Laman

to night

Aku adalah binatang jalang yang menghembuskan angin kedinginan. apa pun bisa kita lakukan, biarkan Hayal mu melambung tinggi menikmati sensasi lambda sehingga hayalmu menembus batas, bangun ketika kau mulai lelah akan semua, bakarlah dinding-dinding yang membuatmu tidak mempunyai waktu untuk membuka sensasi Lamda. masih ingatkah kita pernah bercerita tentang puncuk-puncuk lambda di ketinggian 200Hez aku telah menemukan seluk beluk lambda. Mari bersama menembus batas normal, yang akan membuka tabir mimpi menjadi kenyataan. aku lambda yang membagunkan dengan Argumentum ad populum, wujud nyata, ilusi, melayang maya membuka tabir biru menjadi sir Lamda






Saturday, March 24, 2012

"Kemiskinan Bisa Disiasati"

Dok. Teater Mandiri
Setelah Teater Populer, Teater Ketjil, Bengkel Teater, dan Studiklub Teater Bandung (STB) ditinggal pendirinya, tinggal Mandiri dan Koma, teater sezaman yang masih bertahan hingga kini. Berikut perbincangan E. Pudjiachirusanto dari Warisan Indonesia dengan pendiri Teater Mandiri, Putu Wijaya, dalam rangka ulang tahun ke-40 Teater Mandiri.
Wawancara dengan dramawan kelahiran Tabanan, Bali, 11 April 1944, yang mendapat gelar Sarjana Hukum dari UGM Yogyakarta ini, berlangsung di sela latihan “Aduh” di halaman rumahnya di Perumahan Astya Puri, Tangerang Selatan.
Bisa diceritakan proses pendirian Teater Mandiri ini?
Sebelum saya ke Jakarta, saya sudah memiliki teater waktu kuliah di Yogyakarta. Ketika hijrah ke Jakarta, saya berkeinginan memiliki teater sendiri. Pada 1969 itu, Teater Ketjil sudah berdiri, Teater Populer juga sudah ada. Ketika tiba di Jakarta, saya bergabung dengan Teater Ketjil, juga Teater Populer, termasuk pernah ke Teater Wahyu Sihombing. Tapi, karena di Wahyu Sihombing banyak pemain, saya akhirnya tidak jadi bergabung.
Saya lantas membuat pertunjukan di TVRI. Akhirnya, saya mencari nama untuk teater ini. Waktu itu saya punya dua pilihan. Pertama, “Teater Kita” artinya milik semua orang. Tapi akhirnya, saya memilih nama “Mandiri”. Ketika itu kata “mandiri” masih terlalu asing. Pertama kali saya dengar dari Prof. Djojodigoena, dalam kuliah sosiologi di UGM Yogyakarta. “Mandiri”, sebuah kata Jawa, yang artinya mampu berdiri sendiri, independen, tetapi tidak menolak bekerja sama. Saya sangat tertarik dan jatuh cinta pada kata itu. Orang Indonesia harus mandiri. Orang boleh pintar, rajin, tetapi yang paling penting adalah mandiri.
Pementasan pertama, “Orang-orang Mandiri” di TVRI yang masih hitam putih. Pemainnya karyawan majalah Tempo, sekitar tahun 1971. Itulah yang saya anggap sebagai awal berdirinya Teater Mandiri.
Apakah situasi sosial politik ketika itu memungkinkan bagi ekspresi seni, seperti dilakukan Teater Mandiri?
Kami lantas meneruskan pertunjukan di TVRI, sebelum tampil pertama kali di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada 1974. Ada dua pertunjukan yang disensor dan kemudian tidak ditayangkan. Sensor dilakukan karena pemerintah merasa terancam. Seniman-seniman, seperti W.S. Rendra sangat gerah dengan kondisi ini.
Tetapi, saya yang pernah belajar ilmu hukum (Selain kuliah di FH UGM, juga pernah di Akademi Seni Rupa Indonesia, dan Akademi Teater Nasional Indonesia—ketiganya di Yogyakarta, Red), mengerti bahwa hukum memang untuk membatasi, sekalipun di zaman merdeka. Kita akan terus terbatasi hukum bila jiwa kita tidak merdeka.
Ketika saya dilarang memakai pemain berambut gondrong, saya ikuti. Ketika dua pertunjukan saya tidak ditayangkan, saya tidak marah. Karena saya mengerti, tugas pemerintah memang melakukan pelarangan.
Apa filosofi Teater Mandiri hingga mampu bertahan sampai usia 40 tahun?
Sebagai orang kreatif, tugas saya menyiasati larangan itu dan berusaha berkelit darinya. Menyampaikan sesuatu, tetapi tanpa mengurangi maksudnya dan tidak terjegal oleh larangan. Ini yang melahirkan konsep “Bertolak dari Yang Ada”. Kalau kita menghadapi sesuatu, kita lihat dulu kondisi kita, lalu kita berangkat dari kondisi itu. Kalau saya dilarang ke kanan, saya tidak akan marah. Saya akan pergi ke kiri dulu, kemudian ke kanan. Karena kreativitas itu tidak bisa dipasung. Larangan itu tidak lantas membuat kita berpangku tangan. Waktu itu saya berpikir, berikan saya seribu larangan, saya akan mencoba mengelak dan tidak membatalkan niat saya.
Misalnya, terjadi pada buku saya Stasiun, saya dilarang menggunakan kata ‘ngeloco’. Buat beberapa teman, kalau dilarang menggunakan kata-kata tertentu, dia urung menulis. Tapi buat saya, ketika kata ‘ngeloco’ dilarang, saya berkelit tanpa membatalkan niat saya menyampaikan sesuatu kepada publik.
Itulah yang saya sebut sebagai “Bertolak dari Yang Ada”. Artinya, memahami dan menerima kondisi, menggunakan kondisi yang ada, untuk meraih cita-cita semaksimal mungkin. Ketika kita miskin, kita tak perlu mengutuk kemiskinan itu, tetapi menerima dan menyiasati, tidak lantas menjadi minder. Bagaimana memaksimalkan kemiskinan dengan kreatif untuk mencapai hasil maksimal, itu yang utama.

No comments:

Post a Comment

terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat