Pernikahan adalah juga pertalian kekerabatan antara kedua pihak turun-temurun karena itu asal-usul emas kawin mesti diselidiki.
Seperti perkawinan adat suku-suku di Nusantara yang menganut garis
laki-laki (patriarki), emas kawin bagi mempelai perempuan memegang
peranan utama. Begitu juga dalam perkawinan adat Sikka, Kabupaten Sikka,
Flores, emas kawin yang disebut ling weling atau belis memegang peranan
utama.
Tradisi perkawinan ini mengacu pada ungkapan: Daaribangnopok,
kolitokar (ribang: batu asahan; nopok: aus; koli: lontar; tokar: tinggi
lagi tua) yang maknanya: pertalian kekerabatan antara kedua pihak akan
berlangsung terus-menerus dengan saling memberi dan menerima sampai
turun-temurun. Untuk itu hendaklah asal-usul emas kawin itu kita
selidiki (Mandalangi Pareira: 1988).
Menurut sejarah lisan yang berkembang di masyarakat setempat, emas
kawin ini diatur sejak pemerintahan raja perempuan, bernama Du’a Ratu
Dona Maria, yang memerintah sekitar abad ke-17.
Pada masa itu pernah terjadi perselisihan yang mengakibatkan
pertumpahan darah, yang disebabkan ulah laki-laki tak senonoh kepada
anak-anak gadis ataupun perempuan yang telah berkeluarga. Maka
bertindaklah raja, setelah berunding dengan para tetua adat, untuk
melindungi martabat perempuan. Ketetapan itu dituangkan ke dalam sastra
lisan, dengan petikan:
“Ata du’autangnahanora ling, Ata du’alabungnahanoraweling, Ata
la’Iumingnahanora ling. Ata la’Iwatuknahanoraweling. Ata
du’asuwurnahalopalebung. Ata du’asokingnahalopabatu”.
(Sarung wanita berharga, baju wanita bernilai, kumis lelaki
berharga, janggut lelaki bernilai. Sanggul wanita jangan dibongkar,
tusuk emasnya jangan dijatuhkan).
Moralitas dari sastra lisan ini, menurut budayawan setempat, Oscar
Pareira Mandalangi, wanita harus dihargai tinggi, sebagai piñata periuk
barang-barang langka pada masa lampau. Demikian juga tudimanu (pisau dan
ayam), yang dimaksudkan sebagai emas dan gading.
No comments:
Post a Comment
terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat