Dalam dunia seni tari, nama Didik Nini Thowok amat
fenomenal. Modalnya tak cuma kemampuan meliukkan anggota badan dan
tubuh bak gemulai perempuan, seniman kelahiran Temanggung, Jawa Tengah,
13 November 1954, ini juga hebat dalam menggarap koreografi tarian
populer. Diam-diam dia piawai main pantomim, komedi, dan
menyanyi. Kadang, ia sengaja tampil dengan ketiga kemampuan itu. Pasti
hasilnya luar biasa.
Putra pasangan Hadiprayitno dan Suminah itu sejak kecil lekat dengan
seni. Hobi menggambar ia tekuni di bangku sekolah dasar (SD) hingga
sekolah menengah pertama (SMP). Saat itu ia pun rajin berlatih
menyanyi, terutama tembang Jawa. Namun, tarilah yang benar-benar
menenggelamkannya di kubangan seni. Untuk mencapai kemajuan, setamat
sekolah menengah atas (SMA), ia menimba ilmu di Akademi Seni Tari
Indonesia di Yogyakarta, cikal bakal Jurusan Tari Institut Seni
Indonesia (ISI).
Awal dekade 1980-an, namanya melambung. Hal ini berkat penampilannya
pada pentas fragmen tari nini thowok. Nini thowok atau nini thowong
adalah semacam permainan rakyat jalangkung yang biasa dimainkan
masyarakat Jawa tradisional. Nini thowok sejak itu terus melekat ke
mana pun Didik berkarya dan meraih kesuksesan.
Tak ada yang ragu atas dedikasinya di dunia tari. Ratusan
penghargaan pernah ia terima. Beberapa karya garapannya, seperti tari
Topeng Walang Kekek (1980), Dwimuka (1987), Kuda Putih (1987), Dwimuka
Jepindo (1999), dan Topeng Nopeng (1988), jadi bukti keempuannya.
Seniman bernama asli Kwee Tjoen Lian itu menerima kedatangan Singgir
Kartana dari Warisan Indonesia di Sanggar Tari Natya Lakshita miliknya
di Green Plaza Kav. 7 Jalan Godean Km. 2,8, Yogyakarta, akhir Februari
2012. Berikut petikan wawancaranya.
Kapan Anda mulai menari dengan gaya tarian perempuan?
Sejak sekolah, saya sudah tampil menari. Tapi, kalau tampil dengan
pakaian perempuan, dengan sanggul dan kebaya itu, kalau enggak salah
tahun tujuh puluh dua. Saat itu, pas acara perpisahan sekolah SMA saya.
Saya menari tarian garapan saya sendiri yang saya beri judul Tari
Persembahan. Itu merupakan gabungan dua unsur, yaitu Bali dan Jawa.
Anda berguru kepada banyak empu tari tradisional, yang paling berkesan siapa?
Ya, ada lebih dari dua puluh guru yang saya datangi langsung. Di
antaranya Ni Ketut Sudjani, I Gusti Gde Raka, Rasimoen, Sawitri, Ni
Ketut Reneng, Ibu Suji, empu tari Topeng Cirebon. Saya belajar dari
mereka tentang banyak hal. Bukan hanya tari, melainkan juga tentang
kearifan. Hampir semua guru tempat saya belajar itu sosoknya rendah
hati. Saya juga belajar dari para penari dari negara lain, seperti
Sangeeta, Richard Emmert, Sadamu Omura, Jetty Roels, Gojo Masanosuke,
serta beberapa nama maestro lain dari sejumlah negara. Semua
mengesankan.
Ada kesan khusus yang Anda dapatkan dari para guru itu?
Ya, tentu banyak hal, ya. Akan tetapi, yang paling mengena adalah pesan
dari mereka. Intinya, kalau ingin menguasai berbagai gaya tarian, kita
mesti melakukan tahapan batin yang disebut emptiness atau mengosongkan
diri. Menghilangkan ego kita. Biar cepat menyerap pengetahuan dari
guru. Mengosongkan diri tentu berbeda dengan kosong, ya. Mengosongkan
diri lebih menekankan pada spirit atau niat menghilangkan ego kita,
kesombongan kita, agar terbuka pada hal-hal baru yang belum kita pahami.
Meski tarian Anda berbasis pada tradisi, tetapi tampilan
Anda selalu “kocak” dan disukai banyak orang, bagaimana bisa seperti
itu?
Itulah pentingnya belajar dari banyak unsur. Kita menjadi kaya
referensi. Tapi, yang namanya seni tradisi itu kan kebanyakan sifatnya
serius, ya. Kalau kita tampilkan ke khalayak (penonton) yang heterogen,
mungkin membosankan. Makanya, saya ramu dalam bentuk koreografi yang
menghibur. Misalnya, di sela-sela gerakan serius, saya sisipkan gerakan
lucu. Kan jadi segar. Saya senang kalau penonton terhibur.
Bagaimana mengasah kemampuan menarikan tarian perempuan sehingga tampak “nyaris sempurna” sebagaimana Anda lakukan?
Itu proses yang lama saya geluti. Dan, bahkan saya akan terus
melakukannya. Begini, sejak kecil, saya memang terbiasa melakukan
permainan yang biasa dilakukan para perempuan. Dan, saat mengawali
menari, saya lebih condong ke gerakan tari perempuan. Sampai akhirnya
saya merasa cocok dengan itu. Koreografi garapan saya juga kebanyakan
seperti itu.