Laman

to night

Aku adalah binatang jalang yang menghembuskan angin kedinginan. apa pun bisa kita lakukan, biarkan Hayal mu melambung tinggi menikmati sensasi lambda sehingga hayalmu menembus batas, bangun ketika kau mulai lelah akan semua, bakarlah dinding-dinding yang membuatmu tidak mempunyai waktu untuk membuka sensasi Lamda. masih ingatkah kita pernah bercerita tentang puncuk-puncuk lambda di ketinggian 200Hez aku telah menemukan seluk beluk lambda. Mari bersama menembus batas normal, yang akan membuka tabir mimpi menjadi kenyataan. aku lambda yang membagunkan dengan Argumentum ad populum, wujud nyata, ilusi, melayang maya membuka tabir biru menjadi sir Lamda






Tuesday, December 11, 2012

*1Markas Mumi Penjaga Tradisi1*

Sudah sejak 1.700 tahun lalu masyarakat Toraja memiliki cara unik memakamkan jenazah, yakni dengan meletakkan begitu saja di tebing atau gua marmer. Lewat doa kepada Deata dalam kepercayaan Aluk Todolo, jenazah itu tidak berbau meski tanpa pembalseman.
Meskipun dinaungi rimbun pepohonan dan hawa dingin pegunungan, tidak membuat kompleks makam tua di Toraja ini angker, apalagi mistis. Padahal, tulang-belulang manusia berserak di sanasini. Kete Kesu’ begitulah orang Toraja menyebut situs pekuburan di Kecamatan Kesu’, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, ini.
Menurut sejarah kuno Toraja, situs ini sudah dijadikan pekuburan sejak ribuan tahun lalu. Diprediksi demikian karena begitu sampai di tengah situs, kita akan menemui tulang-belulang berserakan di tangga menuju gua. Menurut Arkeolog Toraja Marla Tandirerung, fosil itu merupakan tulang bangsawan hingga budak yang hidup di sejumlah tongkonan di Wilayah Adat Kesu’.
Dahulu, Suku Toraja tidak mengubur jenazah orang yang meninggal, tetapi ditaruh saja di sekitar gua. Alasannya, selain peradaban manusia belum berkembang, mereka senantiasa bisa tetap menjaga peninggalan leluhur yang turut dibawa ke kuburan. Di Kete Kesu’, tidak hanya bangsawan yang menjadikan situs itu sebagai kuburan, tetapi orang biasa yang bekerja pada bangsawan itu juga dimakamkan.
Ketua Adat Wilayah Kesu’ Layuk Sarongallo juga bercerita demikian. Seraya mendongengkan kehidupan leluhur Toraja, Kete Kesu’ merupakan areal pemakaman gunung batu yang terbentuk alami. Masyarakat primitif tidak lagi memerlukan peralatan untuk menyimpan jenazah dan memanfaatkan gua-gua alam sebagai tempat peristirahatan terakhir keluarga mereka.
Hal tersebut diperkirakan terjadi sejak 1.700 tahun yang lalu. Mayat ditempatkan di gua-gua hanya ditutupi kulit kayu yang sudah diketam untuk sekujur badan. Namun, anehnya, tidak sedikit pun bau bangkai menyengat hidung. Layuk menjelaskan, ajaran Aluk Todolo yang dianut Suku Toraja memang berdoa kepada Deata agar bau-bau tersebut dihilangkan dari tanah mereka tinggal. Alasan lain yang bisa terlihat dari hilangnya bau busuk di pekuburan ini, yaitu gunung yang terbentuk dari marmer tersebut mengalirkan hawa dingin sehingga mayat seperti dimasukkan ke dalam pendingin. Karena itu, sekarang Toraja dikenal memiliki banyak mumi. Dalam areal Kete Kesu’, ada tiga tipe kuburan atau liang dalam bahasa Toraja, antara lain ditempatkan di gua dan tebing, lalu diukirlah kayu menjadi erong, dan yang paling baru adalah patane (kuburan modern).

No comments:

Post a Comment

terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat