Laman

to night

Aku adalah binatang jalang yang menghembuskan angin kedinginan. apa pun bisa kita lakukan, biarkan Hayal mu melambung tinggi menikmati sensasi lambda sehingga hayalmu menembus batas, bangun ketika kau mulai lelah akan semua, bakarlah dinding-dinding yang membuatmu tidak mempunyai waktu untuk membuka sensasi Lamda. masih ingatkah kita pernah bercerita tentang puncuk-puncuk lambda di ketinggian 200Hez aku telah menemukan seluk beluk lambda. Mari bersama menembus batas normal, yang akan membuka tabir mimpi menjadi kenyataan. aku lambda yang membagunkan dengan Argumentum ad populum, wujud nyata, ilusi, melayang maya membuka tabir biru menjadi sir Lamda






Monday, April 9, 2012

"Saman dalam Tradisi dan Budaya Jawa"


Pada masa kerajaan Hindu, Saman memiliki posisi kuat. Lalu tergusur gelombang perubahan yang dibawa Islam. Mereka pun bergerilya berada di balik berbagai karya seni tradisi di desa-desa.
Saman punya sebutan universal, yakni travesty. Sifatnya terbatas, tidak massal, karena amat sarat dengan nilai spiritual. Oleh karena itu, saman jauh dari ingarbingar. Menurut Wisma Nugraha Christianto Rich, M.Hum., istilah itu menunjuk pada laki-laki yang memerankan perempuan.
Orang yang disebut saman dianggap memiliki kemampuan spiritual yang mampu menjadi perantara dunia profan dengan yang sakral sehingga dia dibutuhkan dalam setiap kegiatan ritual pemujaan pada sesuatu yang dianggap sakral. Kebanyakan kesenian yang berakar pada tradisi, secara historis berkaitan dengan keberadaan saman. Kesenian lengger di Banyumas, gandrung di Banyuwangi, dan lain-lain, awalnya ditarikan oleh laki-laki,î kata Wisma Nugraha saat ditemui Warisan Indonesia, awal Maret 2012.
Jejak saman saat ini masih ditemukan pada berbagai tradisi budaya masyarakat, tentu wujud yang pragmatis ataupun profan. Beberapa ritual yang merujuk pada eksistensi seorang saman juga masih ada, misalnya, beberapa dukun di Jawa Timur kabarnya berkelaminí waria.
Di Desa Lakar Santri, Kecamatan Lakar Santri (dekat Kota Surabaya), misalnya, ada makam keramat seorang saman bernama Wongsonegoro. Pada waktu tertentu, sekelompok orang menjalankan ritual tahunan, lengkap dengan pertunjukan seni tradisional.
“Nah, yang menjadi donatur acara tersebut adalah seorang spiritualis waria yang cukup dikenal di kawasan itu,” kata dosen Jurusan Sastra Nusantara, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada (UGM), itu.
Pada masa kerajaan Hindu-Buddha, peran saman dalam ritual kesuburan penting. Dalam penelitiannya tentang kesenian tradisional di Jawa Timur, Wisma Nugraha menemukan adanya korelasi antara ritual dan tradisi pertanian. Posisi saman saat itu penting, baik di masyarakat luas maupun dalam lingkaran kekuasaan. Raja-raja kerap melibatkan mereka dalam ritual. Saman meraih legitimasi kultural dari kerajaan. Sebaliknya, dengan menggandeng para saman, raja-raja bakal menjadi kian berwibawa di mata rakyatnya. Begitulah hubungan simbiosis mutualisme timbul.

No comments:

Post a Comment

terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat