Plong! Mungkin begitulah perasaan Adhelina Pisca, saat
mendengar kabar bahwa angklung mendapat pengakuan UNESCO, sebuah
organisasi PBB di bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sebagai
warisan dunia asal Indonesia. Tahun lalu, tepatnya tanggal 19 Desember
2009, di sebuah laman berbahasa Indonesia, ia menulis kalimat dengan
nada seperti orang menjerit: “Jangan sampai Indonesia kecolongan lagi
sama Malaysia.” Jeritan itu muncul setelah ia membaca tulisan di sebuah
koran beberapa saat sebelumnya, berjudul “Angklung Terancam Dipatenkan
Negara Tetangga.”
Kegembiraan Adhelina Pisca boleh jadi mewakili rasa lega bangsa ini,
yang belakangan menyimpan keresahan dan kecemasan terhadap kekayaan
budaya dan hak milik bangsa sendiri karena usikan negara tetangga. Entah
mengusik soal reog-lah, lagu-lah, batik-lah, naskah-naskah kuno-lah,
hingga pulau-pulau terluar (terdepan).
Proposal pendaftaran angklung sebagai nominasi warisan budaya tak
benda (intangible heritage) asli Indonesia, diajukan ke UNESCO bulan
Agustus 2009, oleh belasan komunitas angklung yang tersebar mulai dari
Bandung, Cirebon, Bali, hingga luar Jawa. Kantor Kementerian Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Pendidikan, dan Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata ikut memfasilitasi penyusunan proposal itu.
Pengakuan UNESCO terhadap angklung tersebut memperjelas kehadiran
angklung Indonesia di mata dunia. Di samping itu, kini bertambah satu
lagi sumbangan kekayaan Indonesia pada kebudayaan dunia setelah wayang,
keris, dan batik mendapat pengakuan yang sama dari lembaga yang sama
pula. Kabarnya, kini tari Saman sedang antre untuk mendapatkan pengakuan
yang sama tahun 2011.
Dengan makin banyaknya kesenian dan produk budaya Indonesia
mendapatkan pengakuan UNESCO, makin banyak pula bukti yang menegaskan
bahwa bangsa ini kaya akan karya seni budaya. Konsekuensinya, tentu saja
semakin menuntut tanggung jawab kita bersama, terutama para pemangku
kepentingan—pelaku seni dan budaya yang bersangkutan, pemerintah,
tokoh-tokoh masyarakat, media, kalangan pengusaha sebagai maesenas—untuk
semakin peduli, merawat, dan mengembangkannya. Bukan sebaliknya, tambah
sombong dan terlena. Jika selama kemerdekaan Indonesia kebudayaan belum
pernah masuk ke dalam prioritas pembangunan, bukankah dengan adanya
pengakuan demi pengakuan UNESCO ini—di sisi lain kekerasan merebak di
mana-mana— merupakan momentum yang tepat bagi pemerintah pusat dan
daerah menjadikannya kebudayaan sebagai prioritas pembangunan. Selain
nilai, bidang kebudayaan juga sangat berpotensi untuk pengembangan
ekonomi kreatif.
No comments:
Post a Comment
terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat