Arum Tresnaningtyas Dayuputri
Seorang menjadi empu bila ia mencapai taraf tertinggi dalam
kemampuannya di sebuah bidang. Ia bagaikan cahaya bagi orang lain.
Memberikan arah, tuntunan, teladan, serta inspirasi bagi mereka yang
mengikuti jejaknya. Kebesarannya bukan karena dipujikan, bukan karena
keadaan sekitarnya yang membuat ia menonjol, bukan juga karena rekayasa
dan manipulasi, melainkan karena ia memang besar.
Kebesaran seorang empu tidak bisa diukur dengan angka. Tidak untuk
ditakar dengan penjumlahan. Akan tetapi, dari pengaruh, dampak,
kemanfaatan keberadaannya bagi lingkungan serta mereka yang disentuhnya
dengan langsung ataupun tak langsung. Dari akibat-akibat kehadirannya
yang menyebabkan terjadi perubahan, perkembangan bahkan mungkin saja
pembalikkan bahkan penyimpangan pada nilai-nilai untuk mencapai tingkat
yang lebih. Kebesaran seorang empu menciptakan nilai dan harmoni baru.
Oleh kebesarannya sekitarnya menjadi subur. Bertabur ion-ion segar
yang mendaur ulang pikir rasa sehingga merangsang semangat bekerja dan
mencipta. Empu adalah pupuk, perangsang, membuat kehidupan bergerak
menemukan jawaban-jawaban yang selaras dengan tuntutan dan tantangan
zaman. Seorang empu menjadi tiang utama dalam bidangnya.
Tetapi, empu adalah juga manusia biasa. Ia tidak bisa bebas dari apa
yang menjadi kebutuhan manusia lain. Kebesarannya tak selalu diikuti
dengan bonus yang pantas untuk semua jerih payah, perjuangan,
pengorbanan, dan pengabdiannya. Sering kali ia tak mendapatkan apa yang
seharusnya ia terima. Karena suntuk pada aktivitas-aktivitasnya yang
khusus, ia abai mengurus hidupnya sendiri. Pada saat orang menikmati
hari tua, banyak empu yang tak berdaya. Ia terpaksa harus membayar
kebesarannya dengan ketidaksejahteraan.
Tak sedikit empu lumpuh pada usia senja. Raga keropos walau
semangatnya mungkin masih berkobar. Atau jiwanya mulai lelah karena
seperti kepalanya selalu keseruduk bukit batu yang bebal. Beban yang
dipikulnya berlebihan. Ia sudah alpa mempersiapkan keamanan dan
kenyamanan akhir hidupnya karena pengabdiannya pada kerja. Memang semua
kebesarannya itu bermanfaat bagi banyak orang, bahkan juga negara,
tetapi sering terhadap dirinya sendiri tidak. Dalam keadaan tak
berdaya, banyak di antara empu yang kemudian diamdiam gugur, menghilang
lalu terhapus bahkan sejarah lupa mencatatnya.
Sekali-sekali negara terkesima, mendusin oleh kilat cahaya, lantas
teringat pada asetnya yang harus dipelihara. Bukan hanya minyak, gas
bumi dan kekayaan alam lain yang bisa diukur dengan angka saja, yang
harus dijaga, tetapi juga macan-macan tua yang sudah ompong. Lalu
dibuat panitia resmi untuk memberikan santunan kesejahteraan kepada
para empu. Meskipun sangat kecil, perhatian itu lumayan. Tapi baru
lewat setengah tahun, santunan surut lalu menghilang. Banyak
penyebabnya. Berjubel persoalan genting mendera. Syahdan, bantuan itu
tak pernah jelas, memang dihentikan atau berbelok ke bakul lain yang
rakus.
Para empu mungkin tidak peduli karena kebahagiaan batinnya sudah
terpenuhi. Kehadiran karyanya yang berarti, sudah ia anggap cukup.
Nyala di mata mereka yang memandangnya dengan kagum dan hormat adalah
segala-galanya. Bukan materi yang menjadi tujuannya, melainkan arti.
Bukan kenyamanan sendiri yang diburunya, tetapi kecukupan rasa orang
banyak. Baginya mengabdi adalah haknya. Ia tak peduli jadi pecundang
karena sudah menerima dirinya sebagai korban. Hidupnya adalah darma
pada masyarakat dan kehidupan.
No comments:
Post a Comment
terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat