Laman

to night

Aku adalah binatang jalang yang menghembuskan angin kedinginan. apa pun bisa kita lakukan, biarkan Hayal mu melambung tinggi menikmati sensasi lambda sehingga hayalmu menembus batas, bangun ketika kau mulai lelah akan semua, bakarlah dinding-dinding yang membuatmu tidak mempunyai waktu untuk membuka sensasi Lamda. masih ingatkah kita pernah bercerita tentang puncuk-puncuk lambda di ketinggian 200Hez aku telah menemukan seluk beluk lambda. Mari bersama menembus batas normal, yang akan membuka tabir mimpi menjadi kenyataan. aku lambda yang membagunkan dengan Argumentum ad populum, wujud nyata, ilusi, melayang maya membuka tabir biru menjadi sir Lamda






Monday, April 9, 2012

"TORAJA: Tradisi Terkoyak Ambisi"


Upacara rambu solo’ merupakan ritual tertinggi yang dilestarikan Suku Toraja. Banyak yang mengeluarkan biaya miliaran rupiah untuk menyelenggarakan upacara tersebut karena mereka percaya, betapa berharganya memberikan persembahan terbaik bagi orangtua yang meninggal. Menurut mitologi Toraja, kehidupan bermula di langit.
Desember 2011, Toraja ramai dengan penyelenggaraan rambu solo’. Hal itu, antara lain, diselenggarakan oleh keluarga besar Philipus Tappi di Tongkonan Limbong, Kelurahan Sereale, Kecamatan Tikala, Kabupaten Toraja Utara, dan oleh keluarga besar Agnes Datu Sarongallo di Tongkonan Siguntu’, Kelurahan Nonongan, Kecamatan Sopai, Kabupaten Toraja Utara. Kedua penyelenggaraan rambu solo’ itu masing-masing memakan biaya lebih dari Rp 50 miliar karena selain memakan waktu panjang rata-rata dua minggu, juga dihadiri oleh ribuan orang—dari kalangan keluarga, undangan, bahkan yang datang sebagai turis sehingga selain harus membeli ratusan kerbau—sebagai simbol kendaraan tokoh yang meninggal menuju alam puya—juga menyembelih ratusan ekor babi—yang dalam bahasa Toraja disebut bai—untuk konsumsi selama upacara.
Rambu solo’ adalah upacara kematian, yang merupakan ritual tertinggi—bahkan lebih tinggi daripada ritual pernikahan—dalam aluk todolo, kepercayaan leluhur nenek moyang suku Toraja yang masih dijalani oleh sebagian besar masyarakat Toraja sampai sekarang. Menurut kepercayaan aluk todolo—yang konon sejak 1970 resmi diterima di sekte Hindu Bali—itu, setelah melalui hidup yang hanya sementara ini, manusia akan menuju alam puya, yaitu perhimpunan arwah sebelum menjadi dewa. Hubungan yang terjalin antara yang masih hidup dan yang sudah meninggal didasari pemikiran bahwa bahwa nenek moyang mereka tetap memelihara dari langit.
Dalam kehidupan seharian masyarakat Toraja, aluk todolo diwujudkan dalam dua upacara yang berkaitan dengan kehidupan manusia, yaitu upacara kesenangan (rambu tuka’) dan upacara kematian (rambu solo’). Namun, yang paling menonjol adalah upacara kematian. Hal itu karena bila mengikuti kepercayaan tersebut, masyarakat Tana Toraja hidup untuk mendapatkan kehidupan berikutnya. Bila biasanya kematian diidentikkan dengan kesedihan, bahkan harus diratapi, karena ditinggal oleh yang meninggal, aluk todolo melihatnya dari pemikiran yang positif, yaitu bahwa kematian terjadi karena kasih sayang leluhur yang mengajak yang dikasihinya itu untuk kembali ke asal.
Dengan demikian, ketika yang meninggal itu tiba di tempat asal, akan disambut dengan sukacita oleh leluhurnya. Dalam salah satu tulisannya, Prof. Dr. H. Abu Hamid, antropolog dari Universitas Hasanuddin, Makassar, mengatakan bahwa penganut aluk todolo memandang hidup ini sebagai proses untuk mencapai yang lebih tinggi dan suci.
Itu sebabnya seorang perempuan penderita kanker, yang semula nyaris putus asa lantaran merasa tak siap menghadapi kematian, menjadi muncul kepercayaan dirinya setelah ke Toraja dan melihat makna kematian menurut aluk todolo. Dan perempuan itu, Helen Marshall, fotografer dari Inggris, kemudian pada 5-12 Januari 2012 memamerkan foto-foto menarik tentang Toraja di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) bersama Risang Yuwono.

No comments:

Post a Comment

terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat