Laman

to night

Aku adalah binatang jalang yang menghembuskan angin kedinginan. apa pun bisa kita lakukan, biarkan Hayal mu melambung tinggi menikmati sensasi lambda sehingga hayalmu menembus batas, bangun ketika kau mulai lelah akan semua, bakarlah dinding-dinding yang membuatmu tidak mempunyai waktu untuk membuka sensasi Lamda. masih ingatkah kita pernah bercerita tentang puncuk-puncuk lambda di ketinggian 200Hez aku telah menemukan seluk beluk lambda. Mari bersama menembus batas normal, yang akan membuka tabir mimpi menjadi kenyataan. aku lambda yang membagunkan dengan Argumentum ad populum, wujud nyata, ilusi, melayang maya membuka tabir biru menjadi sir Lamda






Friday, April 20, 2012

"Bumi Tempat (Sikerei) Berpijak kaki"


Mentawai sudah banyak diincar wisatawan. Mempertahankan kehidupan tradisional untuk tujuan pariwisata.
Kabupaten Kepulauan Mentawai dikukuhkan tahun 1999 dengan ibu kota Tua Pejat, Sipora—sebuah kota pelabuhan. Uniknya, letak kantorkantor pemerintahan jauh dari pelabuhan. Lewat jalan berliku dan menanjak, kita bisa melihat deretan kantor departemen sepanjang puluhan kilometer. Apakah pemerintah sebetulnya juga percaya pada ajaran nenek moyang orang Mentawai bahwa sebaiknya tidak membangun permukiman di dekat pantai?
Menurut salah satu cerita rakyat, Mentawai berawal dari dua perahu besar yang pergi meninggalkan Padang menuju arah barat. Di tengah perjalanan, kedua perahu tersebut berpisah. Sebelum berpisah, sebagai tanda pengenal bila bertemu kembali, mereka mematahkan kulit kerang dan batu gosok menjadi dua. Separuh bagian disimpan oleh setiap nakhoda.
Setelah lama mengembara, kedua perahu besar tersebut bertemu kembali, tetapi malah bertempur. Untunglah semua terselamatkan berkat kecocokan potongan kulit kerang dan batu gosok tersebut. Satu perahu kembali ke Padang, sementara yang lain tetap bertolak menuju Pulau Siberut, yang akhirnya menjadi nenek moyang penduduk Mentawai.
Versi lain menceritakan tentang Ama Tawe, seorang lakilaki dari Nias yang sedang mencari ikan di laut. Badai yang tiba-tiba menghantam, membuat pria itu terdampar di muara Simatalu. Di situ ia menjumpai banyak pohon sagu dan keladi, yang menjanjikan lokasi subur. Maka dibuatnyalah perahu besar untuk menjemput istri dan anak-anaknya hingga akhirnya terciptalah nama Mentawai.
Kisah yang kedua itu mendapat banyak dukungan karena dalam bahasa Mentawai memang terdapat banyak persamaan dengan bahasa Nias. Contohnya, ‘kucing’ dalam bahasa Nias dan Mentawai sama-sama disebut ‘mao’. Dalam penyebutan bilangan 1-10, hanya angka 9 yang berbeda. Selain itu, ditemukan pula seni tato di sebelah selatan Pulau Nias.
Pada akhirnya, hipotesis ini terbantahkan karena berbeda dengan Nias, masyarakat adat Mentawai tidak pernah memasuki zaman logam. Soal kemiripan bahasa, hal itu wajar karena berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu Yunan di Selatan Cina.

No comments:

Post a Comment

terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat