Sontak pintu terbuka lebar. Dari dalam ruangan muncul
wanita dalam balutan kain tenun gringsing. Dandanannya mengingatkan pada
sosok Ni Polok, penari Bali terkenal pada era 1930-an, yang kemudian
menjadi model sekaligus istri Le Mayeur—pelukis dari Belgia yang menetap
di Bali.
Halo, akhirnya sampai juga. Susah cari tempatnya, ya?” sambut “Ni
Polok modern”, yang melelehkan kepenatan kami setelah satu jam lebih
menyusuri jalan-jalan di Denpasar, mencari salon kecantikan Niti’s,
tempat Ayu Laksmi didandani agar sesuai dengan pencitraan Ni Polok untuk
pemotretan. Bila ketika menjadi lady rocker Ayu biasa mengenakan celana jeans, sekarang penggemar warna putih dan hitam ini lebih suka mengenakan busana tradisional.
“Kain tenun ini asli Tenganan, loh. Koleksi istimewa. Mau keluar dari
ruang penyimpanan harus sembahyang dulu,” tutur Ayu Laksmi, menampakkan
religiositas Ayu yang kental. Pencapaian rohaninya ia capai lewat
proses panjang.
Kelahiran Singaraja, Bali, pada 25 November 1967 ini bernama lengkap I
Gusti Ayu Laksmiani. Sebagai bungsu dari empat bersaudara yang
dibesarkan seorang ibu, Drg I Gusti Ayu Sri Haryati—karena ayahnya I
Gusti Putu Wiryasutha sudah lama meninggal dunia—Ayu tumbuh penuh
penjagaan.
“Kemungkinan karena saya anak bungsu, jadi sering dianggap tak mampu.
Setiap pengambilan keputusan harus dibantu orang lain, terutama
orangtua dan saudara, termasuk memilih pendidikan, memilih model
pakaian, rias wajah. Jadi, boleh dikatakan, saya sempat berada di dalam
ruang yang ragu dan ada kecenderungan untuk berkata ‘ya’, yang penting
orang lain senang,” kata sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas
Udayana ini.
Menjadi lady rocker adalah bagian dari pemberontakannya.
Kebetulan pada 1986, dengan bekal prestasi dalam kontes menyanyi di
Bali, seorang produser dari Jakarta membukakan pintu bagi Ayu untuk
menjadi lady rocker yang dikenal secara nasional. Setelah lepas
dari bayang-bayang keluarga, idealisme sebagai seniman semakin tumbuh.
Berlembar-lembar syair digubahnya. Namun, oleh produsernya, semua
dianggap terlalu berat untuk pasar musik.
Pada masa ‘ketidakberdayaan’ itu, Ayu kembali ke Bali. Demi hidup, ia
yang punya hobi jalan-jalan, menyetir mobil, menikmati alam, dan
bergaya di depan kamera ini tak peduli lagi cap artis Ibu Kota yang
pernah disandangnya. Ayu berjualan karpet, menjadi penyanyi di kapal
pesiar, dan membuka kafe yang akhirnya bangkrut.
“Saya mulai memasuki ruang kemandirian. Bahkan, sering jadi kelewatan
mandirinya, sampai-sampai sering mengundang kekhawatiran orangtua dan
saudara-saudara saya. Sering ada pernyataan ‘leave me alone, let me decide it by myself’ dalam pikiran saya, walau itu tak terucapkan.”
No comments:
Post a Comment
terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat