Laman

to night

Aku adalah binatang jalang yang menghembuskan angin kedinginan. apa pun bisa kita lakukan, biarkan Hayal mu melambung tinggi menikmati sensasi lambda sehingga hayalmu menembus batas, bangun ketika kau mulai lelah akan semua, bakarlah dinding-dinding yang membuatmu tidak mempunyai waktu untuk membuka sensasi Lamda. masih ingatkah kita pernah bercerita tentang puncuk-puncuk lambda di ketinggian 200Hez aku telah menemukan seluk beluk lambda. Mari bersama menembus batas normal, yang akan membuka tabir mimpi menjadi kenyataan. aku lambda yang membagunkan dengan Argumentum ad populum, wujud nyata, ilusi, melayang maya membuka tabir biru menjadi sir Lamda






Saturday, March 24, 2012

"Surti & Tiga Sawunggaling: “Harus Saya Selesaikan”


“Ini saya harus selesaikan. Harus selesaikan,” kata Surti yang dimainkan oleh Ine Febriyanti pada akhir lakon Surti dan Tiga Sawunggaling di Teater Salihara, Jakarta, akhir Juli lalu. Pementasan ulang monolog, yang masih dikunjungi banyak penonton ini, disutradarai oleh Sitok Srengenge.
Dihadapkan pada ruang serbaputih dengan tiga kain mori putih berjuntai di atas panggung, ada kursi taman gandeng dan kerangka keranda yang tegak bagai menara serta selembar mori yang sedang dilukis dengan malam. Kemudian timbul-tenggelam dalam cahaya suram, terlihat Surti menari.
Setelah itu, ia duduk di kursi gandeng dan mulai bertutur langsung kepada penonton bahwa ia mengalami hal yang sangat sulit, yang hanya bisa ia ceritakan saat sendiri seperti itu. Jen, suaminya, pemimpin gerilya yang suka memburu mimpi, ditembak tanggal 14 bulan puasa di jidatnya. Dia, oleh orang bertopeng, dituduh komunis. Para orangtua memutuskan untuk tidak memandikan tubuhnya dan membiarkan saja lubang berleleran darah beku di keningnya itu sebagai penanda perbuatannya. Jen merebut Surti dari kekasihnya yang kemudian terlebih dulu mati tertembak dan meninggalkan sepucuk pistol agar Jen tak hanya bermimpi. Surti sangat menyesali perbuatannya, tetapi tak dapat mengingkari bahwa sosok Jen telah menyedotnya sehingga ia penasaran dan meninggalkan pacarnya.
Tetapi, ini bukan kisah cinta. Seorang Goenawan Mohamad (GM), sang penulis naskah, tidak akan masuk ke wilayah itu. Ini adalah puisi panjang tentang tiga ekor sawunggaling yang dilukis Surti di kain morinya. Yang satu bernama Anjani, lainnya Bahir dan Cawir. Ketiga burung itu gerah di kain mori yang masih kaku, lalu ke luar jendela dan menjadi saksi pertempuran gerilya menentang Belanda, masing-masing membawa ceritanya sendiri.
Sutradara memvisualkan dialog burung-burung itu dengan koreografi. Ine Febriyanti, yang pernah kita saksikan main gemilang dalam lakon Miss Julie, beberapa tahun lalu, di Graha Bhakti Budaya TIM, menarikan gerak-gerik burung itu sambil berbicara. Tak ada salahnya bila visualisasi dipakai untuk memperkaya sebuah pembeberan kata-kata di lakon, ke atas panggung. Hanya saja, kata-kata Goenawan sudah begitu kuat. Bahkan, selorohnya pun sudah terasa puitis. Menambahkan asesoris pada kata-kata itu memerlukan kecermatan agar tidak jadi kenes, tetapi memang bukan tak boleh. Dengan kreativitas tak ada yang bisa dilarang di atas pentas.
GM—panggilan akrab Goenawan Mohamad—bukan saja penyair tetapi juga esais terkemuka. Ia bahkan melontarkan filsafat dalam “bersin”-nya tanpa ia sadari. Seluruh Surti malam itu terasa sebagai peragaan puisi dan esai tentang rasa sunyi. Penonton diguyur oleh pikiran-pikiran tajam yang kadang berbelok liar, mistis, tetapi juga spiritual dengan napas kemanusiaan yang kental. Di sana-sini menggelepar kata-kata “bijak” yang tidak bersinar karena didandani, tetapi karena pengertiannya yang menyadarkan atau menggerus kita pada kisaran kesadaran baru.

No comments:

Post a Comment

terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat