Gambuh diperkirakan sudah ada sejak abad ke-15 dan terus
mengalami evolusi sampai abad ke-17. Mengalami balinisasi pada abad
ke-19 sampai dengan abad ke-20. Gambuh nyaris mati pada abad ke-21,
tetapi bangkit lagi melalui anak-anak.
Di panggung terbuka di depan angkul-angkul (gapura Bali),
lima anak perempuan menari dengan gerakan-gerakan gemulai dan ritmis,
diiringi seruling dan gamelan yang mendayu-dayu. Mereka menarikan
Condong dan Kakan-Kakan sambil saling sapa, menyambut kedatangan Galuh.
Kemudian Galuh tampil dengan tari yang halus, luwes, lembut, dan
berdialog dengan bahasa Kawi (Jawa Kuno), menceritakan situasi dan
kondisi di sekitarnya. Para penari kemudian keluar dari panggung.
Pada babak selanjutnya, muncul peran Prabangsa (patih), Kade-Kadean
(arya), dan Demang Tumenggung. Mereka tampil menari secara bergantian
dengan gerakan-gerakan yang berwibawa disesuaikan dengan karakter
masing-masing. Gerakan mereka diikuti oleh para punakawan dengan tari
dan lawakan-lawakan yang lucu dan segar, menyambut kedatangan tokoh
Panji (pangeran). Kemudian Panji tampil di hadapan para abdinya dan
cerita melangkah ke babak selanjutnya. Itulah sekelumit adegan dalam
sebuah pementasan gambuh yang menceritakan perjalanan Ratna Manggali
mencuri kitab Lontar Takepan Danta milik Ni Calonarang untuk
diserahkan kepada mertuanya, Mpu Baradah. Ratna Manggali adalah putri
kesayangan Ni Calonarang yang dipersunting oleh Mpu Bahula atas perintah
Mpu Baradah guna menyingkap rahasia kesaktian Ni Calonarang dan
menetralisasi kekuatan buruk kitab sakti itu.
No comments:
Post a Comment
terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat