makam ayahnya di Pengging, terdengarlah suara yang menyuruhnya pergi ke tokoh-tokoh keramat lain, antara lain Kyai Buyut dari Banyubiru  yang selanjutnya menjadi gurunya. Demikianlah Kyai ini memberikan kepadanya azimat agar ia mendapat perkenan kembali dari Sultan. Azimat pemberian Kyai Buyut dari Banyubiru itu berupa sebuah ikat pinggang dengan timang yang matanya berwujud buaya, yang diyakini sebagai Timang Kyai Bajulgiling.
Perjalanan kembali Jaka Tingkir ke Demak dilakukan dengan getek (rakit yang hanya terdiri dari susunan beberapa batang bambu). Saat akan melewati Kedung Srengenge, Jaka Tingkir menghadapi hambatan karena adanya sekawanan buaya, kurang lebih berjumlah 40 ekor, yang menjadi penghuni dan penjaga kedung tersebut. Percaya dengan kekuatan gaib dari Timang ikat pinggang pemberian Kyai Buyut Banyubiru, Jaka Tingkir nekad mengayuhkan geteknya memasuki kawasan Kedung Srengenge.
Bahaya pun mengancam ketika sekawanan buaya menghadang dan mengitari rakitnya. Namun berkat kekuatan gaib dari Timang Kyai Bajulgiling, buaya-buaya yang semula buas beringas seketika menjadi lemah dan akhirnya tunduk pada Jaka Tingkir. Bahkan keempat puluh buaya ekor buaya itu menjadi pengawal perjalanan Jaka Tingkir selama menyebrangi Kedung Srengenge dengan berenang di kiri-kanan, depan dan belakang rakitnya.
Di wilayah Demak azimat pemberian Kyai Buyut Banyubiru diterapkannya kembali. Seekor lembu liar dibuatnya menjadi gila, sehingga tiga hari tiga malam para tamtama pun tidak dapat menghancurkan kepalanya, dan bahkan dengan malu terpaksa mengaku kalah. Hanya Jaka Tingkir yang berhasil membunuh kerbau itu, yakni hanya dengan mengeluarkan azimat yang telah dimasukkan ke dalam mulut hewan itu sebelumnya. Setelah itu ia mendapatkan kembali kedudukannya yang lama.
Beberapa waktu kemudian ia menikah dengan putri ke -5 Raja (Sultan Trenggono) dan menjadi Bupati Pajang dengan daerah seluas 4.000 bahu. Tiga tahun ia harus menghadap ke Demak, tetapi negerinya berkembang dengan baik sekali dan di sanalah dibangunnya sebuah istana….
Demikianlah sekilah kisah tentang Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, gelar setelah menjadi Raja di Pajang. Setelah dia wafat, lalu dimanakah keberadaan ikat pinggang dan Timang Kyai Bajulgiling azimat pemberian Kyai Buyut Banyubiru itu? Sebab setelah meninggalnya Jaka Tingkir, tak satu pun dari anak, menantu dan kerabat dekat Sultan Hadiwijaya seperti Pangeran Benowo, Pangeran Pangiri dan juga Sutawijaya atau Senopati pernah menyimpan Timang Kyai Bajulgiling? Demikian juga halnya dengan dua sahabat dekatnya dari Pengging, Tumenggung Wirakerti dan Suratanu.
Menurut cerita, ikat pinggang dengan Timang Kyai Bajulgiling itu tertinggal di depan makam Sunan Tembayat di Gunung Jabalkat (masuk wilayah Kabupaten Klaten, Jawa Tengah), lupa terbawa oleh Sultan Hadiwijaya yang mengakibatkan ia terjatuh dari gajah yang dinaikinya dalam perjalanan pulang dari Tembayat ke Pajang.
Seperti diceritakan dalam Serat Kanda. Kedatangan iparnya Tumenggung Mayang memberi kesempatan kepada Senopati untuk mendapat pengikut lebih banyak lagi dari Pajang. Fakta-fakta ini pada suatu hari dalam persidangan agung di Pajang disodorkan oleh para menantu raja (Tumenggung Tuban dan Tumenggung Demak) kepada raja agar diperhatikan karena mereka berpendapat perlu segera menggempur Mataram. Meskipun sadar akan jatuhnya Pajang nanti, Sultan tidak bisa bertahan atas desakan itu, dan memerintahkan untuk mengangkat senjata. Para tumenggung menyatakan bersedia, asalkan Sultan turut serta, meskipun berada di belakang barisan.

Mustika Ular Pemberian Datu Amin Kelaru


mustika ular
Suku Dayak Benuag dan Tunjung meyakini betapa mereka berasal dari leluhur yang dikenal dengan sebutan Tamerikukng — karena keturunannya melakukan suatu kesalahan, akhirnya, mereka pun berubah ujud dan tersebar di beberapa tempat di seantero Pulau Borneo. Dan mereka inilah yang sering disebut sebagai “Roh” atau makhluk halus yang memiliki tugas serta fungsi masing-masing dan mukim di seluruh alam, seperti di langit, bumi, air dan sebagainya.
Walau hidup di alam yang tak kasat mata, namun, mereka memiliki kebutuhan yang sebagian besar sama dengan yang dibutuhkan manusia pada umumnya. Dalam kepercayaan lama inilah, sejatinya, hubungan dua alam yang bersanding dan hanya terpisahkan oleh kabut misteri terjalin dengan erat — dan keadaan itu hanya terasakan oleh manusia yang masih alami, atau manusia yang masih memanusiakan manusia dan masih menghargai alam semesta. Dan tak dapat dipungkiri, pengejawantahan dari sikap menghargai itulah yang dapat membuka tabir dimensi misteri tersebut yang oleh sebagian besar masyarakat Dayak diyakini sebagai Dunia Ilmu Magis.
Masyarakat Dayak meyakini, wujud ketaatan dan kesetiaan mereka terhadap “roh” akan mendapatkan berkah dan imbalan dalam berbagai bentuk. Sebaliknya, ketidaktaatan akan membawa mereka ke jurang kehancuran. Oleh karena itu, mereka selalu berusaha untuk bisa berkomunikasi dengan “roh-roh” tersebut lewat cara-cara yang seringkali tidak bisa diterima dengan akal sehat.
Menurut pakar kebudayaan Tanah Borneo, Dalmasius Madrah T, pada dasarnya, ilmu magis dibagi menjadi dua bagian; Yakni; Ilmu Magis Panas; ilmu yang dipakai atau dapat mencelakakan orang yang disukai. Contoh dari ilmu ini adalah rasutn dan bongkaaq eqaau yang sangat mematikan. Sedang yang tidak membahayakan namun digolongkan dalam ilmu magis panas adalah ilmu kebal. Sementara, Ilmu Magis Dingin; ilmu yang berfungsi untuk mengantisipasi, menangkal, dan mengobati ilmu magis yang dipasang atau dikirim oleh pihak lawan. Bahkan, bisa juga digunakan untuk pengobatan penyakit madis.
Seperti biasa, bagi seseorang yang berniat mendapatkan ilmu tersebut di atas, maka, ia harus mencari sumber (guru-pen) yang tepat atau yang sesuai dengan keinginannya. Yang paling menarik adalah, walau berbagai kajian ilmiah telah dilakukan dan banyak bukti nyata di dalam hidup dan kehidupan sehari-hari, tetapi, konsep magis yang memang sulit untuk diterima dengan akal sehat itu tetap saja tak bisa terungkap dengan sejelas-jelasnya.
Selain dari mencari sumber (guru-pen), ada pula yang ingin mendapatkan ilmu magis dengan cara “betapa” (bertapa-pen) sebagaimana yang dilakukan oleh leluhur Bung Dani-i-Dani yang mendapatkan warisan berupa batu berbentuk mirip telur yang terlilit oleh seekor ular. Dan sampai sekarang mereka meyakini, inilah yang disebut sebagai mustika ular.
Bermula, ketika itu, daerah Tumbang Samba terserang oleh wabah penyakit yang mematikan. Tak ada yang mereka bisa lakukan di desa yang demikian terpencil itu kecuali hanya berharap dan berdoa — keadaan inilah yang membuat kakek Bung Dani bertekad untuk betapa (bertapa-pen) di Sungai Kahayan untuk mendapatkan pencerahan guna mengatasi penyakit yang kian hari kian merajalela itu.
Pada saatnya, sang kakek pun berendam di Sungai Kahayan. Waktu terus berlalu hingga suatu hari, ia ia ditemui oleh penguasa Sungai Kahayan yang mengaku bernama Datu Amin Kelaru. Dan dari pertemuan dua makhluk yang berbeda alam itulah, ia pun mendapatkan sebuah batu mirip telur yang dililit oleh seekor ular. Singkat kata, dengan daya magis batu tersebut, akhirnya, sang kakek pun berhasil menyembuhkan masyarakat di desanya yang terkena penyakit aneh tersebut.
Meski mustika ular itu didapat dengan jalan betapa (bertapa-pen), tetapi, benda yang oleh suku dayak diyakini memiliki kekuatan atau kesaktian itu pada waktu-waktu tertentu biasa meminta imbalan berupa makanan dan minuman sebagaimana yang kita kenal dengan sebutan sesaji.
Sudah barang tentu, silang pendapat akan hal tersebut di atas selalu terjadi di tengah-tengah masyarakat. Namun, masyarakat suku Dayak melakukan hal tersebut sebagai (meminjam istilah Khanjeng Joko-pen) “tali asih” antara sesama makhluk ciptaan Tuhan. Sayangnya, dalam kehidupan sehari-hari, hal tersebut kadang berkebalikan. Seharusnya manusia yang diciptakan lebih sempurna ketimbang makhluk lain diptaanNya itu memberi “sesaji” sebagai sedekah bagi mahkluk yang lebi rendah — bukan sebaliknya.
Setelah sang kakek meninggalkan dunia nan fana ini, akhirnya, mustika ular tersebut diwariskan kepada cucunya, Bung Dani-i-Dani. Pemuda inilah yang akhirnya menjadi penerus sang kakek dalam memberikan pelayanan pengobatan baik medis maupun non medis di daerahnya. Tumbang Samba.
Sampai sekarang, tiap malam Jumat, Bung Dani-i-Dani selalu memberikan sesaji berupa bunga 3 atau 7 macam — dan salah satu di antaranya harus bunga melati, serta kopi manis dan kopi pahit masing-masing segelas, sementara, mustika ular itu diletakan di sebuah piring yang sebelumnya telah ditaburi dengan segenggam beras.
Kini, ditangan Dani-i-Dani, mustika ular yang berdaya gaib tinggi itu berhasil dioptimalkan untuk  berbagai hal. Selain pengobatan, mustika ular ini berhasil juga mendongkrak nilai guna dalam hal ekonomi. Di antaranya, penglarisan dagang, memperlancar usaha dan keperluan pagar gaib yang dikenal dengan sebutan kamaat (penjaga gaib yang setia). Yang terakhir ini memang dapat diperoleh dengan cara nemaai (diperoleh dengan pembayaran dan tata cara tertentu). Singkat kata, untuk membeli kamaat bukanlah suatu pekerjaan yang mudah — karena diperlukan kesungguhan, selain harus berhasil meyakinkan si pemilik kamaat agar mau berbagi. Pada dasarnya, kamaat bukan barang dagangan, hanya saja, bagi yang serius ingin mendapatkannya harus mau berbagi.
Demikian sekelumit legenda, tetapi nyata, dan sampai tulisan ini diturunkan masih bisa ditemui di Desa Tumbang Samba.

AKI TIREM: Cikal Bakal Berdirinya Kerajaan Tertua di Jawa


Situs Kerajaan Salakanagara
Siapakah sesungguhnya tokoh nenek moyang bernama Aki Tirem ini? Pertanyaan ini menarik sekali diajukan karena memang masih terdapat kesimpangsiuran prihal eksistensi tokoh legendaris ini. Menurut cerita rakyat Pandeglang, namanya juga dikenal sebagai Aki Luhurmulya. Bahkan, dia disebut juga sebagai Angling Dharma menurut Hindu, dan Wali Jangkung menurut Islam.
Namun demikian ada juga cerira di kalangan masyarakat yang menyebut nama Prabu Angling Dharma atau Wali Jangkung sebagai nama lain dari Dewawarman. Bahkan tokoh bernama Angling Dharma ini juga diakui berada di wilayah lain, bukan di Salakanagara.
Di zamannya Aki Tirem hanya berpredikat setingkat penghulu, bukan berpangkat raja. Tatkala sakit, sebelum meninggal dia menyerahkan kekuasaannya kepada menantunya yang bernama Dewawarman, yang jauh hari sebelumnya telah menikah dengan Nyi Pahoci Larasti, putrid Aki Tirem.
Atas pengangkatan ini semua penduduk menerimanya dengan senang hati. Demikian pula dengan para pengikut Dewawarman karena mereka telah menjadi penduduk di situ, lagi pula banyak di antara mereka yang telah mempunyai anak.
Lalu, siapakah Dewawarman ini? Konon, dia adalah seorang yang menjadi duta keliling negaranya yang terletak di India Selatan, untuk negara-negara lain yang bersahabat seperti: kerajaan-kerajaan di Ujung Mendini, Bumi Sopala, Yawana, Syangka, Cina dan Abasid (Mesopotamia), dengan tujuan mempcrerat persahabatan dan berniaga hasil bumi serta barang-barang lainnya.
Dewawarman dan rombongan berlabuh di pantai desa Aki Tirem pada awalnya dengan niat untuk mengisi perbekalan, terutama air. Namun ketika itu desa tersebut tengah dilanda keresahan karena aksi para perompak. Karena itulah pada mulanya Aki Tirem dan pasukannya berniat akan memerangi Dewawarman. Namun karena niat baiknya, Aki Tirem pada akhirnya menerima kehadiran rombongan pengembara dari India Selatan ini, bahkan penghulu desa di pantai barat Banten tersebut menjodohkan puterinya dengan Dewawarman.
Setelah tinggal menetap di desa Aki Tirem, Dewawarman beserta pengikutnya selalu berkeliling melindungi penduduk karena kampung-kampung di sepanjang pesisir itu memang sering didatangi bajak laut dan pcrompak. Sampai suatu ketika, perahu perompak datang di tempat itu dan berlabuh di tepi pantai. Para perompak itu sama sekali tidak melihat bahwa dirinya telah dikepung oleh pasukan Dewawarman yang bersembunyi dan berpencar dengan siaga penuh. Dewawarman beserta pasukannya dan pasukan Aki Tirem segera membuka serangan tanpa memberikan kesempatan kepada para perompak itu untuk mempersiapkan diri. Pcrtempuran pun terjadi.
Diceritakan, gerombolan perompak itu dapat dikalahkan. Dewawarman dan pasukannya unggul dalam pertempuran. Perompak yang mati ada 37 orang dan sisanya yang tertawan ada 22 orang. Anggota pasukan Dewawarman yang tewas ada dua orang, sedangkan anggota pasukan Aki Tirem tewas 5 orang. Semua perompak yang ditawan akhirnya mati digantung. Aki Tirem memperoleh perahu rampasan lengkap dengan barang-barang, senjata dan pcrsediaan makanan para perompak.
Kisahkan pula, setelah Aki Tirem wafat, sang Dewawarman menggantikannya sebagai penguasa di situ dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Haji Raksa Gapura Sagara. Sedang isterinya, Nyi Pohaci Larasati menjadi permaisuri dengan gelar Dewi Dwani Rahayu. Kerajaannya diberi nama Salakanagara.
Menurut Naskah Wangsakerta Aki Tirem adalah putera Ki Srengga, Ki Srengga putera Nyai Sariti Warawiri, Nyai Sariti Warawiri puteri Aki Bajulpakel, Aki Bajulpakel putera Aki Dungkul dari Swarnabhumi bagian selatan kemudian berdiam di Banten, Aki Dungkul putera Ki Pawang Sawer, Ki Pawang Sawer Putera Datuk Pawang Marga, Datuk Pawang Marga putera Ki Bagang yang berdiam di Swarnabhumi sebelah utara, Ki Bagang putera Datuk Waling yang berdiam di Pulau Hujung Mendini, Datuk Waling putera Datuk Banda ia berdiam di dukuh tepi sungai, Datuk Banda putera Nesan, yang berasal dari Langkasungka. Sedangkan Nenek moyangnya berasal dari negeri Yawana sebelah barat.
Jika dipelajari lebih jauh lagi, naskah Wangsakerta yang ditulis pada tahun 1677 M menceritakan, bahwa pendatang dari Yawana dan Syangka yang termasuk ke dalam kelompok manusia purba tengahan (Janma Purwwamadhya) tiba kira-kira tahun 1.600 sebelum Saka. Kaum pendatang yang tiba di Pulau Jawa kira-kira antara 300 sampai dengan 100 tahun sebelum Saka. Mereka telah memiliki ilmu yang tinggi (Widyanipuna) dan telah melakukan perdagangan serbaneka barang. Para pendatang ini menyebar ke pulau-pulau Nusantara.
Wangaskerta menjelaskan pula: Oleh para mahakawi yang terlibat dalam penyusunan naskah Wangsakerta disebut jaman besi (wesiyuga), karena mereka dianggap telah mampu membuat berbagai macam barang dan senjata dari besi, yang lebih penting, mereka telah mengenal penggunaan emas dan perak.
Sebenarnya bukan hanya berdagang, tetapi merekapun merasuk ke desa-desa, seolah-olah semuanya milik mereka. Pribumi yang tidak mau menurut atau menghadangnya segera dikalahkan. Merekapun harus menjadi orang bawahan yang harus tunduk pada keinginan mereka.
Antara tahun 100 sebelum Saka sampai awal tahun Saka masih banyak kaum pendatang yang tiba di Nusantara dari negeri-negeri sebelah timur dan selatan India,  yang juga telah memiliki pengetahuan yang tinggi.
Dari kisah ini dapat diambil kesimpulan, bahwa pengambilan nama Salakanagara, atau Kotaperak, atau Argyre memang wajar dan sangat terkait dengan zaman tersebut, yang dikisahkan oleh para Mahakawi sebagai zaman besi (wesiyuga), zaman manusia di Nusantara telah mengenal penggunaan besi dan perak sebagai perkakas.
Sedangkan kaum pendatang, seperti Dewawarman dari India datang ketempat tersebut dimungkinkan untuk berdagang dan mencari perak. Mungkin ini juga yang menjadi minat mereka singgah di perkampungan pesisir Aki Tirem.
Ada juga yang mengisahkan bahwa Akti Tirem ketika digantikan Dewawarman belum wafat, namun dia sengaja mengundurkan diri dari keramaian dunia dan pergi bertapa. Dewawarman kemudian dinobatkan menjadi raja pertama Salakanagara.
Penyerahan kekuasaan tersebut terjadi pada tahun 122 M. Dan pada saat itu diberlakukan pula penanggalan Sunda yang dikenal dengan sebutan Saka Sunda.
Klan Dewawarman menjadi raja Salakanagara secara turun menurun. Dewawarman I berkuasa selama 38 tahun sejak dinobatkan pada tahun 52 Saka atau 130 M. Selama masa pemerintahan dia pun mengutus adiknya yang merangkap Senapati, bernama Bahadur Harigana Jayasakti untuk menjadi raja daerah Mandala, Ujung Kulon. Sedangkan adiknya yang lain, bernama Sweta Liman Sakti dijadikan raja daerah Tanjung Kidul dengan ibukotanya Agrabhintapura. Nama Agrabhinta dimungkinkan terkait dengan nama daerah berada di daerah Cianjur Selatan, sekarang menjadi daerah perkebunan Agrabhinta, hanya karena sulit diakses, daerah tersebut seperti menjadi daerah tertinggal.
Dalam catatan sejarah, raja-raja Salakanagara yang menggunakan nawa Dewawarman sampai pada Dewawarman IX. Hanya saja setelah Dewawarman VIII, atau pada tahun 362 pusat pemerintahan dari Rajatapura dialihkan ke Tarumanagara. Sedangkan Salakanagara pada akhirnya menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara.
Selama kejayaan Salakanagara gangguan yang sangat serius datangnya dari para perompak. Hingga pernah kedatangan perompak Cina. Namun berkat keuletan Dewawarman dengan membuka hubungan diplomatik dengan Cina dan India pada akhirnya Salakanagara dapat hidup damai dan sentausa.
Selain adanya perkiraan jejak peninggalan Salakanagara, seperti batu menhir, dolmen dan batu magnet yang terletak di daerah Banten, berdasarkan penelitian juga ditemukan bahwa penanggalan sunda atau Kala Sunda dinyatakan ada sejak zaman Aki Tirem. Penanggalan tersebut kemudian dinamakan Caka Sunda. Perhitungan Kala Saka mendasarkan pada Matahari 365 hari dan Bulan 354 hari. Masing-masing tahun mengenal taun pendek dan panjang.