Upacara rambu solo’ merupakan ritual tertinggi yang
dilestarikan Suku Toraja. Banyak yang mengeluarkan biaya miliaran
rupiah untuk menyelenggarakan upacara tersebut karena mereka percaya,
betapa berharganya memberikan persembahan terbaik bagi orangtua yang
meninggal. Menurut mitologi Toraja, kehidupan bermula di langit.
Desember 2011, Toraja ramai dengan penyelenggaraan rambu solo’. Hal
itu, antara lain, diselenggarakan oleh keluarga besar Philipus Tappi di
Tongkonan Limbong, Kelurahan Sereale, Kecamatan Tikala, Kabupaten Toraja
Utara, dan oleh keluarga besar Agnes Datu Sarongallo di Tongkonan
Siguntu’, Kelurahan Nonongan, Kecamatan Sopai, Kabupaten Toraja Utara.
Kedua penyelenggaraan rambu solo’ itu masing-masing memakan biaya lebih
dari Rp 50 miliar karena selain memakan waktu panjang rata-rata dua
minggu, juga dihadiri oleh ribuan orang—dari kalangan keluarga,
undangan, bahkan yang datang sebagai turis sehingga selain harus membeli
ratusan kerbau—sebagai simbol kendaraan tokoh yang meninggal menuju
alam puya—juga menyembelih ratusan ekor babi—yang dalam bahasa Toraja
disebut bai—untuk konsumsi selama upacara.
Rambu solo’ adalah upacara kematian, yang merupakan ritual
tertinggi—bahkan lebih tinggi daripada ritual pernikahan—dalam aluk
todolo, kepercayaan leluhur nenek moyang suku Toraja yang masih dijalani
oleh sebagian besar masyarakat Toraja sampai sekarang. Menurut
kepercayaan aluk todolo—yang konon sejak 1970 resmi diterima di sekte
Hindu Bali—itu, setelah melalui hidup yang hanya sementara ini, manusia
akan menuju alam puya, yaitu perhimpunan arwah sebelum menjadi dewa.
Hubungan yang terjalin antara yang masih hidup dan yang sudah meninggal
didasari pemikiran bahwa bahwa nenek moyang mereka tetap memelihara dari
langit.
Dalam kehidupan seharian masyarakat Toraja, aluk todolo diwujudkan
dalam dua upacara yang berkaitan dengan kehidupan manusia, yaitu upacara
kesenangan (rambu tuka’) dan upacara kematian (rambu solo’). Namun,
yang paling menonjol adalah upacara kematian. Hal itu karena bila
mengikuti kepercayaan tersebut, masyarakat Tana Toraja hidup untuk
mendapatkan kehidupan berikutnya. Bila biasanya kematian diidentikkan
dengan kesedihan, bahkan harus diratapi, karena ditinggal oleh yang
meninggal, aluk todolo melihatnya dari pemikiran yang positif, yaitu
bahwa kematian terjadi karena kasih sayang leluhur yang mengajak yang
dikasihinya itu untuk kembali ke asal.
Dengan demikian, ketika yang meninggal itu tiba di tempat asal, akan
disambut dengan sukacita oleh leluhurnya. Dalam salah satu tulisannya,
Prof. Dr. H. Abu Hamid, antropolog dari Universitas Hasanuddin,
Makassar, mengatakan bahwa penganut aluk todolo memandang hidup ini
sebagai proses untuk mencapai yang lebih tinggi dan suci.
Itu sebabnya seorang perempuan penderita kanker, yang semula nyaris
putus asa lantaran merasa tak siap menghadapi kematian, menjadi muncul
kepercayaan dirinya setelah ke Toraja dan melihat makna kematian menurut
aluk todolo. Dan perempuan itu, Helen Marshall, fotografer dari
Inggris, kemudian pada 5-12 Januari 2012 memamerkan foto-foto menarik
tentang Toraja di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) bersama Risang Yuwono.
No comments:
Post a Comment
terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat