Laman

to night

Aku adalah binatang jalang yang menghembuskan angin kedinginan. apa pun bisa kita lakukan, biarkan Hayal mu melambung tinggi menikmati sensasi lambda sehingga hayalmu menembus batas, bangun ketika kau mulai lelah akan semua, bakarlah dinding-dinding yang membuatmu tidak mempunyai waktu untuk membuka sensasi Lamda. masih ingatkah kita pernah bercerita tentang puncuk-puncuk lambda di ketinggian 200Hez aku telah menemukan seluk beluk lambda. Mari bersama menembus batas normal, yang akan membuka tabir mimpi menjadi kenyataan. aku lambda yang membagunkan dengan Argumentum ad populum, wujud nyata, ilusi, melayang maya membuka tabir biru menjadi sir Lamda






Friday, October 12, 2012

"ABG Ditemukan Bugil di Pantai"


 
Pelaku pemerkosaan di Pasuruan dibawa polisi (Dok: Sindo TV/Jaka Samudra)PASURUAN - Seorang siswi SMP diperkosa oleh nelayan di pesisisir pantai di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Sebelum diperkosa, korban dicekoki minuman keras.

Korban, warga Desa Pamatan, Kecamatan Tongas, Kabupaten Probolinggo, sempat dibawa ke Puskesmas Nguling, Pasuruan, karena ditemukan warga dalam kondisi bugil di pinggir pantai di Dusun Krajan, Desa Kedawang, Kecamatan Nguling.

Gadis yang sebentar lagi menamatkan SMP itu diketahui diperkosa oleh So (23), pada Jumat malam kemarin.

Hasil pemeriksaan, dari mulut remaja berparas cantik tercium minuman keras. Di leher korban, ada bekas cekikan, dan tangan pelaku terapat luka gigitan.

Sementara itu, pelaku berhasil diamankan Kepala Dusun Kedawang, Sobri, kemudian dibawa ke Mapolsek Nguling.

Korban diketahui sudah menghilang dari rumah sejak pekan lalu. Keluarga sempat melaporkan kasus kehilangan tersebut ke Mapolres Probolinggo.

“Sudah dilaporkan ke polisi, tahu-tahu tak sadar setelah diperkosa,” ucap Suhandak, keluarga korban di Mapolsek Nguling, Sabtu (5/5/2012).

Kanit Reskrim Polsek Nguling Iptu Sunyoto mengungkapkan kasus ini dilimpahkan ke Polres Pasuruan untuk diusut lebih lanjut. Korban diduga diculik lebih dulu di Probolinggo.

“Bila dilihat, korban ini diperkosa secara bergilir, karena sempat dibawa oleh teman pelaku dari wilayah Pasuruan dan Probolinggo selama tujuh hari,” ujar Sunyoto.

Monday, September 10, 2012

Museum Taman Prasasti, Serpihan Kisah Nisan-nisan Tua


Warisan Indonesia/Ibnu Setiadi
Ada kisah yang tersembunyi pada nisan-nisan tua bekas kuburan kaum elite masa kolonial. Sayang, salah satu kompleks permakaman paling tua di dunia itu tak terurus. Di situ bersemayam jenazah para gubernur jenderal, panglima perang, hingga aktivis yang mati muda, Soe Hok Gie. Di taman ini terlukis peristiwa sepanjang massa dari goresan prasasti mereka yang pergi.
Di sini pula tertanam kehijauan yang kita dambakan. Pesan itu tertulis di batu penanda peresmian Museum Taman Prasasti, Jalan Tanah Abang 1, Gambir, Jakarta Pusat. Tertanggal 9 Juli 1977 oleh Pejabat Gubernur KDKI Jakarta Letjen TNI (Marinir) Ali Sadikin. Warga sekitar lebih suka menyebutnya Taman Prasasti Kebun Jahe. Pada masa penjajahan Belanda, bangunan itu adalah sebuah permakaman mewah buat orangorang terpandang saat itu. Namun, Pemerintah DKI Jakarta mengubahnya menjadi museum. Dari kejauhan, museum itu sangat kentara.
Gaya arsitekturnya kontras dengan bangunanbangunan lain di sekitarnya. Delapan belas pilar kokoh yang menjulang tinggi di gerbang amat menyita perhatian. Saat membangun museum ini pada tahun 1844, para perancangnya sengaja mengadopsi arsitektur klasik gaya Doria. Hal yang kerap ditemui di kantor-kantor pengadilan.
Dua meriam perunggu di kanan-kiri museum seolah-olah menyambut para pengunjung. Di pagar sekeliling tembok depan terpajang sekitar 35 nisan dari batu gunung biru atau batu pantai yang keras dari India Selatan. Semakin tinggi jabatan seseorang, semakin bagus kualitas batu yang digunakan.
Berbeda dengan museum pada umumnya, Museum Taman Prasasti ini tidak memajang koleksinya di ruang pamer yang berhias sorotan lampu dan ruangan dengan pengatur suhu. Bangunan itu sejatinya memang dirancang sebagai museum terbuka.
Nisan-nisan kuburan orang yang meninggal pada zaman kolonial Belanda pun dibiarkan apa adanya. Namun, ada juga yang sudah diinventaris dan dikelompokkan. Kesan angker dan seram pun sirna dengan suasana rindangnya pepohonan, kicauan burung, bentuk nisan dan patung yang beraneka corak unsur dan bahasa.

Friday, July 20, 2012

Menapak Tilas Jejak Kesakralan Hindu di Gedongsongo


Diasz Kundi
Kompleks candi ini menyimpan misteri berabad-abad yang belum terjawab. Perjalanan ke puncak candi yang berat akan menjawab pertanyaan, mengapa nenek moyang kita mendirikan tempat ibadah di puncak pegunungan?
Masyarakat sekitar menyebut kompleks candi itu Gedongsongo. Dalam bahasa Jawa, ‘gedong’ berarti rumah atau bangunan, sedangkan ‘songo’ berarti sembilan. Secara harfiah, Gedongsongo berarti ‘sembilan bangunan’. Meskipun pengunjung hanya menyaksikan lima kompleks bangunan, masyarakat yakin bahwa awalnya kawasan ini memiliki sembilan kompleks bangunan candi.
Bangunan candi itu berderet dari bawah ke puncak perbukitan Ungaran. Baik warga maupun para arkeolog Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah mempunyai beberapa tafsiran terhadap maksud peletakan bangunan itu. Tafsiran pertama menganggapnya sebagai simbol hierarki kesucian.  Artinya, candi yang di atas lebih suci dari candi yang di bawah. Tafsiran kedua mengatakan, deretan ini menunjukkan sebuah prosesi keagamaan yang berjalan dari candi terbawah hingga ke atas.
Adapun tafsiran ketiga menganggapnya sebagai gambaran dari sembilan lubang yang terdapat pada tubuh manusia, yaitu sepasang (dua) mata, sepasang (dua) telinga, dua lubang hidung, mulut, kemaluan, dan anus. Banyak anggota masyarakat berkeyakinan bahwa empat bagian kompleks candi yang tak terlihat itu mengalami proses moksa (menghilang secara gaib).  Sampai kini keyakinan itu tertanam kuat dalam benak masyarakat. Mbah Sapto, seorang budayawan setempat, dan rekannya, Ki Suro Menggolo, adalah sebagian di antara orang-orang yang menjunjung keyakinan itu.  Menurut mereka, candi paling bawah yang mengawali rangkaian itu adalah lubang kemaluan, lalu berderet ke atas. “Sehingga bisa diilustrasikan, candi-candi ini tegak berdiri menggambarkan sembilan lubang pada [tubuh] manusia secara utuh,” tutur mereka.

Museum Taman Prasasti, Serpihan Kisah Nisan-nisan Tua


Warisan Indonesia/Ibnu Setiadi
Ada kisah yang tersembunyi pada nisan-nisan tua bekas kuburan kaum elite masa kolonial. Sayang, salah satu kompleks permakaman paling tua di dunia itu tak terurus. Di situ bersemayam jenazah para gubernur jenderal, panglima perang, hingga aktivis yang mati muda, Soe Hok Gie. Di taman ini terlukis peristiwa sepanjang massa dari goresan prasasti mereka yang pergi.
Di sini pula tertanam kehijauan yang kita dambakan. Pesan itu tertulis di batu penanda peresmian Museum Taman Prasasti, Jalan Tanah Abang 1, Gambir, Jakarta Pusat. Tertanggal 9 Juli 1977 oleh Pejabat Gubernur KDKI Jakarta Letjen TNI (Marinir) Ali Sadikin. Warga sekitar lebih suka menyebutnya Taman Prasasti Kebun Jahe. Pada masa penjajahan Belanda, bangunan itu adalah sebuah permakaman mewah buat orangorang terpandang saat itu. Namun, Pemerintah DKI Jakarta mengubahnya menjadi museum. Dari kejauhan, museum itu sangat kentara.
Gaya arsitekturnya kontras dengan bangunanbangunan lain di sekitarnya. Delapan belas pilar kokoh yang menjulang tinggi di gerbang amat menyita perhatian. Saat membangun museum ini pada tahun 1844, para perancangnya sengaja mengadopsi arsitektur klasik gaya Doria. Hal yang kerap ditemui di kantor-kantor pengadilan.
Dua meriam perunggu di kanan-kiri museum seolah-olah menyambut para pengunjung. Di pagar sekeliling tembok depan terpajang sekitar 35 nisan dari batu gunung biru atau batu pantai yang keras dari India Selatan. Semakin tinggi jabatan seseorang, semakin bagus kualitas batu yang digunakan.
Berbeda dengan museum pada umumnya, Museum Taman Prasasti ini tidak memajang koleksinya di ruang pamer yang berhias sorotan lampu dan ruangan dengan pengatur suhu. Bangunan itu sejatinya memang dirancang sebagai museum terbuka.
Nisan-nisan kuburan orang yang meninggal pada zaman kolonial Belanda pun dibiarkan apa adanya. Namun, ada juga yang sudah diinventaris dan dikelompokkan. Kesan angker dan seram pun sirna dengan suasana rindangnya pepohonan, kicauan burung, bentuk nisan dan patung yang beraneka corak unsur dan bahasa

Tuesday, May 29, 2012

agus blog

contoh

"Komunitas Air Gunung – Mengalir Mengikuti Zaman"


WARISAN INDONESIA / Bhrahu Pradipto
Komunitas Air Gunung hadir di tengah kelompok pelukis kampung yang bekerja tanpa konsep. Berkat kegigihan pencetusnya, sebagian anggota komunitas sukses dengan karyanya. Kini hidup mereka terus mengalir mengikuti gerak zaman.
Suatu ketika, Agus Wuryanto, SN., seorang fotografer profesional, memerhatikan karya-karya pelukis di kampung kelahirannya, Wonosobo, Jawa Tengah, tampak sama. Semua membuat gambar pemandangan, sawah, gunung, alam pedesaan. Seragam dan tak ada yang istimewa.
Saat mencoba berkomunikasi dengan para pelukis tersebut yang ia dengarkan adalah keluhan tentang hidup mereka yang serba susah. Paling tinggi, sebuah karya dibeli orang dengan harga Rp500.000. Sebagai lulusan seni murni Institut Seni Indonesia, hatinya tergelitik sekaligus prihatin dengan kondisi tersebut.
WARISAN INDONESIA / Bhrahu Pradipto
Berbekal ilmu selama masa kuliah dan pengalaman panjangnya memainkan kuas di atas kanvas, ia kumpulkan para pelukis itu dalam sebuah wadah, yang kemudian dinamakan Komunitas Air Gunung. Ia memulai urusan itu saat tak lagi mengemban tugas pelaksana pemotretan di lapangan, maklum kiprahnya di dunia fotografi memang cukup mendalam. Ia adalah Ketua Pencinta Fotografi Wonosobo. Dengan demikian, konsentrasinya bisa lebih fokus.
Sejak tahun 2006, dengan telaten ia memberikan pelatihan kepada anggota komunitas. “Teknik penggemblengannya seperti home schooling. Artinya, tercipta interaksi yang lebih intim. Setiap ingin membuat satu karya, ide si pelukis didiskusikan sampai menemukan konsep yang menarik,” ungkapnya.
Bagi penggiat seni di Wonosobo ini, ada tiga hal utama yang harus dimiliki seseorang pelukis anggotanya agar dapat mencapai hasil maksimal. Pertama, harus ada kepedulian, baik dari pengajar maupun murid yang ia bimbing. Kedua, harus ada keterlibatan emosional antarpersonal. Dan ketiga, harus ada kepercayaan.Akhirnya dengan bentuk pertemanan, diharapkan tercipta ikatan yang kuat, saling memahami.

"Menapak Tilas Jejak Kesakralan Hindu di Gedongsongo"


Kompleks candi ini menyimpan misteri berabad-abad yang belum terjawab. Perjalanan ke puncak candi yang berat akan menjawab pertanyaan, mengapa nenek moyang kita mendirikan tempat ibadah di puncak pegunungan?
Masyarakat sekitar menyebut kompleks candi itu Gedongsongo. Dalam bahasa Jawa, ‘gedong’ berarti rumah atau bangunan, sedangkan ‘songo’ berarti sembilan. Secara harfiah, Gedongsongo berarti ‘sembilan bangunan’. Meskipun pengunjung hanya menyaksikan lima kompleks bangunan, masyarakat yakin bahwa awalnya kawasan ini memiliki sembilan kompleks bangunan candi.
Bangunan candi itu berderet dari bawah ke puncak perbukitan Ungaran. Baik warga maupun para arkeolog Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah mempunyai beberapa tafsiran terhadap maksud peletakan bangunan itu. Tafsiran pertama menganggapnya sebagai simbol hierarki kesucian.  Artinya, candi yang di atas lebih suci dari candi yang di bawah. Tafsiran kedua mengatakan, deretan ini menunjukkan sebuah prosesi keagamaan yang berjalan dari candi terbawah hingga ke atas.
Adapun tafsiran ketiga menganggapnya sebagai gambaran dari sembilan lubang yang terdapat pada tubuh manusia, yaitu sepasang (dua) mata, sepasang (dua) telinga, dua lubang hidung, mulut, kemaluan, dan anus. Banyak anggota masyarakat berkeyakinan bahwa empat bagian kompleks candi yang tak terlihat itu mengalami proses moksa (menghilang secara gaib).  Sampai kini keyakinan itu tertanam kuat dalam benak masyarakat. Mbah Sapto, seorang budayawan setempat, dan rekannya, Ki Suro Menggolo, adalah sebagian di antara orang-orang yang menjunjung keyakinan itu.  Menurut mereka, candi paling bawah yang mengawali rangkaian itu adalah lubang kemaluan, lalu berderet ke atas. “Sehingga bisa diilustrasikan, candi-candi ini tegak berdiri menggambarkan sembilan lubang pada [tubuh] manusia secara utuh,” tutur mereka.

"Indonesian Heritage Society – Diam-Diam Mempromosikan Indonesia"



Pada 21 Agustus 1995, Ganesha Society disahkan menjadi Indonesian Heritage Society (IHS), dalam bentuk yayasan yang dikelola oleh dewan pengurus tanpa honor. Tujuan utamanya, membantu lembaga-lembaga budaya Indonesia serta meningkatkan pengetahuan, pemahaman, apresiasi budaya, dan warisan Indonesia.
Hawa malam sudah dingin, ditambah lagi Jakarta diguyur hujan. Namun, Erasmus Huis, pusat kebudayaan Belanda di Jakarta, pada 8 November 2011 itu tidak juga sepi. Pengunjung tetap berdatangan, sendiri maupun dengan pasangan. Menggenggam gelas berkaki anggur putih, menyapa rekan lainnya, mereka menghangatkan suasana malam itu.
Malam itu mereka datang khusus untuk mendengarkan dua jam pemaparan Dinny Jusuf, pegiat Tenun Sa’dan Toraja Utara, tentang tekstil dan tradisi masyarakat Tana Toraja. Pengunjung, yang kebanyakan berasal dari Eropa, Amerika, Australia, sangat antusias. Hal itu tampak dari pertanyaan yang mereka ajukan seputar akses yang dapat ditempuh menuju Tana Toraja.
Itulah salah satu kegiatan IHS, sebuah organisasi nirlaba yang punya visi utama menggali kekayaan seni, sejarah, dan budaya tradisi Indonesia.
Pertemuan yang berlangsung di Erasmus Huis itu adalah salah satu kegiatan yang rutin dilakukan setiap Selasa selama Oktober-November dan Januari- Februari. Kelas yang dikenal dengan evening lectures—yang pada 8 November 2011 merupakan penutup Evening Lectures 2011—itu mengkaji keanekaragaman budaya tradisi dan budaya kontemporer Indonesia dengan fokus pada pemaparan seni, etnografi, agama, budaya, sejarah, dan pengetahuan alam. Pengantar dalam pertemuan itu menggunakan bahasa Inggis karena pengunjungnya kebanyakan ekspatriat.

"Kepingan Fakta di Liang Bua"


Penemuan situs manusia purba Liang Bua pada tahun 2003 mengguncang dunia arkeologi. Digali pertama kali pada tahun 1965, hingga kini temuan ini terus menjadi perdebatan di kalangan arkeolog.
BENARKAH Homo floresiensis yang tengkorak dan kerangkanya ditemukan di Liang Bua, Flores, oleh arkeolog Indonesia dan Australia tahun 2003 berkerabat dengan Pithecanthropus erectus—manusia kera yang berjalan tegak?
Atau, temuan yang diumumkan oleh arkeolog Michael Morwood dari Universitas Wollongong, Australia, secara sepihak pada tahun 2003 itu merupakan tengkorak homo sapiens—manusia modern—yang mengidap penyakit sehingga bertubuh kerdil hingga dijuluki manusia hobbit?
Terlepas dari perdebatan ilmiah yang hingga kini terus berlangsung itu, situs Liang Bua yang berada di gua karst yang dihiasi stalaktit di ketinggian 500 di atas permukaan laut (dpl) dan berjarak sekitar 25 kilometer utara Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu menyimpan kepingan fakta jejak peradaban Flores purba.
Ditempuh sekitar 2,5 jam perjalanan dengan mobil dari pusat kota Ruteng, jalanan menuju Liang Bua—yang artinya gua dingin—itu berkelok dan tanpa papan penunjuk jalan. Berada di Kampung Rampasasa, Desa Waemulu, Kecamatan Waeriri, Kabupaten Manggarai, situs Liang Bua berada tak jauh dari persawahan dan dikelilingi hutan.
Menurut pemandu, Cornelis Jaman (38), situs Liang Bua memiliki lebar 50 meter, panjang 40 meter, dan tinggi dinding dari permukaan tanah 25 meter. “Menurut legenda rakyat sini, gua ini diciptakan nenek moyang kami dengan bantuan makhluk gaib, tetapi tentu ini sekadar legenda,” ujarnya tanpa meneruskan ceritanya.
Penggalian (ekskavasi) situs terus berlangsung hingga kini dan memperkerjakan warga setempat dengan upah Rp 40.000 per hari. Beberapa nama arkeolog yang pernah melakukan penggalian itu, menurut Cornelis, adalah Michael Morwood, Raden Panji Soejono, Thomas Sutikno, Rokus Duwe Awe, dan Sri Warsisto. “Penggalian terus berlangsung, sehari menjelang Lebaran kemarin dihentikan, seusai Lebaran akan dilanjutkan,” katanya kepada Warisan Indonesia, akhir Agustus lalu.
Sedikitnya, ada 3 lubang besar yang digali membujur dan melintang dengan kedalaman bervariasi berkisar 3-6 meter yang diberi pembatas tali rafia, agar situs tidak rusak oleh pengunjung. Di permukaan tampak beberapa kantong plastik berisi serpihan tulang diklasifikasi dan diberi kode tertentu. “Kemarin, kami menemukan kerangka tikus purba, ini kantong tulangnya,” kata Blacius Nggadu (43), kuli gali yang sehari-hari membantu para antropolog, sembari menunjukkan temuan tulang belulang di telapak tangannya

"Museum Taman Prasasti – Sejuta Kisah Hunian Terakhir"


Museum Taman Prasasti membuat kita berdecak kagum. Ada keindahan batu nisan yang bertutur tentang hunian terakhir sebuah peradaban masa lampau. Ada ratusan cerita tersembunyi di balik bongkahan-bongkahan bangunan kuno yang memaksa kita selalu mengingat sejarah.
Pada abad ke-18, pemerintah kolonial Hindia Belanda mendirikan banyak bangunan dengan gaya arsitektur yang menggambarkan keindahan serta kekokohan sistem pertahanan. Kawasan itu lantas dijuluki “Ratu dari Timur” atau dalam bahasa Belandanya ‘Koningin van het Oosten’. Setiap gedung didirikan untuk memenuhi kebutuhan para kaum penjajah yang memiliki gaya hidup berbeda dengan lingkungan sekitarnya.
Pemakaman merupakan salah satu kebutuhan penting yang harus disediakan. Dalam tradisi Eropa, jasad orang meninggal biasanya dimakamkan dalam tanah, tidak diperabukan seperti Golongan Tionghoa yang juga tinggal di kawasan itu. Kemungkinan karena pertimbangan keamanan, kuburan orangorang Belanda (Graf der Hollanders) juga dibangun di dekat kawasan pertahanan bukan di tempat lain yang berjauhan.
Mula-mula ada tempat pemakaman khusus, de Oude Nieuwe Hollandsche Kerk, di areal gereja tua yang kini jadi Museum Wayang. Namun, pada akhir abad ke-18 kuburan ini penuh sehingga pemakaman harus dipindahkan ke luar kota pertahanan Batavia. Tempat ini disebut Kerkhof Laan atau Kebon Jahe Kober.  Mereka yang meninggal harus diangkut dengan sampan menuju tempat ini.
Prosesinya kira-kira sebagai berikut. Bila ada warga Belanda yang meninggal, jenazahnya dibawa ke rumah sakit yang kini telah berubah menjadi Museum Bank Indonesia di kawasan Beos, Jakarta Kota. Pihak rumah sakit menyediakan perahu untuk jenazah yang didayung sepanjang Kali Krukut. Perahu-perahu sewaan juga ikut mengiring di belakang, biasanya mengangkut para pelayat yang terdiri dari keluarga dan kerabat lainnya.
Iring-iringan perahu jenazah tersebut berhenti di Jalan Abdul Muis persis di belakang Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika. sekarang ini. Peti jenazah kemudian diangkat dari atas sampan dan dipindahkan ke sebuah kereta yang ditarik kuda.  Jumlah kuda yang menarik kereta itu ditentukan oleh tingkat kemakmurannya. Semakin makmur orang yang meninggal, semakin banyak pula jumlah kuda penariknya. Pada saat pemindahan dilakukan, lonceng di pemakaman berbunyi sekali. Ini adalah perintah kepada pengurus pemakaman untuk bersiap-siap.  Selanjutnya, lonceng itu terus berbunyi sampai iringan jenazah tiba di gerbang pemakaman yang mengambil corak arsitek Doria itu.
Luas Jalan Kubur, atau Kerkhof Laan, mencapai 5,9 hektar. Semenjak dibuka pada 1795, orang-orang yang punya kedudukan tinggi dan terkenal semasa hidupnya dimakamkan oleh keluarga dan kerabatnya di sini. Mereka umumnya beragama Nasrani, baik Katolik maupun Protestan. Pemerintah daerah Jakarta menutupnya pada 1975. Sebagian lahannya diambil untuk gedung-gedung pemerintah. Kerangka jenazah yang telah lama dikubur dipindahkan ke tempat lain. Sebagian ke kompleks pekuburan Menteng Pulo, sejumlah besar lainnya dibawa pulang ke negeri asal mereka. Gubernur Jakarta Ali Sadikin lalu memerintahkan aparatnya untuk mengubah sisa area Kebon Jahe Kober menjadi Museum Taman Prasasti dan meresmikan pada 9 Juli 1977.

"Spirit Cerita Panji Metropolitan"



Wayang beber nyaris tinggal kenangan. Beruntung masih ada sejumlah anak muda yang peduli dan mencoba melestarikannya. Mereka tergabung dalam satu wadah bernama Komunitas Wayang Beber Metropolitan.
Mungkin sebagian dari Anda bertanya-tanya apa itu wayang beber? Wayang beber muncul dan berkembang di Pulau Jawa pada masa Kerajaan Majapahit. Dinamakan beber, karena cerita yang disampaikan dilakukan dengan cara dibeber, bentuknya lembaran-lembaran berupa gulungan lukisan wayang. Gambar-gambar tokoh pewayangan dilukiskan pada selembar kain atau kertas, disusun adegan demi adegan berurutan sesuai dengan urutan cerita dengan cara dibeberkan.
Beberapa waktu lalu, tepatnya 21-29 Maret 2012, di Bentara Budaya Jakarta, Komunitas Wayang Beber Metropolitan menggelar pameran wayang beber bertajuk Dolanan Wayang Beber. Mereka mencoba memunculkan fenomena metropolitan dalam bentuk wayang beber.
Karya-karya yang ditampilkan berupa pertunjukan wayang beber dengan tetap mempertahankan fungsi wayang beber. Tema-tema dan bentuk visualnya pun sesuai dengan perkembangan masa kini. Adapun pamerannya lebih menampilkan wayang beber bentuk lawasan hingga kontemporer, dengan mengangkat isuisu atau fenomena sosial yang tengah berkecamuk di masyarakat. Saat penutupan acara, mereka mementaskan wayang beber kontemporer berjudul “Kabut Hitam di Desa Temu Kerep”.
Menurut Adi Prasetya (39), ketua sekaligus salah seorang pelopor pendiri Komunitas Wayang Beber Metropolitan, seperti terjadi satu pengulangan—ibaratnya spirit ribuan tahun yang lalu terulang kembali di Jakarta. Wayang beber ini biasanya diminta pentas hanya saatsaat tertentu. “Ini bisa dihitung dengan jari dan baru kemarin Jakarta mementaskan wayang beber sepanjang Jakarta ini lahir,” ujar pria yang lebih akrab disapa Mas Sam tersebut. Sebetulnya, kata Adi, wayang beber bisa dirunut benang merahnya dalam mempersatukan Nusantara, meski dengan tafsir lokal atas Cerita Panji yang berbeda.
Dinda Intan Pramesti Putri (25), Manajer Wayang Beber Metropolitan, menambahkan, Cerita Panji diambil dari banyak cerita, ada yang menyebutkan zaman Kerajaan Jenggala, ada juga zaman Brawijaya saat memerintah di Majapahit. Akan tetapi, intinya itu dari Raja Jawa. Jadi zaman Darmawangsa atau Si Panji ini yang akhirnya ceritanya menyebar ke seluruh Nusantara dalam ceritacerita lain dengan tafsir setiap daerah.
“Sekarang sulit untuk mendapatkan selembar wayang beber. Memang masih ada di beberapa kalangan masyarakat, seperti daerah Pacitan, Jawa Timur dan di Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo, Karangmojo, Gunung Kidul (DI Yogyakarta,” ujar Intan

Thursday, May 3, 2012

"Paradoks"

Aris Liem
Lagu pop “Benci Tapi Rindu”, yang dinyanyikan oleh Diana Nasution, sangat populer pada tahun 70-an. Ekspresi cinta romantis, emosional, lantang itu, pernah juga dinyanyikan oleh pelawak bernama Darto Helm.
Bukan hanya sekedar penghibur diriku ini, sayang.
Bukan pula sekedar pelepas rindumu o sayang.
Sakit hatiku uu…, kau buat begitu.
Kau datang dan pergi sesuka hatimu.
O… kejamnya dikau, teganya dikau padaku.
Kau pergi dan datang sesuka hatimu.
O… sakitnya hati bencinya hati padamu.
Sakitnya hati ini, namun aku rindu.
Bencinya hati ini, tapi aku rindu.
Paradoks yang berat, alot di mata filsafat, ternyata diangkat mudah oleh lagu pop. Mengalir dengan enteng, ringan, gesit, dan menghibur. Sama dengan cerita telur Columbus. Sementara para pemikir pusing memikirkan bagaimana caranya menegakkan telur, Columbus dengan tanpa beban meremukkan ujung telor itu hingga bisa tegak. Tentu saja sesudah itu orang lain bisa menirunya karena sangat mudah. Tapi sebelumnya, tak pernah terpikir.
Dalam sebuah cerita Wild West, ada bayi jatuh ke tangan suku Indian. Anak itu kemudian tumbuh menjadi pejuang Indian. Dia mengalami kehidupan mengerikan yang bersimbah darah. Ketika ia tertangkap dan hidup kembali di masyarakat kulit putih, pada hari tuanya, ia diminta mengungkap pengalamannya yang luar biasa itu. Tetapi, lelaki itu hanya berkata: “Aku hidup beberapa lama di masyarakat Indian dan sekarang aku kembali hidup di masyarakat biasa.”
Pada sebuah kejadian, selalu ada sudut bidik lain yang memungkinkan sesuatu itu diartikan bertentangan dengan nilai sebelumnya. Menghadapi sesuatu yang paradoksal, yang kemudian penting, bukan saja kenyataan yang paradoks itu, tetapi apa yang menyebabkan nilai bisa berakrobat begitu rupa.
Adalah anak dari keluarga miskin merengek minta dibelikan motor, tetapi ditolak orangtuanya karena ekonomi keluarga tidak memungkinkan. Baru setelah 5 tahun menabung, orangtuanya berhasil memenuhi hasrat anaknya. Pada hari ulang tahunnya, anak itu dihadiahi motor yang dimimpikannya. Anak itu senang sekali. Tapi, hanya dua jam kemudian dia pulang melaporkan motornya ringsek ditabrak truk.
Bapaknya marah dan mencak-mencak. “Bego! Puluhan juta yang aku tabung 5 tahun lenyap hanya dalam 2 jam?” Tapi, istrinya berkata lain, ”Pak, biar motornya hancur, tapi syukur alhamdulillah anak kita, kan, tidak apa-apa!” 

"Raja"

Sepuluh tahun setelah tsunami, seorang anak masih terus menangis. Tangisnya begitu mengiris sehingga Baginda Raja resah. Soalnya, anak itu menjadi berita.
Wajah anak itu muncul di koran dan dan televisi. Ia membawa citra yang buruk bagi kerajaan. Akhirnya, raja, setelah dikerubut oleh para pembisiknya, berkenan berkunjung untuk bertanya dan mewanti-wanti, kalau perlu mengancam.
Apa pula yang sudah bikin kamu terus menangis? Rumahmu yang hancur sudah dibangun kembali dengan sumbangan luar negeri. Kamu diberi modal dan hasilnya sudah konkret. Sekarang bapakmu punya toko dan mobil. Kalau tidak ada tsunami pasti kamu masih tinggal di gubuk tua dan ke mana-mana jalan kaki. Ayo berhenti menangis! Masih banyak persoalan kerajaan yang butuh diselesaikan. Kamu tidak boleh egois! Ini sengsara yang membawa nikmat. Ketawa!
Tapi tangis anak itu makin keras. Bukan hanya menangis, sekarang dia mulai meraung-raung. Suaranya begitu mengerikan. Seakan-akan dia sudah dirajam.
Akibatnya, para wartawan dari dalam dan terutama dari luar negeri berhamburan datang. Jeprat-jepret. Heboh, gambar anak itu kontan terpampang, lebih provokatif di halaman depan berbagai media massa, baik di dalam maupun di luar negeri.
Sang Raja mulai kehilangan kesabaran. Buru-buru beliau menyiapkan lagi kunjungan. Kali ini, ia membawa segepok uang tunai plus barang-barang mewah untuk membuktikan bahwa kesejahteraan kerajaan sebenarnya sudah lebih pulih dari sebelum tsunami.
Untung Ibu Suri ngeh, lalu dengan cepat mencegah. Sudahlah Anaknda Baginda Raja, biar ibunda yang datang ke situ, jangan Paduka. Baginda di istana saja, urusan korupsi makin menjadi, bereskan para pejabat yang suka menjilat dan berhentilah anaknda Raja berpikir. Sekarang yang diperlukan tindakan cepat.

"Keberagaman Kontra Keberbedaan"

Di awal tahun 60-an, ada kejadian penting di Bali yang tak dirayakan. Sebuah peristiwa yang mungkin akan memerlukan waktu yang panjang sekali untuk berulang. Hari Raya Nyepi, yang merupakan tahun baru Caka Bali, jatuh bersamaan dalam satu hari dengan Hari Raya Idul Fitri.
Nyepi yang berarti mati geni (tidak boleh menyalakan api, beremosi, harus mawas diri dan berkontemplasi) mengharuskan orang Bali senyap. Tidak satu pun orang boleh berkendaraan. Jalanan lengang. Tak ada yang boleh bekerja. Lampu listrik padam, bahkan malam hari Rumah Sakit pun diatur sedemikian rupa sehingga gelap. Tapi hal itu sama sekali tidak memberi batas umat muslim yang hampir ada di setiap kota di Bali merayakan kegembiraan dan kemenangannya di bulan Ramadan setelah berpuasa selama satu bulan. Dua hal yang berbeda itu, berlangsung berbareng dalam satu hari, tanpa mengurangi salah satunya. Aman dan damai.
Peristiwa itu menjadi penting, ketika sesudah reformasi muncul banyak bentrokan yang konon bersumber perbedaan agama di Indonesia. Ambon, Poso dan yang terakhir di Bekasi, Jakarta, misalnya. Ada tindakan kekerasan yang mengakibatkan perusakan keamanan di wilayah yang harus dibayar dengan korban jiwa. Apakah kemerdekaan yang semula diperjuangkan dengan cara meredam perbedaan agar dapat menjadi satu persatuan yang kuat dalam melepaskan diri dari sekapan kolonial, telah memicu perselisihan? Apakah kemerdekaan (khususnya sesudah reformasi) membuat orang membablaskan kepentingan pribadinya, tak peduli mengganggu kepentingan (kemerdekaan) warga lain?
Dalam kearifan lokal Bali ada yang disebut rwa bhineda. Dua hal berbeda yang selalu ada pada segala sesuatu.Masyarakat dibelajarkan sejak awal untuk menerima adanya yang berbeda dalam segala sesuatu. Kearifan ini adalah semacam pembelajaran untuk melihat perbedaan itu sebagai keragaman. Keragaman hanya masalah variasi nuansa. Dengan merujuk pada falsafah negara Pancasila yang oleh Bung Karno, pencetusnya, bisa dikristalisasikan menjadi eka sila yakni: gotong royong, hidup dalam keragaman bukanlah cacat tetapi justru kekuatan.

"Empu"

Arum Tresnaningtyas Dayuputri

Seorang menjadi empu bila ia mencapai taraf tertinggi dalam kemampuannya di sebuah bidang. Ia bagaikan cahaya bagi orang lain. Memberikan arah, tuntunan, teladan, serta inspirasi bagi mereka yang mengikuti jejaknya. Kebesarannya bukan karena dipujikan, bukan karena keadaan sekitarnya yang membuat ia menonjol, bukan juga karena rekayasa dan manipulasi, melainkan karena ia memang besar.
Kebesaran seorang empu tidak bisa diukur dengan angka. Tidak untuk ditakar dengan penjumlahan. Akan tetapi, dari pengaruh, dampak, kemanfaatan keberadaannya bagi lingkungan serta mereka yang disentuhnya dengan langsung ataupun tak langsung. Dari akibat-akibat kehadirannya yang menyebabkan terjadi perubahan, perkembangan bahkan mungkin saja pembalikkan bahkan penyimpangan pada nilai-nilai untuk mencapai tingkat yang lebih. Kebesaran seorang empu menciptakan nilai dan harmoni baru.
Oleh kebesarannya sekitarnya menjadi subur. Bertabur ion-ion segar yang mendaur ulang pikir rasa sehingga merangsang semangat bekerja dan mencipta. Empu adalah pupuk, perangsang, membuat kehidupan bergerak menemukan jawaban-jawaban yang selaras dengan tuntutan dan tantangan zaman. Seorang empu menjadi tiang utama dalam bidangnya.
Tetapi, empu adalah juga manusia biasa. Ia tidak bisa bebas dari apa yang menjadi kebutuhan manusia lain. Kebesarannya tak selalu diikuti dengan bonus yang pantas untuk semua jerih payah, perjuangan, pengorbanan, dan pengabdiannya. Sering kali ia tak mendapatkan apa yang seharusnya ia terima. Karena suntuk pada aktivitas-aktivitasnya yang khusus, ia abai mengurus hidupnya sendiri. Pada saat orang menikmati hari tua, banyak empu yang tak berdaya. Ia terpaksa harus membayar kebesarannya dengan ketidaksejahteraan.
Tak sedikit empu lumpuh pada usia senja. Raga keropos walau semangatnya mungkin masih berkobar. Atau jiwanya mulai lelah karena seperti kepalanya selalu keseruduk bukit batu yang bebal. Beban yang dipikulnya berlebihan. Ia sudah alpa mempersiapkan keamanan dan kenyamanan akhir hidupnya karena pengabdiannya pada kerja. Memang semua kebesarannya itu bermanfaat bagi banyak orang, bahkan juga negara, tetapi sering terhadap dirinya sendiri tidak. Dalam keadaan tak berdaya, banyak di antara empu yang kemudian diamdiam gugur, menghilang lalu terhapus bahkan sejarah lupa mencatatnya.
Sekali-sekali negara terkesima, mendusin oleh kilat cahaya, lantas teringat pada asetnya yang harus dipelihara. Bukan hanya minyak, gas bumi dan kekayaan alam lain yang bisa diukur dengan angka saja, yang harus dijaga, tetapi juga macan-macan tua yang sudah ompong. Lalu dibuat panitia resmi untuk memberikan santunan kesejahteraan kepada para empu. Meskipun sangat kecil, perhatian itu lumayan. Tapi baru lewat setengah tahun, santunan surut lalu menghilang. Banyak penyebabnya. Berjubel persoalan genting mendera. Syahdan, bantuan itu tak pernah jelas, memang dihentikan atau berbelok ke bakul lain yang rakus.
Para empu mungkin tidak peduli karena kebahagiaan batinnya sudah terpenuhi. Kehadiran karyanya yang berarti, sudah ia anggap cukup. Nyala di mata mereka yang memandangnya dengan kagum dan hormat adalah segala-galanya. Bukan materi yang menjadi tujuannya, melainkan arti. Bukan kenyamanan sendiri yang diburunya, tetapi kecukupan rasa orang banyak. Baginya mengabdi adalah haknya. Ia tak peduli jadi pecundang karena sudah menerima dirinya sebagai korban. Hidupnya adalah darma pada masyarakat dan kehidupan.

Friday, April 20, 2012

"Ramadan Multikultur, di Wajah Indonesia"

Warisan Indonesia/Hardy Mendrofa
Ramadan bagi masyarakat Indonesia—yang penduduknya mayoritas muslim—tidak sekadar ritual peribadatan, tetapi sekaligus karnaval kehidupan. Bukan saja kaum muslim yang sibuk menyiapkan diri, melainkan juga kalangan nonmuslim. Indonesia tidak monolitik. Kalau ada yang berupaya menghadapkan secara diametris dengan saudara sebangsa yang berbeda agama, tentulah itu upaya politik yang keji, karena realitas kultural kita memang beraneka.
DI Kampung Pekojan, kawasan pecinan kota Semarang, Jawa Tengah, hari-hari ini tampak berbeda dari biasanya. Kawasan padat yang menjadi pusat bisnis itu setidaknya dihuni empat etnis berbeda: Jawa, China, Arab, dan India.
Selama bulan Ramadan, seluruh penghuni kampung sibuk menyiapkan makanan khas berbuka puasa (takjil) bubur india yang disajikan di serambi Masjid Jami’ Pekojan, yang dibangun pada 1799 oleh H Muhammad Azhari Akwan itu.
Diungkapkan Ali Baharun, takmir Masjid Jami’ Pekojan, kerukunan antaretnis dan agama di wilayah itu sudah terjadi turun-temurun. Meskipun Masjid Jami’ berada di lokasi yang “unik”, tak pernah ada gangguan sedikit pun. Toleransi tinggi terus dipegang setiap warga di kawasan masjid itu. “Ketika ada kerusuhan antaretnis Jawa dan China pada 1981, di kawasan masjid ini tak pernah ada gesekan sedikit pun,” ungkap Baharun.
Ada pemandangan lain begitu masuk di pintu gerbang masjid. Di sana terdapat sejumlah makam tua yang nisannya masih terjaga. Setidaknya ada dua kompleks makam terpisah di areal dalam masjid. Makam tersebut adalah makam para keturunan pendiri masjid, imam masjid, ataupun takmir.
Salah satu makam, yang banyak diziarahi adalah makam Syarifah Fatimah, seorang perempuan keturunan Gujarat yang dimakamkan pada 1290. Konon, perempuan itu dulunya dikenal suka menolong sesama, hingga jalan kampung di sekitar masjid pun kemudian diberi nama Petolongan. – EP, Tim peliput: Don (Jakarta), Iyan DS (Semarang dan Solo), Wayan Sunarta

"Pencangkokan Nurani demi Kebangkitan"

Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)

Ada 12 naskah drama yang ditulis Bung Karno di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Semuanya pernah dipentaskan di sana. Jumlah itu tidak termasuk beberapa lakon yang ditulisnya di Bengkulu.
Lakon-lakon itu seakan lenyap di tengah kemasyhuran Bung Karno sebagai orator penggerak revolusi, pendiri, dan proklamator Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untunglah dalam rak rumah Bung Karno di Ende masih ada fotokopi “aslinya”. Dari para anggota teater Bung Karno di Ende diketahui kedua belas naskah drama yang ditulis Bung Karno di Ende berjudul: Kutkutbi, Rahasia Kelimutu, Aero Dinamit, Dokter Sjaitan, Anak Haram Jadah, Maha Iblis, Amoek, Sanghai Rumba, Gera Ende, Indonesia 1945, Rendo, dan Jula Gubi.
Setelah pembuangan di Ende (14 Januari 1934 sampai 18 Oktober 1938), BK dibuang kembali ke Bengkulu, juga selama empat tahun. Di sana ia menikahi Fatwamati (1943) yang memberinya lima orang anak, yaitu Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.
Selama di Bengkulu (1938-1942) BK juga membangun kelompok teater. Naskah-naskah yang dimainkan di Bengkulu sebagian berasal dari naskah Ende, tetapi ada juga naskah baru, antara lain Rainbow (Poetri Kentjana Boelan); Chungking-Djakarta, Si Kecil; Hantoe Goenoeng Boengkoek.
Seusia dengan Toneel Klub Kelimutu, ada kelompok tonil lain yang terkenal bernama Dardanella. Namun, naskah mereka tidak seperti naskah-naskah BK. Lakon Bung Karno dengan sangat sublim menyulut “gerakan pemberontakan”. Beberapa anggota Toneel Klub Kelimutu membenarkan bahwa BK selalu membangkitkan “semangat pembangkangan” terhadap Belanda.
Lakon Indonesia 1945 konon ditulis atas pesanan Tuan Natahan, orang Filipina yang memimpin sandiwara keliling. Drama itu berisi ramalan akan tiba saatnya bangsa Asia bangkit dan memberontak terhadap penjajah kulit putih. Kemudian Indonesia 1945 menjadi kenyataan: Indonesia merdeka pada tahun 1945 dan diproklamasikan oleh penulisnya sendiri.

"Bumi Tempat (Sikerei) Berpijak kaki"


Mentawai sudah banyak diincar wisatawan. Mempertahankan kehidupan tradisional untuk tujuan pariwisata.
Kabupaten Kepulauan Mentawai dikukuhkan tahun 1999 dengan ibu kota Tua Pejat, Sipora—sebuah kota pelabuhan. Uniknya, letak kantorkantor pemerintahan jauh dari pelabuhan. Lewat jalan berliku dan menanjak, kita bisa melihat deretan kantor departemen sepanjang puluhan kilometer. Apakah pemerintah sebetulnya juga percaya pada ajaran nenek moyang orang Mentawai bahwa sebaiknya tidak membangun permukiman di dekat pantai?
Menurut salah satu cerita rakyat, Mentawai berawal dari dua perahu besar yang pergi meninggalkan Padang menuju arah barat. Di tengah perjalanan, kedua perahu tersebut berpisah. Sebelum berpisah, sebagai tanda pengenal bila bertemu kembali, mereka mematahkan kulit kerang dan batu gosok menjadi dua. Separuh bagian disimpan oleh setiap nakhoda.
Setelah lama mengembara, kedua perahu besar tersebut bertemu kembali, tetapi malah bertempur. Untunglah semua terselamatkan berkat kecocokan potongan kulit kerang dan batu gosok tersebut. Satu perahu kembali ke Padang, sementara yang lain tetap bertolak menuju Pulau Siberut, yang akhirnya menjadi nenek moyang penduduk Mentawai.
Versi lain menceritakan tentang Ama Tawe, seorang lakilaki dari Nias yang sedang mencari ikan di laut. Badai yang tiba-tiba menghantam, membuat pria itu terdampar di muara Simatalu. Di situ ia menjumpai banyak pohon sagu dan keladi, yang menjanjikan lokasi subur. Maka dibuatnyalah perahu besar untuk menjemput istri dan anak-anaknya hingga akhirnya terciptalah nama Mentawai.
Kisah yang kedua itu mendapat banyak dukungan karena dalam bahasa Mentawai memang terdapat banyak persamaan dengan bahasa Nias. Contohnya, ‘kucing’ dalam bahasa Nias dan Mentawai sama-sama disebut ‘mao’. Dalam penyebutan bilangan 1-10, hanya angka 9 yang berbeda. Selain itu, ditemukan pula seni tato di sebelah selatan Pulau Nias.
Pada akhirnya, hipotesis ini terbantahkan karena berbeda dengan Nias, masyarakat adat Mentawai tidak pernah memasuki zaman logam. Soal kemiripan bahasa, hal itu wajar karena berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu Yunan di Selatan Cina.