Kendati telah surut, peran bissu masih ada di masyarakat
Bugis. Mereka menjadi tempat berlindung bagi para wadam agar dapat
diterima dalam kehidupan. Warga masih kerap datang untuk memohon agar
keinginannya terkabul.
Si pria langsing menghunus pelan alameng dari sarungnya yang berlapis
kuningan dan berbalut kain putih. Sebilah pedang berlapis serbuk putih
yang tipis muncul. Lelaki berdada rata yang tampak doyong itu segera
mencium pedang tersebut seraya memejamkan mata kemudian memasukkannya
lagi ke sarungnya.
Lelaki itu bernama Puang Upe’. Umurnya sekisar 50 tahun. Ketika
mendiang Puang Matoa Saidi memimpin komunitas Bissu Dewatae, Puang Upe
menjadi Puang Lolo—bahasa Bugis yang berarti ‘pemimpin muda’—sebutan
untuk jabatan wakil Puang Matoa. Ia mengemban tugas ini sejak 2001,
bersamaan dengan saat Puang Saidi dilantik menjadi Puang Matoa.
“Tadi, yang putih itu adalah bedak, untuk mencegah karat, Nak,” kata
Puang Upe’ dalam bahasa Bugis yang cepat di kediamannya pada akhir
Februari 2012. ‘Nak’ merupakan panggilan yang sering meluncur dari bibir
Puang Upe’ ketika bercakap dengan siapa saja.
Alameng, pedang pusaka pemimpin komunitas Bissu Dewatae, kini
tersimpan di rumah panggung sederhana Puang Upe’ di Bonto Te’ne,
Kecamatan Segeri, Pangkajene Kepulauan, sekitar 60 kilometer sebelah
utara Kota Makassar. Kendati Puang Upe’ kini sebagai pemegang alameng,
tetapi kenyataannya ia belum resmi menyandang gelar “Puang Matoa” karena
belum melalui upacara pelantikan.
Selain alameng, di rumah Puang Upe’ juga ada tanda kebesaran dan perlengkapan upacara bissu lainnya:
[1] Paccoda’, sebatang kayu bersegi delapan yang terbungkus kain kuning cerah yang dibawa oleh Puang Lolo; [2] Tolousu dan arumpigi berupa kayu berongga atau bambu berujung kepala ayam berisi butiran dan mengeluarkan bunyi bila diguncang yang dibalut kain merah—keduanya dibawa oleh anak bissu—mengingatkan pada hewan peliharaan sang pencipta jagat I La Galigo, Patoto’e (Sang Penentu Nasib), dan [3] Lellu Patara, pemayung dari kain cinde segi empat yang setiap sudutnya berbatang penunjang.
[1] Paccoda’, sebatang kayu bersegi delapan yang terbungkus kain kuning cerah yang dibawa oleh Puang Lolo; [2] Tolousu dan arumpigi berupa kayu berongga atau bambu berujung kepala ayam berisi butiran dan mengeluarkan bunyi bila diguncang yang dibalut kain merah—keduanya dibawa oleh anak bissu—mengingatkan pada hewan peliharaan sang pencipta jagat I La Galigo, Patoto’e (Sang Penentu Nasib), dan [3] Lellu Patara, pemayung dari kain cinde segi empat yang setiap sudutnya berbatang penunjang.
Pergantian kepemimpinan bissu Segeri terjadi bila sang pemimpin
meninggal. Ketika Puang Saidi meninggal pada 28 Juni 2011, terjadi pro
dan kontra tentang pergantian kepemimpinan ini. Menurut antropolog
Universitas Negeri Makassar, Halilintar Lathief, penyigi yang telah 30
tahunan meneliti bissu, pergantian itu dilakukan di depan jasad Puang
Matoa sebelum dikuburkan. Entah mengapa hal itu lalu diurungkan
No comments:
Post a Comment
terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat