Laman

to night

Aku adalah binatang jalang yang menghembuskan angin kedinginan. apa pun bisa kita lakukan, biarkan Hayal mu melambung tinggi menikmati sensasi lambda sehingga hayalmu menembus batas, bangun ketika kau mulai lelah akan semua, bakarlah dinding-dinding yang membuatmu tidak mempunyai waktu untuk membuka sensasi Lamda. masih ingatkah kita pernah bercerita tentang puncuk-puncuk lambda di ketinggian 200Hez aku telah menemukan seluk beluk lambda. Mari bersama menembus batas normal, yang akan membuka tabir mimpi menjadi kenyataan. aku lambda yang membagunkan dengan Argumentum ad populum, wujud nyata, ilusi, melayang maya membuka tabir biru menjadi sir Lamda






Saturday, December 10, 2011

“Feta Batu” Keajaiban Musik Purba


Tidak sembarang batu digunakan. Dan, tidak sembarang orang bisa memainkan.
Bagaimana ceritanya, batu bisa jadi alat musik?  Pergilah ke Nias, di sana ada Feta Batu, yakni alat musik yang berasal dari batu asli. Selain merdu, suara yang dihasilkan seolah membawa suasana magis. Namun sayang, regenerasi pemain Feta Batu berjalan di tempat.  Di masa lalu, Feta Batu sering dimainkan dalam berbagai acara. Namun, seiring berjalannya waktu, alat musik ini semakin kurang eksistensinya. Banyak faktor penyebab, selain sulitnya mencari batu, generasi muda sepertinya enggan memainkan alat musik ini.
Hingga suatu hari, Hikayat Manao, salah seseorang tetua yang dihormati di Nias mendapat pesan dari seorang etnimusikolog, Rizaldi Siagiaan. “Kami bertemu saat konser multimedia Megalitikum dan Kuantum yang digelar di Jakarta, _ 2005 lalu. Saat itu, dia berpesan agar saya menemukan kembali Feta Batu yang sudah sempat punah itu,” ungkap Hikayat.
Jelas, ini bukan amanat yang gampang untuk dilaksanakan, justru sebaliknya membuat pusing bapak empat anak ini._”Musik batu, batu musik. Apa itu musik batu? Pertanyaan itu yang terus bergema dalam kepala saya,” kenangnya.  Bermula dari situlah, proses pencarian (kembali) musik batu mulai dilakukannya. Diawali dengan mengetuk batu-batu yang ada di pekarangan rumah_dengan pemukul kayu. Ternyata bunyi yang keluar dari batu-batu_ itu sama dan senada. ”Kemana harus mencari batu yang bunyinya macam-macam untuk bisa menganyam melodi?” pertanyaan itu kembali memenuhi pikirannya.
Di tengah kepusingan yang menerpa, pria yang lahir pada 12 Juni 1958 ini lantas bergegas menuju hutan yang tak jauh dari Desa Bawömataluo, tempat tinggalnya seharihari.  Setengah jam kemudian ia terperangah sebab menemukan pagar batu yang cukup panjang. Ini rupanya pembatas desa yang dihikayatkan turun-temurun. Spontan ia berseru ke arah pagar dalam bahasa Nias yang artinya, “Oh, leluhurku, aku baru mendapat amanat untuk menemukan musik batu. Pernah kudengar kalian leluhurku memilikinya.  Tunjukkanlah batu bermusik kalau cerita yang kudengar itu benar.”

No comments:

Post a Comment

terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat