Laman

to night

Aku adalah binatang jalang yang menghembuskan angin kedinginan. apa pun bisa kita lakukan, biarkan Hayal mu melambung tinggi menikmati sensasi lambda sehingga hayalmu menembus batas, bangun ketika kau mulai lelah akan semua, bakarlah dinding-dinding yang membuatmu tidak mempunyai waktu untuk membuka sensasi Lamda. masih ingatkah kita pernah bercerita tentang puncuk-puncuk lambda di ketinggian 200Hez aku telah menemukan seluk beluk lambda. Mari bersama menembus batas normal, yang akan membuka tabir mimpi menjadi kenyataan. aku lambda yang membagunkan dengan Argumentum ad populum, wujud nyata, ilusi, melayang maya membuka tabir biru menjadi sir Lamda






Saturday, March 24, 2012

"Angklung Indonesia, Jadi Warisan Dunia"

WARISAN INDONESIA / Hardy Mendröfa
Plong! Mungkin begitulah perasaan Adhelina Pisca, saat mendengar kabar bahwa angklung mendapat pengakuan UNESCO, sebuah organisasi PBB di bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sebagai warisan dunia asal Indonesia. Tahun lalu, tepatnya tanggal 19 Desember 2009, di sebuah laman berbahasa Indonesia, ia menulis kalimat dengan nada seperti orang menjerit: “Jangan sampai Indonesia kecolongan lagi sama Malaysia.” Jeritan itu muncul setelah ia membaca tulisan di sebuah koran beberapa saat sebelumnya, berjudul “Angklung Terancam Dipatenkan Negara Tetangga.”
Kegembiraan Adhelina Pisca boleh jadi mewakili rasa lega bangsa ini, yang belakangan menyimpan keresahan dan kecemasan terhadap kekayaan budaya dan hak milik bangsa sendiri karena usikan negara tetangga. Entah mengusik soal reog-lah, lagu-lah, batik-lah, naskah-naskah kuno-lah, hingga pulau-pulau terluar (terdepan).
Proposal pendaftaran angklung sebagai nominasi warisan budaya tak benda (intangible heritage) asli Indonesia, diajukan ke UNESCO bulan Agustus 2009, oleh belasan komunitas angklung yang tersebar mulai dari Bandung, Cirebon, Bali, hingga luar Jawa. Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Pendidikan, dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata ikut memfasilitasi penyusunan proposal itu.
Pengakuan UNESCO terhadap angklung tersebut memperjelas kehadiran angklung Indonesia di mata dunia. Di samping itu, kini bertambah satu lagi sumbangan kekayaan Indonesia pada kebudayaan dunia setelah wayang, keris, dan batik mendapat pengakuan yang sama dari lembaga yang sama pula. Kabarnya, kini tari Saman sedang antre untuk mendapatkan pengakuan yang sama tahun 2011.
Dengan makin banyaknya kesenian dan produk budaya Indonesia mendapatkan pengakuan UNESCO, makin banyak pula bukti yang menegaskan bahwa bangsa ini kaya akan karya seni budaya. Konsekuensinya, tentu saja semakin menuntut tanggung jawab kita bersama, terutama para pemangku kepentingan—pelaku seni dan budaya yang bersangkutan, pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat, media, kalangan pengusaha sebagai maesenas—untuk semakin peduli, merawat, dan mengembangkannya. Bukan sebaliknya, tambah sombong dan terlena. Jika selama kemerdekaan Indonesia kebudayaan belum pernah masuk ke dalam prioritas pembangunan, bukankah dengan adanya pengakuan demi pengakuan UNESCO ini—di sisi lain kekerasan merebak di mana-mana— merupakan momentum yang tepat bagi pemerintah pusat dan daerah menjadikannya kebudayaan sebagai prioritas pembangunan. Selain nilai, bidang kebudayaan juga sangat berpotensi untuk pengembangan ekonomi kreatif.

No comments:

Post a Comment

terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat