Setelah Teater Populer, Teater Ketjil, Bengkel Teater, dan Studiklub
Teater Bandung (STB) ditinggal pendirinya, tinggal Mandiri dan Koma,
teater sezaman yang masih bertahan hingga kini. Berikut perbincangan E.
Pudjiachirusanto dari Warisan Indonesia dengan pendiri Teater Mandiri,
Putu Wijaya, dalam rangka ulang tahun ke-40 Teater Mandiri.
Wawancara dengan dramawan kelahiran Tabanan, Bali, 11 April 1944,
yang mendapat gelar Sarjana Hukum dari UGM Yogyakarta ini, berlangsung
di sela latihan “Aduh” di halaman rumahnya di Perumahan Astya Puri,
Tangerang Selatan.
Bisa diceritakan proses pendirian Teater Mandiri ini?
Sebelum saya ke Jakarta, saya sudah memiliki teater waktu kuliah di Yogyakarta. Ketika hijrah ke Jakarta, saya berkeinginan memiliki teater sendiri. Pada 1969 itu, Teater Ketjil sudah berdiri, Teater Populer juga sudah ada. Ketika tiba di Jakarta, saya bergabung dengan Teater Ketjil, juga Teater Populer, termasuk pernah ke Teater Wahyu Sihombing. Tapi, karena di Wahyu Sihombing banyak pemain, saya akhirnya tidak jadi bergabung.
Sebelum saya ke Jakarta, saya sudah memiliki teater waktu kuliah di Yogyakarta. Ketika hijrah ke Jakarta, saya berkeinginan memiliki teater sendiri. Pada 1969 itu, Teater Ketjil sudah berdiri, Teater Populer juga sudah ada. Ketika tiba di Jakarta, saya bergabung dengan Teater Ketjil, juga Teater Populer, termasuk pernah ke Teater Wahyu Sihombing. Tapi, karena di Wahyu Sihombing banyak pemain, saya akhirnya tidak jadi bergabung.
Saya lantas membuat pertunjukan di TVRI. Akhirnya, saya mencari nama
untuk teater ini. Waktu itu saya punya dua pilihan. Pertama, “Teater
Kita” artinya milik semua orang. Tapi akhirnya, saya memilih nama
“Mandiri”. Ketika itu kata “mandiri” masih terlalu asing. Pertama kali
saya dengar dari Prof. Djojodigoena, dalam kuliah sosiologi di UGM
Yogyakarta. “Mandiri”, sebuah kata Jawa, yang artinya mampu berdiri
sendiri, independen, tetapi tidak menolak bekerja sama. Saya sangat
tertarik dan jatuh cinta pada kata itu. Orang Indonesia harus mandiri.
Orang boleh pintar, rajin, tetapi yang paling penting adalah mandiri.
Pementasan pertama, “Orang-orang Mandiri” di TVRI yang masih hitam
putih. Pemainnya karyawan majalah Tempo, sekitar tahun 1971. Itulah yang
saya anggap sebagai awal berdirinya Teater Mandiri.
Apakah situasi sosial politik ketika itu memungkinkan bagi ekspresi seni, seperti dilakukan Teater Mandiri?
Kami lantas meneruskan pertunjukan di TVRI, sebelum tampil pertama kali di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada 1974. Ada dua pertunjukan yang disensor dan kemudian tidak ditayangkan. Sensor dilakukan karena pemerintah merasa terancam. Seniman-seniman, seperti W.S. Rendra sangat gerah dengan kondisi ini.
Kami lantas meneruskan pertunjukan di TVRI, sebelum tampil pertama kali di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada 1974. Ada dua pertunjukan yang disensor dan kemudian tidak ditayangkan. Sensor dilakukan karena pemerintah merasa terancam. Seniman-seniman, seperti W.S. Rendra sangat gerah dengan kondisi ini.
Tetapi, saya yang pernah belajar ilmu hukum (Selain kuliah di FH UGM,
juga pernah di Akademi Seni Rupa Indonesia, dan Akademi Teater Nasional
Indonesia—ketiganya di Yogyakarta, Red), mengerti bahwa hukum memang
untuk membatasi, sekalipun di zaman merdeka. Kita akan terus terbatasi
hukum bila jiwa kita tidak merdeka.
Ketika saya dilarang memakai pemain berambut gondrong, saya ikuti.
Ketika dua pertunjukan saya tidak ditayangkan, saya tidak marah. Karena
saya mengerti, tugas pemerintah memang melakukan pelarangan.
Apa filosofi Teater Mandiri hingga mampu bertahan sampai usia 40 tahun?
Sebagai orang kreatif, tugas saya menyiasati larangan itu dan berusaha berkelit darinya. Menyampaikan sesuatu, tetapi tanpa mengurangi maksudnya dan tidak terjegal oleh larangan. Ini yang melahirkan konsep “Bertolak dari Yang Ada”. Kalau kita menghadapi sesuatu, kita lihat dulu kondisi kita, lalu kita berangkat dari kondisi itu. Kalau saya dilarang ke kanan, saya tidak akan marah. Saya akan pergi ke kiri dulu, kemudian ke kanan. Karena kreativitas itu tidak bisa dipasung. Larangan itu tidak lantas membuat kita berpangku tangan. Waktu itu saya berpikir, berikan saya seribu larangan, saya akan mencoba mengelak dan tidak membatalkan niat saya.
Sebagai orang kreatif, tugas saya menyiasati larangan itu dan berusaha berkelit darinya. Menyampaikan sesuatu, tetapi tanpa mengurangi maksudnya dan tidak terjegal oleh larangan. Ini yang melahirkan konsep “Bertolak dari Yang Ada”. Kalau kita menghadapi sesuatu, kita lihat dulu kondisi kita, lalu kita berangkat dari kondisi itu. Kalau saya dilarang ke kanan, saya tidak akan marah. Saya akan pergi ke kiri dulu, kemudian ke kanan. Karena kreativitas itu tidak bisa dipasung. Larangan itu tidak lantas membuat kita berpangku tangan. Waktu itu saya berpikir, berikan saya seribu larangan, saya akan mencoba mengelak dan tidak membatalkan niat saya.
Misalnya, terjadi pada buku saya Stasiun, saya dilarang menggunakan
kata ‘ngeloco’. Buat beberapa teman, kalau dilarang menggunakan
kata-kata tertentu, dia urung menulis. Tapi buat saya, ketika kata
‘ngeloco’ dilarang, saya berkelit tanpa membatalkan niat saya
menyampaikan sesuatu kepada publik.
Itulah yang saya sebut sebagai “Bertolak dari Yang Ada”. Artinya,
memahami dan menerima kondisi, menggunakan kondisi yang ada, untuk
meraih cita-cita semaksimal mungkin. Ketika kita miskin, kita tak perlu
mengutuk kemiskinan itu, tetapi menerima dan menyiasati, tidak lantas
menjadi minder. Bagaimana memaksimalkan kemiskinan dengan kreatif untuk
mencapai hasil maksimal, itu yang utama.
No comments:
Post a Comment
terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat