[ oleh: Prof. Dr. NURCHOLISH MADJID (Alm.) ] Tabloid Tekad No.18/II — Minggu lalu, Prof Annemarie Schimmel –seorang tokoh kaliber dunia, ahli Islam dari Jerman– menyampaikan tiga orasi ilmiah mengenai Tasawuf (Sufisme)
di Jakarta. Kunjungannya disambut dengan penuh minat oleh para pecinta
Tasawuf. Oleh karena itu, ada baiknya jika kita sedikit merefleksikan
arti tasawuf dan kehidupan kaum Sufinya dalam orientasi keagamaan kita.
Nabi Muhammad s.a.w. sering disebut sebagai
seorang Rasul yang paling berhasil dalam mewujudkan misi sucinya. Bukti
yang biasa dipakai untuk mendukung penilaian itu ialah hal-hal yang
bersifat sosial-politik, khususnya dalam bentuk keberhasilan
ekspansi-ekspansi militer. Dan Nabi Muhammad s.a.w., sama halnya dengan
beberapa Nabi yang lain seperti Musa dan Dawud a.s., adalah seorang “Nabi Bersenjata” (Armed Prophet), sebagaimana dikatakan oleh sosiolog terkenal, Max Weber.
Oleh karena kenyataan itu, ada sementara ahli yang hendak mereduksi
misi Nabi Muhammad s.a.w. sebagai tidak lebih daripada suatu gerakan
reformasi sosial, dengan program-program seperti pengangkatan martabat
kaum lemah (khususnya kaum perempuan dan budak), penegakan kekuasaan
hukum, usaha mewujudkan keadilan sosial, tekanan kepada persamaan umat
manusia (egalitarianisme), dan lain-lain.
Dalam pandangan mereka yang parsial itu, Nabi Muhammad s.a.w. tidak
bisa disamakan dengan Nabi `Isa al-Masih, karena ajaran Nabi Muhammad
tidak banyak mengandung kedalaman keruhanian pribadi. Mereka berpendapat
bahwa Nabi Muhammad s.a.w. lebih mirip dengan Nabi Musa a.s. dan para
Rasul dari kalangan anak turun Nabi Ya`qub (yang bergelar Isra-El), yang mengajarkan tentang betapa pentingnya berpegang kepada hukum-hukum Taurat (Talmudic Law).
Padahal, di samping segi sosial-politik itu, Islam –seperti ditunjukkan dalam Al-Qur’an–
juga banyak menegaskan pentingnya orientasi keruhanian yang bersifat ke
dalam dan mengarah kepada pribadi. Justru sudah menjadi kesadaran para
sarjana Islam sejak dari masa-masa awal bahwa Islam adalah agama
pertengahan (wasath), yakni antara di satu pihak agama Yahudi
yang legalistik dan banyak menekankan orientasi kemasyarakatan itu dan,
di pihak lain, agama Kristen yang spiritualistik dan sangat
memperhatikan kedalaman olah serta pengalaman ruhani serta membuat agama
itu lembut. Seperti dikatakan oleh Ibn Taymiyyah, “Syari`ah Taurat
didominasi oleh ketegaran, dan Syari`ah Injil didominasi oleh
kelembutan; sedangkan Syari`ah Al-Qur’an menengahi dan meliputi keduanya
itu.”
Maka, sebagai bentuk pertengahan dan sekaligus antara kedua agama
pendahulunya itu, Islam mengandung ajaran-ajaran hukum dengan orientasi
kepada masalah-masalah tingkah laku manusia secara lahiriah seperti pada
agama Yahudi, tapi juga mengandung ajaran-ajaran keruhanian yang
mendalam seperti pada agama Kristen.
Bahkan sesungguhnya antara keduanya itu tidak bisa dipisahkan,
meskipun bisa dibedakan. Artinya, ketika seorang Muslim dituntut untuk
tunduk kepada suatu hukum tingkah laku lahiriah, ia diharapkan, malah
diharuskan, menerimanya dengan ketulusan yang terbit dari lubuk hatinya.
Ia harus merasakan ketentuan hukum itu sebagai sesuatu yang berakar
dalam komitmen spiritualnya.
Kenyataan ini tecermin dalam susunan kitab-kitab fiqih, yang selalu dimulai dengan bab pensucian (thaharah)
sebagai awal perjalanan pensucian batin. Walaupun tetap ada kemungkinan
orang mengenali mana yang lebih lahiriah, dan mana pula yang batiniah.
Sebenarnya, sudah sejak zaman Rasulullah s.a.w. sendiri terdapat
kelompok para Sahabat Nabi yang lebih tertarik kepada hal-hal yang
bersifat lebih batiniah itu. Disebut-sebut, misalnya, kelompok ahl al-Shuffah,
yaitu sejumlah Sahabat yang memilih hidup sebagai faqir dan sangat
setia kepada masjid. Tidak heran bahwa kelompok ini, dalam literatur
kesufian, sering diacu sebagai teladan kehidupan saleh di kalangan para
Sahabat.
Al-Qur’an sendiri juga memuat berbagai firman yang merujuk kepada
pengalaman spiritual Nabi. Misalnya, lukisan tentang dua kali pengalaman
Nabi bertemu dan berhadapan dengan Malaikat Jibril dan Allah. Yang
pertama ialah pengalaman beliau ketika menerima wahyu pertama di gua
Hira’, di atas Bukit Cahaya (Jabal Nur). Dan yang kedua ialah pengalaman beliau dengan perjalanan malam (isra’) dan naik ke langit (mi`raj) yang terkenal itu.
Kedua pengalaman Nabi itu dilukiskan dalam Kitab Suci (Q. 53: 1-18) demikian:
Demi bintang ketika sedang tenggelam
Sahabatmu sekalian itu tidaklah sesat atau pun menyimpang
Dan ia tidaklah berucap karena menurutkan keinginan
Itu tidak lain adalah ajaran yang diwahyukan
Sahabatmu sekalian itu tidaklah sesat atau pun menyimpang
Dan ia tidaklah berucap karena menurutkan keinginan
Itu tidak lain adalah ajaran yang diwahyukan
Diajarkan kepadanya oleh Jibril yang kuat perkasa
Yang bijaksana, dan yang telah menampakkan diri secara sempurna
Yaitu ketika ia berada di puncak cakrawala
Yang bijaksana, dan yang telah menampakkan diri secara sempurna
Yaitu ketika ia berada di puncak cakrawala
Kemudian ia pun mendekat, dan menghampiri
Hingga sejarak kedua ujung busur panah, atau lebih dekat lagi
Lalu Tuhan wahyukan kepada hamba-Nya apa yang diwahyukan-Nya
Hingga sejarak kedua ujung busur panah, atau lebih dekat lagi
Lalu Tuhan wahyukan kepada hamba-Nya apa yang diwahyukan-Nya
Tidaklah jiwa (Nabi) mendustakan yang dilihatnya sendiri
Apakah kamu semua akan membantahnya tentang yang ia saksikan?
Padahal sungguh ia telah menyaksikan pada lain kesempatan
Yaitu didekat Pohon Sidrah (Lotus), di alam penghabisan
Apakah kamu semua akan membantahnya tentang yang ia saksikan?
Padahal sungguh ia telah menyaksikan pada lain kesempatan
Yaitu didekat Pohon Sidrah (Lotus), di alam penghabisan
Di sebelahnya ada Surga tempat kediaman
Ketika Pohon Sidrah itu diliputi cahaya tak terlukiskan
Penglihatan Nabi tidak bergoyah, dan tidak pula salah arah
Sungguh ia telah menyaksikan tanda-tanda Tuhannya yang Agung tak terkira.
Ketika Pohon Sidrah itu diliputi cahaya tak terlukiskan
Penglihatan Nabi tidak bergoyah, dan tidak pula salah arah
Sungguh ia telah menyaksikan tanda-tanda Tuhannya yang Agung tak terkira.
Bagi kaum Sufi, pengalaman Nabi dalam Isra-Mi`raj itu adalah sebuah
contoh puncak pengalaman ruhani. Justru ia adalah pengalaman ruhani yang
tertinggi, yang hanya bisa dipunyai oleh seorang Nabi. Namun kaum Sufi
berusaha untuk meniru dan mengulanginya bagi diri mereka sendiri, dalam
dimensi, skala, dan format yang sepadan dengan kemampuan mereka.
Hal ini dikarenakan inti pengalaman itu ialah penghayatan yang pekat
akan situasi diri yang sedang berada di hadapan Tuhan, dan bagaimana ia
“bertemu” dengan Dzat Yang Maha Tinggi itu. “Pertemuan” dengan Tuhan,
dengan sendirinya, juga merupakan puncak kebahagiaan, yang dilukiskan
dalam sebuah hadis sebagai “sesuatu yang tak pernah terlihat oleh mata.”
Hal ini karena dalam pertemuan tersebut segala rahasia kebenaran “tersingkap” (kasyf) untuk sang hamba, dan sang hamba pun lebur serta sirna (fana’)
dalam Kebenaran. Oleh karena itu, Ibn ‘Arabi, misalnya, melukiskan
“metode” atau thariqah-nya sebagai perjalanan ke arah penyingkapan
Cahaya Ilahi, melalui pengunduran diri (khalwah) dari kehidupan ramai.
Hidup dengan “pengunduran diri” dan sikap penuh kepasrahan
tersebut memang bisa mengesankan kepasifan dan eskapisme. Akan tetapi,
sebagai dorongan hidup bermoral, pengalaman mistis kaum Sufi sebetulnya
merupakan suatu kedahsyatan. Karena itulah ajaran Tasawuf juga disebut
sebagai ajaran akhlak.
Dan akhlak yang hendak mereka wujudkan ialah yang merupakan “tiruan”
akhlak Tuhan, sesuai dengan sabda Nabi yang mereka pegang teguh, “Berakhlaklah kamu semua dengan akhlak Allah.” Wallahualam bissawab…
No comments:
Post a Comment
terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat