Tempo
lalu 21 orang meninggal berebut jatah mendapatkan uang zakat, kemudian
kejadian serupa terjadi lagi selanjutnya, meskipun tidak menelan korban
tetapi dapat dilihat bagaimana berdesaknya mereka saat mengantri untuk
uang yang mungkin bagi konglomerat dan pejabat pemerintah negeri ini
tidak seberapa. Tidak ada sepesernya dari uang gaji mereka tiap bulan,
tidak sebanding dengan keringat yang mereka peras setiap hari untuk
mengais rezeki.
Lalu ketika selepas lebaran dimana ada acara open house atau halal bi halal di suatu daerah, bukan cuma puluhan tetapi ratusan orang berbondong datang, hanya untuk mencicipi bagaimana rasanya makan puas tanpa mengeluarkan uang atau membayar. Sampai-sampai di salah satu provinsi ada perempuan yang tersiram panasnya opor ayam ketika sedang berdesakan mengantri demi segenggam plastik berisi makanan gratisan.
Kemudian fenomena rakyat yang mengolah dan memakan daging-daging busuk dalam buangan sampah. Semua itu karena sumber bahan makanan di negeri ini semakin mahal, hampir-hampir tidak terjangkau oleh rakyat jelata.
Berapa banyak kriminalitas terjadi akibat motif sederhana, yaitu perut yang lapar. Tetapi mereka lebih bagus ketimbang pejabat yang semestinya kenyang namun terus menerus kelaparan. Bukan perutnya saja yang lapar, begitu pula nafsunya. Nafsu menguasai segala yang ada di atas muka bumi.
Lalu mengapa pemerintah masih ngotot berkata angka-angka dari data-data. Kertas adalah kertas dan data adalah data, angka-angka itu bisa berubah, ditambah atau dikurangi sendiri. Berapa banyak orang lapangan dari pemerintah itu yang mau kerja keras saat survei lapangan? toh gaji mereka juga kecil, perut mereka juga lapar, apalagi jika mereka dibebani dengan beban seisi keluarganya. Bukankah lebih mudah bagi mereka untuk menulis data asal-asalan serta asal bapak senang, agar tidak terlalu lelah di lapangan sembari mengutip sedikit demi sedikit uang perjalanan survei.
Tapi bagusnya rakyat Indonesia masih kuat dan tabah untuk bersabar, namun buruknya kesabaran itu sering dijadikan alat kepentingan orang-orang untuk menekan atau memanfaatkan keadaan mereka demi tahta, pangkat, jabatan dan uang.
Mungkinkah suatu ketika presiden negeri ini memposisikan diri dan memandang kemiskinan lewat perspektif orang-orang jelata, bukan dari wacana kepentingan partai atau orang-orang yang menjilat kursi pemerintah dan dewan?
Inilah kemiskinan rakyat Indonesia yang dipandang sebelah mata.
Lalu ketika selepas lebaran dimana ada acara open house atau halal bi halal di suatu daerah, bukan cuma puluhan tetapi ratusan orang berbondong datang, hanya untuk mencicipi bagaimana rasanya makan puas tanpa mengeluarkan uang atau membayar. Sampai-sampai di salah satu provinsi ada perempuan yang tersiram panasnya opor ayam ketika sedang berdesakan mengantri demi segenggam plastik berisi makanan gratisan.
Kemudian fenomena rakyat yang mengolah dan memakan daging-daging busuk dalam buangan sampah. Semua itu karena sumber bahan makanan di negeri ini semakin mahal, hampir-hampir tidak terjangkau oleh rakyat jelata.
Berapa banyak kriminalitas terjadi akibat motif sederhana, yaitu perut yang lapar. Tetapi mereka lebih bagus ketimbang pejabat yang semestinya kenyang namun terus menerus kelaparan. Bukan perutnya saja yang lapar, begitu pula nafsunya. Nafsu menguasai segala yang ada di atas muka bumi.
Lalu mengapa pemerintah masih ngotot berkata angka-angka dari data-data. Kertas adalah kertas dan data adalah data, angka-angka itu bisa berubah, ditambah atau dikurangi sendiri. Berapa banyak orang lapangan dari pemerintah itu yang mau kerja keras saat survei lapangan? toh gaji mereka juga kecil, perut mereka juga lapar, apalagi jika mereka dibebani dengan beban seisi keluarganya. Bukankah lebih mudah bagi mereka untuk menulis data asal-asalan serta asal bapak senang, agar tidak terlalu lelah di lapangan sembari mengutip sedikit demi sedikit uang perjalanan survei.
Tapi bagusnya rakyat Indonesia masih kuat dan tabah untuk bersabar, namun buruknya kesabaran itu sering dijadikan alat kepentingan orang-orang untuk menekan atau memanfaatkan keadaan mereka demi tahta, pangkat, jabatan dan uang.
Mungkinkah suatu ketika presiden negeri ini memposisikan diri dan memandang kemiskinan lewat perspektif orang-orang jelata, bukan dari wacana kepentingan partai atau orang-orang yang menjilat kursi pemerintah dan dewan?
Inilah kemiskinan rakyat Indonesia yang dipandang sebelah mata.
No comments:
Post a Comment
terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat