Nama
Raden Ngabehi Ronggowarsito memang sudah tidak asing lagi. Dia adalah
seorang pejangga keraton Solo yang hidup pada 1802-1873. Tepatnya lahir
hari Senin Legi 15 Maret 1802, dan wafat 15 Desember 1873, pada hari
Rabu Pon. Pujangga yang dibesarkan di lingkungan kraton Surakarta ini
namanya terkenal karena dialah yang menggubah Jangka Jayabaya yang
tersohor hingga ke mancanegara itu. Hingga sekarang kitab ramalan ini
masih menimbulkan kontroversi.
R. Ng. Ronggowarsito adalah bangsawan keturunan Pajang, dengan silsilah sebagai berikut :
- P. Hadiwijoyo (Joko Tingkir)
- P. Benowo, putera Emas (Panembahan Radin)
- P. Haryo Wiromenggolo (Kajoran)
- P. Adipati Wiromenggolo (Cengkalsewu)
- P.A. Danuupoyo, KRT Padmonegoro (Bupati Pekalongan)
R. Ng.Yosodipuro alias Bagus Burham adalah R.Ng.Ronggowarsito yang
kita kenal. Semasa kecil hingga remaja dia memang lebih dikenal dengan
nama Bagus Burhan, dan pernah menuntut ilmu di Pesantren Tegalsari atau
Gebang Tinatar, seperti yang sekilas telah dipaparkan dalam Jelajah
Misteri No.0450 lalu.
Dari jalur ibundanya, R.Ng.Ronggowarsito merupakan seorang bangsawan berdarah Demak, dengan silsilah sebagai berikut:
- R. Trenggono (Sultan Demak ke III)
- R.A. Mangkurat
- R.T. Sujonoputero (Pujangga keraton Pajang)
- K.A. Wongsotruno
- K.A. Noyomenggolo (Demang Palar)
- R. Ng. Surodirjo I
- R.Ng. Ronggowarsito/Bagus Burham.
Karena ayahandanya wafat sewaktu sang pujangga belum cukup dewasa,
Bagus Burhan kemudian ikut dengan kakeknya, yaitu R. Tumenggung
Sastronegoro, yang juga seorang bangsawan keraton Solo.
Dikisahkan, pada saat dirawat oleh kakeknya inilah Bagus Burhan hidup
dengan penuh kemanjaan, sehingga bakatnya sebagai seorang pujangga sama
sekali belum terlihat. Bahkan, kesukaannya di masa muda adalah sering
menyabung jago, dan bertaruh uang. Bermacam-macam kesukaan yang
menghambur-hamburkan uang seakan menjadi cirri khasnya kala itu.
Namun demikian sang kakek, R. Tumenggung Sastronegoro, telah
meramalkan kalau nanti cucu kinasihnya ini akan menjadi seorang pembesar
setaraf dengan kakek buyutnya. Untuk mewujudkan ramalannya ini, sang
kakek kemudian menitipkan Bagus Burhan ke Kyai Imam Bestari pemilik
pondok pesantren Gebang Tinatar di Tegalsari, Ponorogo.
Pada saat di pesantren, kebengalan Bagus Burhan semakin menjadi. Hal
ini membuat Kyai Imam Bestari kewalahan. Kesukaannya bertaruh dan
berjudi sabung ayam tidak kunjung luntur. Karena kebiasaan buruknya ini,
maka sering kali bekal yang dibawanya dari Solo habis tak karuan di
arena judi sabung ayam.
Karena kenakalannya, setelah setahun berguru, tak ada kemajuan sama
sekali. Oleh karena itulah Kyai Imam Bestari memintanya agar pulang ke
Solo. Sang Kyai merasa tak sanggup untuk mengajarnya ilmu-ilmu
keagamaan.
Wibawa Kyai Imam Bestari membuat Bagus Burhan tak kuasa untuk menolak
titahnya. Namun, dia menghadapi dilema. Kalau dirinya pulang ke Solo,
kakeknya pasti akan marah besar.
Karena takut pada murka kakeknya inilah, maka bersama dengan Ki
Tanujoyo pamomongnya, Bagus Burhan memutuskan untuk tidak pulang ke
Solo. Dia memilih berguru ke Kediri.
Dikisahkan, dalam perjalanan menuju Kediri, Bagus Burhan dan Ki
Tanujoyo tersesat di sebuah hutan. Karena hingga tiga hari tiga malam
tak menjumpai rumah penduduk, maka selama itu pula mereka tak makan dan
tak minum. Karena kelaparan, Bagus Buhan yang biasa hidup enak dan serba
kecukupan akhirnya pingsan.
Sementa itu, di tempat lain, yakni di padepokan Kyai Imam Bestari,
sang Kyai memperoleh wangsit yang memberikan pertanda bahwa Ponorogo
akan dilanda kelaparan. Dalam wangsit itu dikatakan bahwa bencana
kelaparan ini akan tertolong bila Bagus Burhan yang telah pergi jauh itu
mau diajak kembali ke Ponorogo.
Demi mendapatkan isyaroh ini, sebagai seorang linuwih, Kyai Imam
Bestari langsung mengirim utusan untuk menjemput kembali bocah Bengal
itu ke Solo. Celakanya, menurut laporan yang diperoleh, para utusan itu
tidak mendapatkan Bagus Burhan di Solo. Bahkan, anak itu belum juga
sampai ke rumah kakeknya.
Setelah mendapatkan laporan itu, Kyai Imam Bestari bermunajat kepada
Allah untuk meminta petunjukNya. Singkat cerita, Bagus Burhan memang
berhasil diketemukan. Bocah ini pun tidak menolak ketika diajak kembali
ke padepokan, karena ini memang harapannya agar tidak mendapatkan murka
dari sang kakek.
Saat menetap kembali di pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari,
Ponorogo. Perilaku Bagus Burhan ternyata tak kunjung berubah. Tetap suka
berboros-boros dengan bertaruh dan berjudi sabung ayam. Hal ini sangat
mengecewakan Kyai Imam Bestari. Karena tak tak tahan melihat kelakukan
santrinya, maka suatu hari sang Kyai memarahi Bagus Burhan dengan
kata-kata yang sangat menusuk perasaan si anak muda.
Mendapatkan kemarahan hebat dari Kyai Imam Bestari, Bagus Burhan
berniat segera hengkang dari pesantren. Untunglah, dalam kondisi seperti
iini Ki Tanujoyo segera mengambil peranan. Dia berusaha tampil menolong
keadaan, dengan cara membesarkan hati Raden Bagus Burhan.
“Raden ini bukan keturunan orang kebanyakan. Leluhur Raden adalah
bangsawan keraton yang hebat. Untuk diketahui, itu semua bukan dicapai
dengan hidup enak-enak. Akan tetapi, dicapai dengan cara laku prihatin,
tirakat, mesu budi dan patiraga. Apakah Raden tidak ingin seperti
mereka?””
Mendengar perkataan Ki Tanujoyo seperti itu, akhirnya
bangkitlah semangat Raden Bagus. Dia pun mencoba tetap bertahan di
pesantren Gebang Tinatar di Tegalsari, Ponorogo. Sampai suatu ketika,
dirinya minta diantar ke kali Kedhung Batu untuk menjalani tirakat,
sebagaimana yang pernah ditempuh oleh para leluhurnya.
Berkat kekerasan hati dan ketekunannya, maka setelah menjalani
tirakat selama 40 hari 40 malam di kedung Watu, tanpa makan dan minum,
kecuali sesisir pisang setiap harinya, akhirnya ada hasil yang dia
peroleh. Dari tirakatnya ini Raden Bgus memperoleh wisik, yakni ditemui
eyang buyutnya, R.Ng.Yosodipuro I. Dia diminta menengadahkan telinganya,
dan gaib sang kakek buyutnya kemudian masuk kedalamnya.
Ada kisah lain yang tak kalah aneh. Konon, Ki Tanujoyo yang
menemaninya dipinggir kali, sewaktu menyiapkan nasi untuk buka saat
tirakat menginjak hari kw 40, orang tua ini melihat ada sinar masuk ke
dalam kendilnya, yang ternyata berupa ikan untuk lauk sang Bagus berbuka
puasa.
Semenjak usai menjalani tirakat ini, pribadi Raden Bagus Burhan pun
berubah 180 derajat. Kebengalannya berubah menjadi sikap yang sangat
patuh. Tak hanya itu, kalau pada awalnya dia santri yang bebal, akhirnya
berubah menjadi santri yang cepat menerima pelajaran yang diberikan
oleh Kyai Imam Bestari. Dia juga memiliki kelebihan dalam hal mengaji
dan berdakwah, sehingga jauh lebih menonjol dibandingkan santri-santri
lainnya. Karena kecerdasannya ini, Bagus Burhan memperoleh sebutan baru
dari Kyai Imam Bestari, yakni Mas Ilham.
Misteri Kematian Sang Pujangga
Pada akhir sekitar rentang 1979, kematian R.Ng. Ronggowarsito alias
Bagus Burham memang sempat menjadi bahan polemik. Pokok pangkal polemik
tersebut adalah sekitar kematian Ronggowarsito yang telah diketahui
sebelumnya oleh dirinya sendiri. Ya, delapan hari sebelum ajal
menjemputnya sang pujangga telah menulis berita kematian tersebit dalam
Serat Sabda Jati. Demikian cuplikannya dalam susunan kalimat asli:
“Amung kurang wolu ari kadulu, tamating pati patitis. Wus katon neng
lobil makpul, antarane luhur, selaning tahun Jumakir, toluhu madyaning
janggur. Sengara winduning pati, netepi ngumpul sakenggon.”
Artinya kurang lebih bahwa dirinya akan meninggal pada tanggal 5
Dulkaidah 1802 atau tanggal 24 Desember 1873 pada hari Rabu Pon.
Tulisan tersebut memang sempat melahirkan kontroversi berkepanjangan.
Ada yang menilai bahwa Ronggowarsito meninggal bukan secara alami,
akan tetapi dibunuh atas perintah persekongkolan Raja Paku Buwono IX
yang mendapat desakan Belanda. Ketika itu Belanda merasa resah karena
melihat kelebihan dan kemampuannya. Karena itulah Belanda berkepentingan
menghabisinya. Apalagi, ayahanda Ronggowarsito ternyata juga telah
diculik Belanda hingga akhirnya tutup usia di Jakarta.
Keinginan Belanda itub rupanya sejalan dengan Paku Buwono IX. Sang
raja juha merasakan adanya sesuatu yang kurang berkenan dengan sepak
terjang Ronggowarsito yang ketika itu namanya sangat terkenal mengingat
karya-karyanya. Maka kuat dugaan, konspirasi menyikirkan Ronggowarsito
akhirnya berjalan sempurna.
Apakah keraguan ini benar? Memang, sampai sekarang hal tersebut tetap
menjadi misteri. Di satu pihak menganggap bahwa dengan kelinuwihannya
Ronggowarsito memang mampu mengetahui saat-saat kematiannya, meski
kematian adalah rahasia Tuhan. Namun di pihak lain menduga bahwa tidak
menutup kemungkinan ada tangan-tangan lain yang merekayasa kematian
tersebut, sekaliggus merekayasa kalimat ramalan pada Serat Sabda Jati
sebagaimana dinukuli di atas.
Memang, banyak kalangan ahli yang beranggapan, bahwa bait-bait
sebagaimana kami nukilkan itu merupakan tambahan dari orang lain. Hal
ini jika mengingat dari sekitar 50 buku tulisan karya Ronggowarsito
tidak terlalu nyata, mana tulisan murni karyanya, dan mana yang ditulis
bersama-sama dengan orang lain, maupun yang merupakan terjemahan. Hal
ini mudah dimaklumi, mengingat pada waktu itu belum ada perlindungan hak
cipta. Apalagi sewaktu Ronggowarsito bertugas di keraton Solo kerajaan
dalam kondisi tidak menentu, terpengaruh dengan perseteruan keluarga
raja dan campur tangan kaum penjajah Belanda yang ingin mengail d iair
keruh. Bagaimana yang sebenarnya, hanya Tuhan yang Maha Tahu.
Sumur Tua Bernuansa Mistis
Beberapa waktu yang lalu Misteri berziarah ke makam pujangga agung
Tanah Jawa ini. Yang menarik, di bagian utara komplek makam, terdapat
sebuah sumur tua, yang konon sudah ada sejak pertama kali makam tersebut
dibangun.
Mungkin karena ketuaannya, Misteri memang merasakan kalau sumur ini
telah dipengaruhui oleh khodam sang pujangga yang memiliki daya linuwih
tersebut. Kekuatan khodam ini terasa sangat dominant.
Memang, menurut kepercayaan sumur ini menyimpan karomah untuk
memperoleh atau meramalkan gambaran jati diri seseorang. Caranya adalah
dengan prosesi ritual tertentu, yakni dengan memasukkan uang gobang kuno
ke dalam sumur yang saat penghujan hanya berkedalaman sekitar satu
setengah meter dari permukaan tanah tersebut.
Menurut tutur, orang yang melakukan ritual akan memperoleh gambaran
yang dapat terlihat, yang melambangkan nasib atau peruntungannya.
Contohnya, jika terlihat gambaran payung, maka diyakini akan memperoleh
jabatan tinggi. Contoh lainnya, bila si pelaku ritual melihat gambaran
buku, maka diyakini dia akan menjadi penulis atau pengarang terkenal
yang buku-bukunya laris.
Masih banyak gambaran lain yang bisa diperoleh peziarah, yang tentu saja untuk membacanya kita perlu minta petunjuk juru kunci.
“Sumur ini ada yang menyebutnya Sumur Tiban. Menurut penerawangan,
sumur itu ditunggu oleh sejenis jin yang berwujud seorang puteri.Namanya
Sekar Lara Gadung Melati,” demikian tutur Bu Bambang, 55 tahun, isteri
juru kunci yang sering diminta tolong mengantarkan tamu, apabila
suaminya tidak sedangg ada di tempuh karena keperluan yang tak dapat
ditinggalkan.
Ketika Misteri berkunjung ke tempat ini, maih terlihat batang-batang
hio bekas para peziarah. Juga terlihat di sana sini tersebar kembang
dari para peziarah yang belum sempat dibersihkan.
“Hampir setiap hari ada tamu yang ritual di sini. Tetapi yang paling banyak di hari Kamis malam Jum’at Kliwon,” tambahnya pula.
Kompleks makam Ronggowarsito ini dibangun hingga mencapai bentuknya
yang sekarang sekitar 1955 oleh Dinas P & K kala ini. Yang terasa
unik, di luar cungkup pujangga terlihat makam Carel Prederick Winters
(1799-1859), berikut isterinya, Jacoma Hendrika Logeman (1828). Maka ini
memang dipindahkan dari makam Kerkop di Jebres Solo sekitar 1985.
Tak jauh dari maka sang pujangga juga ada makam Bagus Tlogo dan Bagus
Gumyur. Mereka disebut sebagai cikal bakal makam, yang merupakan pemuda
kembar yang hingga kini masih masih paling diangap wingit.
Sementara itu, terlepas dari mana yang benar tentang peristiwa
wafatnya sang pujangga, tulisan-tulisan karyanya telah memberikan andil
dalam kesusteraan kita. Khususnya sastrawan bahasa Jawa. Tanpa
Ronggowarsito, mungkin terlampau sedikit kajian sastra-sastra Jawa yang
dapat dimanfaatkan.
Ramalan Jangka Jayabaya, misalnya, sangat besar andilnya bagi
masyarakat Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Terlebih, apabila
kondisi bangsa sedang terpuruk, biasanya ada secercah harapan, bahwa di
suatu saat nanti cobaan akan berakhir setelah munculnya seorang
pemimpin sejati, yang disenangi rakyat, yaitu Satrio Piningit atau Ratu
Adil, yang akan mengentaskan kita dari keterpurukan keadaan.
Sebagai contoh, pada zaman pemberontakan Dipenogoro (1825-1830),
pengikut sang pangeran mengira bahwa beliaulah Ratu adil yang
ditunggu-tunggu, yang akan mampu melepaskan mereka dari derita akibat
ulah penjajah Belanda. Demikian pula ketika Jepang mencengkramkan
kuku-kuku penjajahannya di Indonesia.
Demikian juga ketika negara kita dilanda oleh krisis multi dimensi,
harga-harga mahal, kesulitan hidup mencekik leher seperti sekarang ini.
Dengan adanya wacana akan datangnya sang Ratu Adil, maka rakyat tetap
memiliki rasa optimis. Setidaknya, mereka masih punya harapan bahwa di
suatu waktu nanti keadaan ini akan berakhir, dan kejayaan bangsa akan
pulih, bahkan melebihi kejayaan masa lampau.
Kapan itu? Kita sama-sama menunggu. “Bayang-bayang hanya setinggi
badan.” Demikian kata pepatah., yang artinya cobaan dari Tuhan sebatas
kita mampu menanggungnya. Mungkin, kita memang masih harus bersabar!
No comments:
Post a Comment
terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat