Masyarakat sekitar menyebut kompleks candi itu Gedongsongo. Dalam bahasa Jawa, ‘gedong’ berarti rumah atau bangunan, sedangkan ‘songo’ berarti sembilan. Secara harfiah, Gedongsongo berarti ‘sembilan bangunan’. Meskipun pengunjung hanya menyaksikan lima kompleks bangunan, masyarakat yakin bahwa awalnya kawasan ini memiliki sembilan kompleks bangunan candi.
Bangunan candi itu berderet dari bawah ke puncak perbukitan Ungaran. Baik warga maupun para arkeolog Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah mempunyai beberapa tafsiran terhadap maksud peletakan bangunan itu. Tafsiran pertama menganggapnya sebagai simbol hierarki kesucian. Artinya, candi yang di atas lebih suci dari candi yang di bawah. Tafsiran kedua mengatakan, deretan ini menunjukkan sebuah prosesi keagamaan yang berjalan dari candi terbawah hingga ke atas.
Adapun tafsiran ketiga menganggapnya sebagai gambaran dari sembilan lubang yang terdapat pada tubuh manusia, yaitu sepasang (dua) mata, sepasang (dua) telinga, dua lubang hidung, mulut, kemaluan, dan anus. Banyak anggota masyarakat berkeyakinan bahwa empat bagian kompleks candi yang tak terlihat itu mengalami proses moksa (menghilang secara gaib). Sampai kini keyakinan itu tertanam kuat dalam benak masyarakat. Mbah Sapto, seorang budayawan setempat, dan rekannya, Ki Suro Menggolo, adalah sebagian di antara orang-orang yang menjunjung keyakinan itu. Menurut mereka, candi paling bawah yang mengawali rangkaian itu adalah lubang kemaluan, lalu berderet ke atas. “Sehingga bisa diilustrasikan, candi-candi ini tegak berdiri menggambarkan sembilan lubang pada [tubuh] manusia secara utuh,” tutur mereka.
Artikel nya sangat bermanfaat bagi masyarakat luas, Rare Angon Nak Bali Belog sebagai orang beragama Hindu sangat bangga dan berterima kasih sekali atas artikel ini, sukses selalu
ReplyDelete