Museum Taman Prasasti membuat kita berdecak kagum. Ada
keindahan batu nisan yang bertutur tentang hunian terakhir sebuah
peradaban masa lampau. Ada ratusan cerita tersembunyi di balik
bongkahan-bongkahan bangunan kuno yang memaksa kita selalu mengingat
sejarah.
Pada abad ke-18, pemerintah kolonial Hindia Belanda mendirikan banyak
bangunan dengan gaya arsitektur yang menggambarkan keindahan serta
kekokohan sistem pertahanan. Kawasan itu lantas dijuluki “Ratu dari
Timur” atau dalam bahasa Belandanya ‘Koningin van het Oosten’. Setiap gedung didirikan untuk memenuhi kebutuhan para kaum penjajah yang memiliki gaya hidup berbeda dengan lingkungan sekitarnya.
Pemakaman merupakan salah satu kebutuhan penting yang harus
disediakan. Dalam tradisi Eropa, jasad orang meninggal biasanya
dimakamkan dalam tanah, tidak diperabukan seperti Golongan Tionghoa yang
juga tinggal di kawasan itu. Kemungkinan karena pertimbangan keamanan,
kuburan orangorang Belanda (Graf der Hollanders) juga dibangun di dekat kawasan pertahanan bukan di tempat lain yang berjauhan.
Mula-mula ada tempat pemakaman khusus, de Oude Nieuwe Hollandsche Kerk, di
areal gereja tua yang kini jadi Museum Wayang. Namun, pada akhir abad
ke-18 kuburan ini penuh sehingga pemakaman harus dipindahkan ke luar
kota pertahanan Batavia. Tempat ini disebut Kerkhof Laan atau Kebon Jahe Kober. Mereka yang meninggal harus diangkut dengan sampan menuju tempat ini.
Prosesinya kira-kira sebagai berikut. Bila ada warga Belanda yang
meninggal, jenazahnya dibawa ke rumah sakit yang kini telah berubah
menjadi Museum Bank Indonesia di kawasan Beos, Jakarta Kota. Pihak rumah
sakit menyediakan perahu untuk jenazah yang didayung sepanjang Kali
Krukut. Perahu-perahu sewaan juga ikut mengiring di belakang, biasanya
mengangkut para pelayat yang terdiri dari keluarga dan kerabat lainnya.
Iring-iringan perahu jenazah tersebut berhenti di Jalan Abdul Muis
persis di belakang Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika.
sekarang ini. Peti jenazah kemudian diangkat dari atas sampan dan
dipindahkan ke sebuah kereta yang ditarik kuda. Jumlah kuda yang
menarik kereta itu ditentukan oleh tingkat kemakmurannya. Semakin makmur
orang yang meninggal, semakin banyak pula jumlah kuda penariknya. Pada
saat pemindahan dilakukan, lonceng di pemakaman berbunyi sekali. Ini
adalah perintah kepada pengurus pemakaman untuk bersiap-siap.
Selanjutnya, lonceng itu terus berbunyi sampai iringan jenazah tiba di
gerbang pemakaman yang mengambil corak arsitek Doria itu.
Luas Jalan Kubur, atau Kerkhof Laan, mencapai 5,9 hektar.
Semenjak dibuka pada 1795, orang-orang yang punya kedudukan tinggi dan
terkenal semasa hidupnya dimakamkan oleh keluarga dan kerabatnya di
sini. Mereka umumnya beragama Nasrani, baik Katolik maupun Protestan.
Pemerintah daerah Jakarta menutupnya pada 1975. Sebagian lahannya
diambil untuk gedung-gedung pemerintah. Kerangka jenazah yang telah lama
dikubur dipindahkan ke tempat lain. Sebagian ke kompleks pekuburan
Menteng Pulo, sejumlah besar lainnya dibawa pulang ke negeri asal
mereka. Gubernur Jakarta Ali Sadikin lalu memerintahkan aparatnya untuk
mengubah sisa area Kebon Jahe Kober menjadi Museum Taman Prasasti dan
meresmikan pada 9 Juli 1977.
No comments:
Post a Comment
terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat