Lebih kurang 10.000 orang prajurit dipersiapkan. Pangeran Benowo naik
kuda di belakang ayahnya yang duduk di atas gajah. Di Prambanan mereka
berhenti dan memperkuat pertahanan dengan meriam.
Kyai Adipati Mandaraka (Juru Mertani), yang melihat akan terjadinya
pertempuran besar, mendesak Senopati agar pergi ke Gua Langse (Gua Rara
Kidul) sedangkan ia sendiri akan ke Gunung Merapi untuk meminta bantuan.
Setelah kembali dari Gua Langse Senopati mengumpulkan 1.000 orang
prajurit, dan 300 orang di antaranya ditempatkan di sebelah selatan
Prambanan. Mereka mendapat perintah, begitu terdengar suara letusan
keluar dari Gunung Merapi, harus segera memukul canang Kyai Bicak dan
berteriak-teriak. Sebagai panglima diangkat Tumenggung Mayang.
Pertempuran terjadi di dua tempat. Pasukan Mataram pura-pura
melarikan diri. Tetapi orang-orang Pajang yang mengejarnya tiba-tiba
diserang oleh pasukan Matram dari dua arah dan dicerai-beraikan. Gelap
malam menghentikan pertempuran itu. Kedua belah pihak kembali ke kubu
pertahanan masing-masing.
Hari itu pukul tujuh pagi, Gunung Merapi meletus di tengah-tengah
kegelapan. Hujan lebat, hujan debu, gempa bumi, banjir dan gejala alam
lain yang menyeramkan. Orang-orang Mataram memukul Canang Kyai Bicak.
Banjir menggenangi kubu panjang yang memaksa mereka melarikan diri dalam
kebingungan. Sultan terseret dalam kekacauan itu.
Selanjutnya diceritakan dalam Serat Babad Tanah Jawi. Sultan, dalam
hal ini Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, yang malang dan terpaksa
melarikan diri itu ingin berdoa di makam Tembayat, tetapi pintu makam
tidak dapat dibuka. Raja tidak mampu membukanya sehingga ia berlutut
saja di luar. Juru kunci memberikan penjelasan yang sangat buruk tentang
kejadian itu. Rupanya Allah tidak lagi memberinya izin menjadi raja.
Hal ini amat mengguncangkan jiwa sang raja. Pada malam hari ia tidur
dalam bale kencur yang dikelilingi air, yang sangat menyegarkan.
Esok harinya perjalanan dilanjutkan, tetapi raja terjatuh dari
gajahnya dan menjadi sakit karenanya. Setelah itu ia dinaikkan di atas
tandu, begitulah perjalanan pulang ke Pajang amat lambat dan raja duduk
terguncang-guncang di atas tandu.
Pangeran Benowo, Pangeran Pengiri, Tumenggung Wirakerti dan Suratanu
yang menolong raja saat jatuh dari gajah, segera mengetahui, mengapa
Sultan tidak bisa lagi mengendalikan gajah yang tiba-tiba menjadi galak,
karena tidak lagi adanya ikat pinggang azimat dari Kyai Buyut Banyubiru
di pinggangnya. Suratanu ingat, Sultan melepaskan ikat pinggang itu
dari tubuhnya dan meletakkan di sampingnya saat berdoa di depan makam
Sunan Tembayat. Suratanu meyakini ikat pinggang itu pasti lupa terbawa
oleh Sultan dan masih tertinggal di depan pintu makam di Tembayat.
Dengan cepat Suratanu menggebrak kudanya kembali ke makam Sunan
Tambayat. Tapi ikat pinggang itu sudah tidak ada di tempatnya. Menurut
juru kunci, hilangnya ikat pinggang Sultan memberi pertanda akan
berakhirnya masa kejayaannya, karena ikat pinggang itulah yang telah
mengantarnya mendapatkan harkat dan martabat yang terhormat.
Banyak kisah tentang hilangnya dan keberadaan ikat pinggang bertimang
Kyai Bajulgiling yang bertuah itu. Ada sebagian kisah menceritakan,
ikat pinggang yang tertinggal di depan pintu makam Sunan Tembayat itu
diambil dan disimpan oleh juru kunci makam. Tetapi ada pula yang
mempercayai ikat pinggang itu hilang secara gaib, yang hilangnya azimat
itu juga diketahui dan disadari oleh Sultan.
Namun yang jelas, ikat pinggang dengan Timang Kyai Bajulgiling azimat
buatan Kyai Buyut Banyubiru itu secara gaib masih tersimpan di seputar
makam Sunan Tembayat di Gunung Jabalkat. Karena itu tak heran bila sejak
dahulu sampai sekarang banyak orang pintar yang berusaha mengambilnya
dari alam gaib, baik untuk dirinya sendiri atau untuk kepentingan orang
lain. Hal ini karena adanya kepercayaan, akan kekuatan gaib yang
terkandung dalam Timang Kyai Bajulgiling yang dapat mengangkat derajat,
harkat dan martabat pemilik atau pemakainya.
Meski sudah banyak sekali orang pintar yang memburu kepala ikat
pinggang sakti milik Jaka Tingkir itu, namun hingga kini belum diperoleh
informasi apakah sudah ada di antara mereka yang berhasil mendapatkan
benda keramat dari alam gaib itu.
Saat Misteri berkunjung ke lokasi Makam Sunan Tembayat di Gunung
Jabalkat beberapa waktu silam, yang kebetulan ditemani oleh Mbah Diran,
seorang paranormal asal dusun setempat, tidak berhasil mendapatkan
gambaran gaib mengenai benda ini.
”Sepertinya ada kekuatan gaib yang sangat hebat menutupi keberadaan
Timang Kyai Bajulgiling, sehingga Mbah sulat untuk melacak posisinya.
Mungkin, faka ini juga yang membuat banyak orang yang memburunya sulit
mendapatkan pusaka sakti ini,” ungkap Mbah Diran, yang setia menemani
perjalanan Misteri.
No comments:
Post a Comment
terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat