Sepuluh tahun setelah tsunami, seorang anak masih terus menangis.
Tangisnya begitu mengiris sehingga Baginda Raja resah. Soalnya, anak
itu menjadi berita.
Wajah anak itu muncul di koran dan dan televisi. Ia membawa citra
yang buruk bagi kerajaan. Akhirnya, raja, setelah dikerubut oleh para
pembisiknya, berkenan berkunjung untuk bertanya dan mewanti-wanti,
kalau perlu mengancam.
Apa pula yang sudah bikin kamu terus menangis? Rumahmu yang hancur
sudah dibangun kembali dengan sumbangan luar negeri. Kamu diberi modal
dan hasilnya sudah konkret. Sekarang bapakmu punya toko dan mobil.
Kalau tidak ada tsunami pasti kamu masih tinggal di gubuk tua dan ke
mana-mana jalan kaki. Ayo berhenti menangis! Masih banyak persoalan
kerajaan yang butuh diselesaikan. Kamu tidak boleh egois! Ini sengsara
yang membawa nikmat. Ketawa!
Tapi tangis anak itu makin keras. Bukan hanya menangis, sekarang dia
mulai meraung-raung. Suaranya begitu mengerikan. Seakan-akan dia sudah
dirajam.
Akibatnya, para wartawan dari dalam dan terutama dari luar negeri
berhamburan datang. Jeprat-jepret. Heboh, gambar anak itu kontan
terpampang, lebih provokatif di halaman depan berbagai media massa,
baik di dalam maupun di luar negeri.
Sang Raja mulai kehilangan kesabaran. Buru-buru beliau menyiapkan
lagi kunjungan. Kali ini, ia membawa segepok uang tunai plus
barang-barang mewah untuk membuktikan bahwa kesejahteraan kerajaan
sebenarnya sudah lebih pulih dari sebelum tsunami.
Untung Ibu Suri ngeh, lalu dengan cepat mencegah. Sudahlah Anaknda
Baginda Raja, biar ibunda yang datang ke situ, jangan Paduka. Baginda
di istana saja, urusan korupsi makin menjadi, bereskan para pejabat
yang suka menjilat dan berhentilah anaknda Raja berpikir. Sekarang yang
diperlukan tindakan cepat.
No comments:
Post a Comment
terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat