Laman

to night

Aku adalah binatang jalang yang menghembuskan angin kedinginan. apa pun bisa kita lakukan, biarkan Hayal mu melambung tinggi menikmati sensasi lambda sehingga hayalmu menembus batas, bangun ketika kau mulai lelah akan semua, bakarlah dinding-dinding yang membuatmu tidak mempunyai waktu untuk membuka sensasi Lamda. masih ingatkah kita pernah bercerita tentang puncuk-puncuk lambda di ketinggian 200Hez aku telah menemukan seluk beluk lambda. Mari bersama menembus batas normal, yang akan membuka tabir mimpi menjadi kenyataan. aku lambda yang membagunkan dengan Argumentum ad populum, wujud nyata, ilusi, melayang maya membuka tabir biru menjadi sir Lamda






Monday, April 9, 2012

"PUANG UPE’ Bissu Penjaga Rakkeang Kuning"

Junaidi Sudirman
Kendati telah surut, peran bissu masih ada di masyarakat Bugis. Mereka menjadi tempat berlindung bagi para wadam agar dapat diterima dalam kehidupan. Warga masih kerap datang untuk memohon agar keinginannya terkabul.
Si pria langsing menghunus pelan alameng dari sarungnya yang berlapis kuningan dan berbalut kain putih. Sebilah pedang berlapis serbuk putih yang tipis muncul. Lelaki berdada rata yang tampak doyong itu segera mencium pedang tersebut seraya memejamkan mata kemudian memasukkannya lagi ke sarungnya.
Lelaki itu bernama Puang Upe’. Umurnya sekisar 50 tahun. Ketika mendiang Puang Matoa Saidi memimpin komunitas Bissu Dewatae, Puang Upe menjadi Puang Lolo—bahasa Bugis yang berarti ‘pemimpin muda’—sebutan untuk jabatan wakil Puang Matoa. Ia mengemban tugas ini sejak 2001, bersamaan dengan saat Puang Saidi dilantik menjadi Puang Matoa.
“Tadi, yang putih itu adalah bedak, untuk mencegah karat, Nak,” kata Puang Upe’ dalam bahasa Bugis yang cepat di kediamannya pada akhir Februari 2012. ‘Nak’ merupakan panggilan yang sering meluncur dari bibir Puang Upe’ ketika bercakap dengan siapa saja.
Alameng, pedang pusaka pemimpin komunitas Bissu Dewatae, kini tersimpan di rumah panggung sederhana Puang Upe’ di Bonto Te’ne, Kecamatan Segeri, Pangkajene Kepulauan, sekitar 60 kilometer sebelah utara Kota Makassar. Kendati Puang Upe’ kini sebagai pemegang alameng, tetapi kenyataannya ia belum resmi menyandang gelar “Puang Matoa” karena belum melalui upacara pelantikan.
Selain alameng, di rumah Puang Upe’ juga ada tanda kebesaran dan perlengkapan upacara bissu lainnya:
[1] Paccoda’, sebatang kayu bersegi delapan yang terbungkus kain kuning cerah yang dibawa oleh Puang Lolo; [2] Tolousu dan arumpigi berupa kayu berongga atau bambu berujung kepala ayam berisi butiran dan mengeluarkan bunyi bila diguncang yang dibalut kain merah—keduanya dibawa oleh anak bissu—mengingatkan pada hewan peliharaan sang pencipta jagat I La Galigo, Patoto’e (Sang Penentu Nasib), dan [3] Lellu Patara, pemayung dari kain cinde segi empat yang setiap sudutnya berbatang penunjang.
Pergantian kepemimpinan bissu Segeri terjadi bila sang pemimpin meninggal. Ketika Puang Saidi meninggal pada 28 Juni 2011, terjadi pro dan kontra tentang pergantian kepemimpinan ini. Menurut antropolog Universitas Negeri Makassar, Halilintar Lathief, penyigi yang telah 30 tahunan meneliti bissu, pergantian itu dilakukan di depan jasad Puang Matoa sebelum dikuburkan. Entah mengapa hal itu lalu diurungkan

No comments:

Post a Comment

terima kasih telah berkunjung semoga bermanfaat