Laman

to night

Aku adalah binatang jalang yang menghembuskan angin kedinginan. apa pun bisa kita lakukan, biarkan Hayal mu melambung tinggi menikmati sensasi lambda sehingga hayalmu menembus batas, bangun ketika kau mulai lelah akan semua, bakarlah dinding-dinding yang membuatmu tidak mempunyai waktu untuk membuka sensasi Lamda. masih ingatkah kita pernah bercerita tentang puncuk-puncuk lambda di ketinggian 200Hez aku telah menemukan seluk beluk lambda. Mari bersama menembus batas normal, yang akan membuka tabir mimpi menjadi kenyataan. aku lambda yang membagunkan dengan Argumentum ad populum, wujud nyata, ilusi, melayang maya membuka tabir biru menjadi sir Lamda






Monday, April 9, 2012

"Perkawinan Adat Sikka, Flores: Emas Kawin dan Martabat Perempuan"

Pernikahan adalah juga pertalian kekerabatan antara kedua pihak turun-temurun karena itu asal-usul emas kawin mesti diselidiki.
Seperti perkawinan adat suku-suku di Nusantara yang menganut garis laki-laki (patriarki), emas kawin bagi mempelai perempuan memegang peranan utama. Begitu juga dalam perkawinan adat Sikka, Kabupaten Sikka, Flores, emas kawin yang disebut ling weling atau belis memegang peranan utama.
Tradisi perkawinan ini mengacu pada ungkapan: Daaribangnopok, kolitokar (ribang: batu asahan; nopok: aus; koli: lontar; tokar: tinggi lagi tua) yang maknanya: pertalian kekerabatan antara kedua pihak akan berlangsung terus-menerus dengan saling memberi dan menerima sampai turun-temurun. Untuk itu hendaklah asal-usul emas kawin itu kita selidiki (Mandalangi Pareira: 1988).
Menurut sejarah lisan yang berkembang di masyarakat setempat, emas kawin ini diatur sejak pemerintahan raja perempuan, bernama Du’a Ratu Dona Maria, yang memerintah sekitar abad ke-17.
Pada masa itu pernah terjadi perselisihan yang mengakibatkan pertumpahan darah, yang disebabkan ulah laki-laki tak senonoh kepada anak-anak gadis ataupun perempuan yang telah berkeluarga. Maka bertindaklah raja, setelah berunding dengan para tetua adat, untuk melindungi martabat perempuan. Ketetapan itu dituangkan ke dalam sastra lisan, dengan petikan:
“Ata du’autangnahanora ling, Ata du’alabungnahanoraweling, Ata la’Iumingnahanora ling. Ata la’Iwatuknahanoraweling. Ata du’asuwurnahalopalebung. Ata du’asokingnahalopabatu”.
(Sarung wanita berharga, baju wanita bernilai, kumis lelaki berharga, janggut lelaki bernilai. Sanggul wanita jangan dibongkar, tusuk emasnya jangan dijatuhkan).
Moralitas dari sastra lisan ini, menurut budayawan setempat, Oscar Pareira Mandalangi, wanita harus dihargai tinggi, sebagai piñata periuk barang-barang langka pada masa lampau. Demikian juga tudimanu (pisau dan ayam), yang dimaksudkan sebagai emas dan gading.

No comments:

Post a Comment

terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat