Komunitas Air Gunung hadir di tengah kelompok pelukis
kampung yang bekerja tanpa konsep. Berkat kegigihan pencetusnya,
sebagian anggota komunitas sukses dengan karyanya. Kini hidup mereka
terus mengalir mengikuti gerak zaman.
Suatu ketika, Agus Wuryanto, SN., seorang fotografer profesional,
memerhatikan karya-karya pelukis di kampung kelahirannya, Wonosobo, Jawa
Tengah, tampak sama. Semua membuat gambar pemandangan, sawah, gunung,
alam pedesaan. Seragam dan tak ada yang istimewa.
Saat mencoba berkomunikasi dengan para pelukis tersebut yang ia
dengarkan adalah keluhan tentang hidup mereka yang serba susah. Paling
tinggi, sebuah karya dibeli orang dengan harga Rp500.000. Sebagai
lulusan seni murni Institut Seni Indonesia, hatinya tergelitik sekaligus
prihatin dengan kondisi tersebut.
Berbekal ilmu selama masa kuliah dan pengalaman panjangnya memainkan
kuas di atas kanvas, ia kumpulkan para pelukis itu dalam sebuah wadah,
yang kemudian dinamakan Komunitas Air Gunung. Ia memulai urusan itu saat
tak lagi mengemban tugas pelaksana pemotretan di lapangan, maklum
kiprahnya di dunia fotografi memang cukup mendalam. Ia adalah Ketua
Pencinta Fotografi Wonosobo. Dengan demikian, konsentrasinya bisa lebih
fokus.
Sejak tahun 2006, dengan telaten ia memberikan pelatihan kepada
anggota komunitas. “Teknik penggemblengannya seperti home schooling.
Artinya, tercipta interaksi yang lebih intim. Setiap ingin membuat satu
karya, ide si pelukis didiskusikan sampai menemukan konsep yang
menarik,” ungkapnya.
Bagi penggiat seni di Wonosobo ini, ada tiga hal utama yang harus
dimiliki seseorang pelukis anggotanya agar dapat mencapai hasil
maksimal. Pertama, harus ada kepedulian, baik dari pengajar maupun murid
yang ia bimbing. Kedua, harus ada keterlibatan emosional antarpersonal.
Dan ketiga, harus ada kepercayaan.Akhirnya dengan bentuk pertemanan,
diharapkan tercipta ikatan yang kuat, saling memahami.
No comments:
Post a Comment
terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat