“Ini saya harus selesaikan. Harus selesaikan,” kata Surti
yang dimainkan oleh Ine Febriyanti pada akhir lakon Surti dan Tiga
Sawunggaling di Teater Salihara, Jakarta, akhir Juli lalu. Pementasan
ulang monolog, yang masih dikunjungi banyak penonton ini, disutradarai
oleh Sitok Srengenge.
Dihadapkan pada ruang serbaputih dengan tiga kain mori putih
berjuntai di atas panggung, ada kursi taman gandeng dan kerangka keranda
yang tegak bagai menara serta selembar mori yang sedang dilukis dengan
malam. Kemudian timbul-tenggelam dalam cahaya suram, terlihat Surti
menari.
Setelah itu, ia duduk di kursi gandeng dan mulai bertutur langsung
kepada penonton bahwa ia mengalami hal yang sangat sulit, yang hanya
bisa ia ceritakan saat sendiri seperti itu. Jen, suaminya, pemimpin
gerilya yang suka memburu mimpi, ditembak tanggal 14 bulan puasa di
jidatnya. Dia, oleh orang bertopeng, dituduh komunis. Para orangtua
memutuskan untuk tidak memandikan tubuhnya dan membiarkan saja lubang
berleleran darah beku di keningnya itu sebagai penanda perbuatannya.
Jen merebut Surti dari kekasihnya yang kemudian terlebih dulu mati
tertembak dan meninggalkan sepucuk pistol agar Jen tak hanya bermimpi.
Surti sangat menyesali perbuatannya, tetapi tak dapat mengingkari bahwa
sosok Jen telah menyedotnya sehingga ia penasaran dan meninggalkan
pacarnya.
Tetapi, ini bukan kisah cinta. Seorang Goenawan Mohamad (GM), sang
penulis naskah, tidak akan masuk ke wilayah itu. Ini adalah puisi
panjang tentang tiga ekor sawunggaling yang dilukis Surti di kain
morinya. Yang satu bernama Anjani, lainnya Bahir dan Cawir. Ketiga
burung itu gerah di kain mori yang masih kaku, lalu ke luar jendela dan
menjadi saksi pertempuran gerilya menentang Belanda, masing-masing
membawa ceritanya sendiri.
Sutradara memvisualkan dialog burung-burung itu dengan koreografi.
Ine Febriyanti, yang pernah kita saksikan main gemilang dalam lakon Miss
Julie, beberapa tahun lalu, di Graha Bhakti Budaya TIM, menarikan
gerak-gerik burung itu sambil berbicara. Tak ada salahnya bila
visualisasi dipakai untuk memperkaya sebuah pembeberan kata-kata di
lakon, ke atas panggung. Hanya saja, kata-kata Goenawan sudah begitu
kuat. Bahkan, selorohnya pun sudah terasa puitis. Menambahkan asesoris
pada kata-kata itu memerlukan kecermatan agar tidak jadi kenes, tetapi
memang bukan tak boleh. Dengan kreativitas tak ada yang bisa dilarang di
atas pentas.
GM—panggilan akrab Goenawan Mohamad—bukan saja penyair tetapi juga
esais terkemuka. Ia bahkan melontarkan filsafat dalam “bersin”-nya tanpa
ia sadari. Seluruh Surti malam itu terasa sebagai peragaan puisi dan
esai tentang rasa sunyi. Penonton diguyur oleh pikiran-pikiran tajam
yang kadang berbelok liar, mistis, tetapi juga spiritual dengan napas
kemanusiaan yang kental. Di sana-sini menggelepar kata-kata “bijak” yang
tidak bersinar karena didandani, tetapi karena pengertiannya yang
menyadarkan atau menggerus kita pada kisaran kesadaran baru.
No comments:
Post a Comment
terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat