Ramadan bagi masyarakat Indonesia—yang penduduknya
mayoritas muslim—tidak sekadar ritual peribadatan, tetapi sekaligus
karnaval kehidupan. Bukan saja kaum muslim yang sibuk menyiapkan diri,
melainkan juga kalangan nonmuslim. Indonesia tidak monolitik. Kalau ada
yang berupaya menghadapkan secara diametris dengan saudara sebangsa
yang berbeda agama, tentulah itu upaya politik yang keji, karena
realitas kultural kita memang beraneka.
DI Kampung Pekojan, kawasan pecinan kota Semarang, Jawa Tengah,
hari-hari ini tampak berbeda dari biasanya. Kawasan padat yang menjadi
pusat bisnis itu setidaknya dihuni empat etnis berbeda: Jawa, China,
Arab, dan India.
Selama bulan Ramadan, seluruh penghuni kampung sibuk menyiapkan
makanan khas berbuka puasa (takjil) bubur india yang disajikan di
serambi Masjid Jami’ Pekojan, yang dibangun pada 1799 oleh H Muhammad
Azhari Akwan itu.
Diungkapkan Ali Baharun, takmir Masjid Jami’ Pekojan, kerukunan
antaretnis dan agama di wilayah itu sudah terjadi turun-temurun.
Meskipun Masjid Jami’ berada di lokasi yang “unik”, tak pernah ada
gangguan sedikit pun. Toleransi tinggi terus dipegang setiap warga di
kawasan masjid itu. “Ketika ada kerusuhan antaretnis Jawa dan China
pada 1981, di kawasan masjid ini tak pernah ada gesekan sedikit pun,”
ungkap Baharun.
Ada pemandangan lain begitu masuk di pintu gerbang masjid. Di sana
terdapat sejumlah makam tua yang nisannya masih terjaga. Setidaknya ada
dua kompleks makam terpisah di areal dalam masjid. Makam tersebut
adalah makam para keturunan pendiri masjid, imam masjid, ataupun takmir.
Salah satu makam, yang banyak diziarahi adalah makam Syarifah
Fatimah, seorang perempuan keturunan Gujarat yang dimakamkan pada 1290.
Konon, perempuan itu dulunya dikenal suka menolong sesama, hingga jalan
kampung di sekitar masjid pun kemudian diberi nama Petolongan. – EP, Tim peliput: Don (Jakarta), Iyan DS (Semarang dan Solo), Wayan Sunarta
No comments:
Post a Comment
terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat