Laman
to night
Aku adalah binatang jalang yang menghembuskan angin kedinginan. apa pun bisa kita lakukan, biarkan Hayal mu melambung tinggi menikmati sensasi lambda sehingga hayalmu menembus batas, bangun ketika kau mulai lelah akan semua, bakarlah dinding-dinding yang membuatmu tidak mempunyai waktu untuk membuka sensasi Lamda. masih ingatkah kita pernah bercerita tentang puncuk-puncuk lambda di ketinggian 200Hez aku telah menemukan seluk beluk lambda. Mari bersama menembus batas normal, yang akan membuka tabir mimpi menjadi kenyataan. aku lambda yang membagunkan dengan Argumentum ad populum, wujud nyata, ilusi, melayang maya membuka tabir biru menjadi sir Lamda
Tuesday, May 29, 2012
"Komunitas Air Gunung – Mengalir Mengikuti Zaman"
Komunitas Air Gunung hadir di tengah kelompok pelukis
kampung yang bekerja tanpa konsep. Berkat kegigihan pencetusnya,
sebagian anggota komunitas sukses dengan karyanya. Kini hidup mereka
terus mengalir mengikuti gerak zaman.
Suatu ketika, Agus Wuryanto, SN., seorang fotografer profesional,
memerhatikan karya-karya pelukis di kampung kelahirannya, Wonosobo, Jawa
Tengah, tampak sama. Semua membuat gambar pemandangan, sawah, gunung,
alam pedesaan. Seragam dan tak ada yang istimewa.
Saat mencoba berkomunikasi dengan para pelukis tersebut yang ia
dengarkan adalah keluhan tentang hidup mereka yang serba susah. Paling
tinggi, sebuah karya dibeli orang dengan harga Rp500.000. Sebagai
lulusan seni murni Institut Seni Indonesia, hatinya tergelitik sekaligus
prihatin dengan kondisi tersebut.
Berbekal ilmu selama masa kuliah dan pengalaman panjangnya memainkan
kuas di atas kanvas, ia kumpulkan para pelukis itu dalam sebuah wadah,
yang kemudian dinamakan Komunitas Air Gunung. Ia memulai urusan itu saat
tak lagi mengemban tugas pelaksana pemotretan di lapangan, maklum
kiprahnya di dunia fotografi memang cukup mendalam. Ia adalah Ketua
Pencinta Fotografi Wonosobo. Dengan demikian, konsentrasinya bisa lebih
fokus.
Sejak tahun 2006, dengan telaten ia memberikan pelatihan kepada
anggota komunitas. “Teknik penggemblengannya seperti home schooling.
Artinya, tercipta interaksi yang lebih intim. Setiap ingin membuat satu
karya, ide si pelukis didiskusikan sampai menemukan konsep yang
menarik,” ungkapnya.
Bagi penggiat seni di Wonosobo ini, ada tiga hal utama yang harus
dimiliki seseorang pelukis anggotanya agar dapat mencapai hasil
maksimal. Pertama, harus ada kepedulian, baik dari pengajar maupun murid
yang ia bimbing. Kedua, harus ada keterlibatan emosional antarpersonal.
Dan ketiga, harus ada kepercayaan.Akhirnya dengan bentuk pertemanan,
diharapkan tercipta ikatan yang kuat, saling memahami.
"Menapak Tilas Jejak Kesakralan Hindu di Gedongsongo"
Kompleks candi ini menyimpan misteri berabad-abad yang belum terjawab. Perjalanan ke puncak candi yang berat akan menjawab pertanyaan, mengapa nenek moyang kita mendirikan tempat ibadah di puncak pegunungan?
Masyarakat sekitar menyebut kompleks candi itu Gedongsongo. Dalam bahasa Jawa, ‘gedong’ berarti rumah atau bangunan, sedangkan ‘songo’ berarti
sembilan. Secara harfiah, Gedongsongo berarti ‘sembilan bangunan’.
Meskipun pengunjung hanya menyaksikan lima kompleks bangunan, masyarakat
yakin bahwa awalnya kawasan ini memiliki sembilan kompleks bangunan
candi.
Bangunan candi itu berderet dari bawah ke puncak perbukitan Ungaran.
Baik warga maupun para arkeolog Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala
Jawa Tengah mempunyai beberapa tafsiran terhadap maksud peletakan
bangunan itu. Tafsiran pertama menganggapnya sebagai simbol hierarki
kesucian. Artinya, candi yang di atas lebih suci dari candi yang di
bawah. Tafsiran kedua mengatakan, deretan ini menunjukkan sebuah prosesi
keagamaan yang berjalan dari candi terbawah hingga ke atas.
Adapun tafsiran ketiga menganggapnya sebagai gambaran dari sembilan
lubang yang terdapat pada tubuh manusia, yaitu sepasang (dua) mata,
sepasang (dua) telinga, dua lubang hidung, mulut, kemaluan, dan anus.
Banyak anggota masyarakat berkeyakinan bahwa empat bagian kompleks candi
yang tak terlihat itu mengalami proses moksa (menghilang
secara gaib). Sampai kini keyakinan itu tertanam kuat dalam benak
masyarakat. Mbah Sapto, seorang budayawan setempat, dan rekannya, Ki
Suro Menggolo, adalah sebagian di antara orang-orang yang menjunjung
keyakinan itu. Menurut mereka, candi paling bawah yang mengawali
rangkaian itu adalah lubang kemaluan, lalu berderet ke atas. “Sehingga
bisa diilustrasikan, candi-candi ini tegak berdiri menggambarkan
sembilan lubang pada [tubuh] manusia secara utuh,” tutur mereka.
"Indonesian Heritage Society – Diam-Diam Mempromosikan Indonesia"
Pada 21 Agustus 1995, Ganesha Society disahkan menjadi
Indonesian Heritage Society (IHS), dalam bentuk yayasan yang dikelola
oleh dewan pengurus tanpa honor. Tujuan utamanya, membantu
lembaga-lembaga budaya Indonesia serta meningkatkan pengetahuan,
pemahaman, apresiasi budaya, dan warisan Indonesia.
Hawa malam sudah dingin, ditambah lagi Jakarta diguyur hujan. Namun,
Erasmus Huis, pusat kebudayaan Belanda di Jakarta, pada 8 November 2011
itu tidak juga sepi. Pengunjung tetap berdatangan, sendiri maupun dengan
pasangan. Menggenggam gelas berkaki anggur putih, menyapa rekan
lainnya, mereka menghangatkan suasana malam itu.
Malam itu mereka datang khusus untuk mendengarkan dua jam pemaparan
Dinny Jusuf, pegiat Tenun Sa’dan Toraja Utara, tentang tekstil dan
tradisi masyarakat Tana Toraja. Pengunjung, yang kebanyakan berasal dari
Eropa, Amerika, Australia, sangat antusias. Hal itu tampak dari
pertanyaan yang mereka ajukan seputar akses yang dapat ditempuh menuju
Tana Toraja.
Itulah salah satu kegiatan IHS, sebuah organisasi nirlaba yang punya
visi utama menggali kekayaan seni, sejarah, dan budaya tradisi
Indonesia.
Pertemuan yang berlangsung di Erasmus Huis itu adalah salah satu
kegiatan yang rutin dilakukan setiap Selasa selama Oktober-November dan
Januari- Februari. Kelas yang dikenal dengan evening lectures—yang pada 8
November 2011 merupakan penutup Evening Lectures 2011—itu mengkaji
keanekaragaman budaya tradisi dan budaya kontemporer Indonesia dengan
fokus pada pemaparan seni, etnografi, agama, budaya, sejarah, dan
pengetahuan alam. Pengantar dalam pertemuan itu menggunakan bahasa
Inggis karena pengunjungnya kebanyakan ekspatriat.
"Kepingan Fakta di Liang Bua"
Penemuan situs manusia purba Liang Bua pada tahun 2003
mengguncang dunia arkeologi. Digali pertama kali pada tahun 1965, hingga
kini temuan ini terus menjadi perdebatan di kalangan arkeolog.
BENARKAH Homo floresiensis yang tengkorak dan kerangkanya ditemukan
di Liang Bua, Flores, oleh arkeolog Indonesia dan Australia tahun 2003
berkerabat dengan Pithecanthropus erectus—manusia kera yang berjalan
tegak?
Atau, temuan yang diumumkan oleh arkeolog Michael Morwood dari
Universitas Wollongong, Australia, secara sepihak pada tahun 2003 itu
merupakan tengkorak homo sapiens—manusia modern—yang mengidap penyakit
sehingga bertubuh kerdil hingga dijuluki manusia hobbit?
Terlepas dari perdebatan ilmiah yang hingga kini terus berlangsung
itu, situs Liang Bua yang berada di gua karst yang dihiasi stalaktit di
ketinggian 500 di atas permukaan laut (dpl) dan berjarak sekitar 25
kilometer utara Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa
Tenggara Timur (NTT), itu menyimpan kepingan fakta jejak peradaban
Flores purba.
Ditempuh sekitar 2,5 jam perjalanan dengan mobil dari pusat kota
Ruteng, jalanan menuju Liang Bua—yang artinya gua dingin—itu berkelok
dan tanpa papan penunjuk jalan. Berada di Kampung Rampasasa, Desa
Waemulu, Kecamatan Waeriri, Kabupaten Manggarai, situs Liang Bua berada
tak jauh dari persawahan dan dikelilingi hutan.
Menurut pemandu, Cornelis Jaman (38), situs Liang Bua memiliki lebar
50 meter, panjang 40 meter, dan tinggi dinding dari permukaan tanah 25
meter. “Menurut legenda rakyat sini, gua ini diciptakan nenek moyang
kami dengan bantuan makhluk gaib, tetapi tentu ini sekadar legenda,”
ujarnya tanpa meneruskan ceritanya.
Penggalian (ekskavasi) situs terus berlangsung hingga kini dan
memperkerjakan warga setempat dengan upah Rp 40.000 per hari. Beberapa
nama arkeolog yang pernah melakukan penggalian itu, menurut Cornelis,
adalah Michael Morwood, Raden Panji Soejono, Thomas Sutikno, Rokus Duwe
Awe, dan Sri Warsisto. “Penggalian terus berlangsung, sehari menjelang
Lebaran kemarin dihentikan, seusai Lebaran akan dilanjutkan,” katanya
kepada Warisan Indonesia, akhir Agustus lalu.
Sedikitnya, ada 3 lubang besar yang digali membujur dan melintang
dengan kedalaman bervariasi berkisar 3-6 meter yang diberi pembatas tali
rafia, agar situs tidak rusak oleh pengunjung. Di permukaan tampak
beberapa kantong plastik berisi serpihan tulang diklasifikasi dan diberi
kode tertentu. “Kemarin, kami menemukan kerangka tikus purba, ini
kantong tulangnya,” kata Blacius Nggadu (43), kuli gali yang sehari-hari
membantu para antropolog, sembari menunjukkan temuan tulang belulang di
telapak tangannya
"Museum Taman Prasasti – Sejuta Kisah Hunian Terakhir"
Museum Taman Prasasti membuat kita berdecak kagum. Ada
keindahan batu nisan yang bertutur tentang hunian terakhir sebuah
peradaban masa lampau. Ada ratusan cerita tersembunyi di balik
bongkahan-bongkahan bangunan kuno yang memaksa kita selalu mengingat
sejarah.
Pada abad ke-18, pemerintah kolonial Hindia Belanda mendirikan banyak
bangunan dengan gaya arsitektur yang menggambarkan keindahan serta
kekokohan sistem pertahanan. Kawasan itu lantas dijuluki “Ratu dari
Timur” atau dalam bahasa Belandanya ‘Koningin van het Oosten’. Setiap gedung didirikan untuk memenuhi kebutuhan para kaum penjajah yang memiliki gaya hidup berbeda dengan lingkungan sekitarnya.
Pemakaman merupakan salah satu kebutuhan penting yang harus
disediakan. Dalam tradisi Eropa, jasad orang meninggal biasanya
dimakamkan dalam tanah, tidak diperabukan seperti Golongan Tionghoa yang
juga tinggal di kawasan itu. Kemungkinan karena pertimbangan keamanan,
kuburan orangorang Belanda (Graf der Hollanders) juga dibangun di dekat kawasan pertahanan bukan di tempat lain yang berjauhan.
Mula-mula ada tempat pemakaman khusus, de Oude Nieuwe Hollandsche Kerk, di
areal gereja tua yang kini jadi Museum Wayang. Namun, pada akhir abad
ke-18 kuburan ini penuh sehingga pemakaman harus dipindahkan ke luar
kota pertahanan Batavia. Tempat ini disebut Kerkhof Laan atau Kebon Jahe Kober. Mereka yang meninggal harus diangkut dengan sampan menuju tempat ini.
Prosesinya kira-kira sebagai berikut. Bila ada warga Belanda yang
meninggal, jenazahnya dibawa ke rumah sakit yang kini telah berubah
menjadi Museum Bank Indonesia di kawasan Beos, Jakarta Kota. Pihak rumah
sakit menyediakan perahu untuk jenazah yang didayung sepanjang Kali
Krukut. Perahu-perahu sewaan juga ikut mengiring di belakang, biasanya
mengangkut para pelayat yang terdiri dari keluarga dan kerabat lainnya.
Iring-iringan perahu jenazah tersebut berhenti di Jalan Abdul Muis
persis di belakang Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika.
sekarang ini. Peti jenazah kemudian diangkat dari atas sampan dan
dipindahkan ke sebuah kereta yang ditarik kuda. Jumlah kuda yang
menarik kereta itu ditentukan oleh tingkat kemakmurannya. Semakin makmur
orang yang meninggal, semakin banyak pula jumlah kuda penariknya. Pada
saat pemindahan dilakukan, lonceng di pemakaman berbunyi sekali. Ini
adalah perintah kepada pengurus pemakaman untuk bersiap-siap.
Selanjutnya, lonceng itu terus berbunyi sampai iringan jenazah tiba di
gerbang pemakaman yang mengambil corak arsitek Doria itu.
Luas Jalan Kubur, atau Kerkhof Laan, mencapai 5,9 hektar.
Semenjak dibuka pada 1795, orang-orang yang punya kedudukan tinggi dan
terkenal semasa hidupnya dimakamkan oleh keluarga dan kerabatnya di
sini. Mereka umumnya beragama Nasrani, baik Katolik maupun Protestan.
Pemerintah daerah Jakarta menutupnya pada 1975. Sebagian lahannya
diambil untuk gedung-gedung pemerintah. Kerangka jenazah yang telah lama
dikubur dipindahkan ke tempat lain. Sebagian ke kompleks pekuburan
Menteng Pulo, sejumlah besar lainnya dibawa pulang ke negeri asal
mereka. Gubernur Jakarta Ali Sadikin lalu memerintahkan aparatnya untuk
mengubah sisa area Kebon Jahe Kober menjadi Museum Taman Prasasti dan
meresmikan pada 9 Juli 1977.
"Spirit Cerita Panji Metropolitan"
Wayang beber nyaris tinggal kenangan. Beruntung masih ada
sejumlah anak muda yang peduli dan mencoba melestarikannya. Mereka
tergabung dalam satu wadah bernama Komunitas Wayang Beber Metropolitan.
Mungkin sebagian dari Anda bertanya-tanya apa itu wayang beber?
Wayang beber muncul dan berkembang di Pulau Jawa pada masa Kerajaan
Majapahit. Dinamakan beber, karena cerita yang disampaikan dilakukan
dengan cara dibeber, bentuknya lembaran-lembaran berupa gulungan lukisan
wayang. Gambar-gambar tokoh pewayangan dilukiskan pada selembar kain
atau kertas, disusun adegan demi adegan berurutan sesuai dengan urutan
cerita dengan cara dibeberkan.
Beberapa waktu lalu, tepatnya 21-29 Maret 2012, di Bentara Budaya
Jakarta, Komunitas Wayang Beber Metropolitan menggelar pameran wayang
beber bertajuk Dolanan Wayang Beber. Mereka mencoba memunculkan fenomena
metropolitan dalam bentuk wayang beber.
Karya-karya yang ditampilkan berupa pertunjukan wayang beber dengan
tetap mempertahankan fungsi wayang beber. Tema-tema dan bentuk visualnya
pun sesuai dengan perkembangan masa kini. Adapun pamerannya lebih
menampilkan wayang beber bentuk lawasan hingga kontemporer, dengan
mengangkat isuisu atau fenomena sosial yang tengah berkecamuk di
masyarakat. Saat penutupan acara, mereka mementaskan wayang beber
kontemporer berjudul “Kabut Hitam di Desa Temu Kerep”.
Menurut Adi Prasetya (39), ketua sekaligus salah seorang pelopor
pendiri Komunitas Wayang Beber Metropolitan, seperti terjadi satu
pengulangan—ibaratnya spirit ribuan tahun yang lalu terulang kembali di
Jakarta. Wayang beber ini biasanya diminta pentas hanya saatsaat
tertentu. “Ini bisa dihitung dengan jari dan baru kemarin Jakarta
mementaskan wayang beber sepanjang Jakarta ini lahir,” ujar pria yang
lebih akrab disapa Mas Sam tersebut. Sebetulnya, kata Adi, wayang beber
bisa dirunut benang merahnya dalam mempersatukan Nusantara, meski dengan
tafsir lokal atas Cerita Panji yang berbeda.
Dinda Intan Pramesti Putri (25), Manajer Wayang Beber Metropolitan,
menambahkan, Cerita Panji diambil dari banyak cerita, ada yang
menyebutkan zaman Kerajaan Jenggala, ada juga zaman Brawijaya saat
memerintah di Majapahit. Akan tetapi, intinya itu dari Raja Jawa. Jadi
zaman Darmawangsa atau Si Panji ini yang akhirnya ceritanya menyebar ke
seluruh Nusantara dalam ceritacerita lain dengan tafsir setiap daerah.
“Sekarang sulit untuk mendapatkan selembar wayang beber. Memang masih
ada di beberapa kalangan masyarakat, seperti daerah Pacitan, Jawa Timur
dan di Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo, Karangmojo, Gunung Kidul (DI
Yogyakarta,” ujar Intan
Tuesday, May 15, 2012
Thursday, May 3, 2012
"Paradoks"
Lagu pop “Benci Tapi Rindu”, yang dinyanyikan oleh Diana Nasution,
sangat populer pada tahun 70-an. Ekspresi cinta romantis, emosional,
lantang itu, pernah juga dinyanyikan oleh pelawak bernama Darto Helm.
Bukan hanya sekedar penghibur diriku ini, sayang.
Bukan pula sekedar pelepas rindumu o sayang.
Sakit hatiku uu…, kau buat begitu.
Bukan pula sekedar pelepas rindumu o sayang.
Sakit hatiku uu…, kau buat begitu.
Kau datang dan pergi sesuka hatimu.
O… kejamnya dikau, teganya dikau padaku.
Kau pergi dan datang sesuka hatimu.
O… sakitnya hati bencinya hati padamu.
O… kejamnya dikau, teganya dikau padaku.
Kau pergi dan datang sesuka hatimu.
O… sakitnya hati bencinya hati padamu.
Sakitnya hati ini, namun aku rindu.
Bencinya hati ini, tapi aku rindu.
Bencinya hati ini, tapi aku rindu.
Paradoks yang berat, alot di mata filsafat, ternyata diangkat mudah
oleh lagu pop. Mengalir dengan enteng, ringan, gesit, dan menghibur.
Sama dengan cerita telur Columbus. Sementara para pemikir pusing
memikirkan bagaimana caranya menegakkan telur, Columbus dengan tanpa
beban meremukkan ujung telor itu hingga bisa tegak. Tentu saja sesudah
itu orang lain bisa menirunya karena sangat mudah. Tapi sebelumnya, tak
pernah terpikir.
Dalam sebuah cerita Wild West, ada bayi jatuh ke tangan suku Indian.
Anak itu kemudian tumbuh menjadi pejuang Indian. Dia mengalami
kehidupan mengerikan yang bersimbah darah. Ketika ia tertangkap dan
hidup kembali di masyarakat kulit putih, pada hari tuanya, ia diminta
mengungkap pengalamannya yang luar biasa itu. Tetapi, lelaki itu hanya
berkata: “Aku hidup beberapa lama di masyarakat Indian dan sekarang aku
kembali hidup di masyarakat biasa.”
Pada sebuah kejadian, selalu ada sudut bidik lain yang memungkinkan
sesuatu itu diartikan bertentangan dengan nilai sebelumnya. Menghadapi
sesuatu yang paradoksal, yang kemudian penting, bukan saja kenyataan
yang paradoks itu, tetapi apa yang menyebabkan nilai bisa berakrobat
begitu rupa.
Adalah anak dari keluarga miskin merengek minta dibelikan motor,
tetapi ditolak orangtuanya karena ekonomi keluarga tidak memungkinkan.
Baru setelah 5 tahun menabung, orangtuanya berhasil memenuhi hasrat
anaknya. Pada hari ulang tahunnya, anak itu dihadiahi motor yang
dimimpikannya. Anak itu senang sekali. Tapi, hanya dua jam kemudian dia
pulang melaporkan motornya ringsek ditabrak truk.
Bapaknya marah dan mencak-mencak. “Bego! Puluhan juta yang aku
tabung 5 tahun lenyap hanya dalam 2 jam?” Tapi, istrinya berkata lain,
”Pak, biar motornya hancur, tapi syukur alhamdulillah anak kita, kan,
tidak apa-apa!”
"Raja"
Sepuluh tahun setelah tsunami, seorang anak masih terus menangis.
Tangisnya begitu mengiris sehingga Baginda Raja resah. Soalnya, anak
itu menjadi berita.
Wajah anak itu muncul di koran dan dan televisi. Ia membawa citra
yang buruk bagi kerajaan. Akhirnya, raja, setelah dikerubut oleh para
pembisiknya, berkenan berkunjung untuk bertanya dan mewanti-wanti,
kalau perlu mengancam.
Apa pula yang sudah bikin kamu terus menangis? Rumahmu yang hancur
sudah dibangun kembali dengan sumbangan luar negeri. Kamu diberi modal
dan hasilnya sudah konkret. Sekarang bapakmu punya toko dan mobil.
Kalau tidak ada tsunami pasti kamu masih tinggal di gubuk tua dan ke
mana-mana jalan kaki. Ayo berhenti menangis! Masih banyak persoalan
kerajaan yang butuh diselesaikan. Kamu tidak boleh egois! Ini sengsara
yang membawa nikmat. Ketawa!
Tapi tangis anak itu makin keras. Bukan hanya menangis, sekarang dia
mulai meraung-raung. Suaranya begitu mengerikan. Seakan-akan dia sudah
dirajam.
Akibatnya, para wartawan dari dalam dan terutama dari luar negeri
berhamburan datang. Jeprat-jepret. Heboh, gambar anak itu kontan
terpampang, lebih provokatif di halaman depan berbagai media massa,
baik di dalam maupun di luar negeri.
Sang Raja mulai kehilangan kesabaran. Buru-buru beliau menyiapkan
lagi kunjungan. Kali ini, ia membawa segepok uang tunai plus
barang-barang mewah untuk membuktikan bahwa kesejahteraan kerajaan
sebenarnya sudah lebih pulih dari sebelum tsunami.
Untung Ibu Suri ngeh, lalu dengan cepat mencegah. Sudahlah Anaknda
Baginda Raja, biar ibunda yang datang ke situ, jangan Paduka. Baginda
di istana saja, urusan korupsi makin menjadi, bereskan para pejabat
yang suka menjilat dan berhentilah anaknda Raja berpikir. Sekarang yang
diperlukan tindakan cepat.
"Keberagaman Kontra Keberbedaan"
Di awal tahun 60-an, ada kejadian penting di Bali yang tak
dirayakan. Sebuah peristiwa yang mungkin akan memerlukan waktu yang
panjang sekali untuk berulang. Hari Raya Nyepi, yang merupakan tahun
baru Caka Bali, jatuh bersamaan dalam satu hari dengan Hari Raya Idul
Fitri.
Nyepi yang berarti mati geni (tidak boleh menyalakan api, beremosi,
harus mawas diri dan berkontemplasi) mengharuskan orang Bali senyap.
Tidak satu pun orang boleh berkendaraan. Jalanan lengang. Tak ada yang
boleh bekerja. Lampu listrik padam, bahkan malam hari Rumah Sakit pun
diatur sedemikian rupa sehingga gelap. Tapi hal itu sama sekali tidak
memberi batas umat muslim yang hampir ada di setiap kota di Bali
merayakan kegembiraan dan kemenangannya di bulan Ramadan setelah
berpuasa selama satu bulan. Dua hal yang berbeda itu, berlangsung
berbareng dalam satu hari, tanpa mengurangi salah satunya. Aman dan
damai.
Peristiwa itu menjadi penting, ketika sesudah reformasi muncul
banyak bentrokan yang konon bersumber perbedaan agama di Indonesia.
Ambon, Poso dan yang terakhir di Bekasi, Jakarta, misalnya. Ada
tindakan kekerasan yang mengakibatkan perusakan keamanan di wilayah
yang harus dibayar dengan korban jiwa. Apakah kemerdekaan yang semula
diperjuangkan dengan cara meredam perbedaan agar dapat menjadi satu
persatuan yang kuat dalam melepaskan diri dari sekapan kolonial, telah
memicu perselisihan? Apakah kemerdekaan (khususnya sesudah reformasi)
membuat orang membablaskan kepentingan pribadinya, tak peduli
mengganggu kepentingan (kemerdekaan) warga lain?
Dalam kearifan lokal Bali ada yang disebut rwa bhineda. Dua hal
berbeda yang selalu ada pada segala sesuatu.Masyarakat dibelajarkan
sejak awal untuk menerima adanya yang berbeda dalam segala sesuatu.
Kearifan ini adalah semacam pembelajaran untuk melihat perbedaan itu
sebagai keragaman. Keragaman hanya masalah variasi nuansa. Dengan
merujuk pada falsafah negara Pancasila yang oleh Bung Karno,
pencetusnya, bisa dikristalisasikan menjadi eka sila yakni: gotong
royong, hidup dalam keragaman bukanlah cacat tetapi justru kekuatan.
"Empu"
Arum Tresnaningtyas Dayuputri
Seorang menjadi empu bila ia mencapai taraf tertinggi dalam
kemampuannya di sebuah bidang. Ia bagaikan cahaya bagi orang lain.
Memberikan arah, tuntunan, teladan, serta inspirasi bagi mereka yang
mengikuti jejaknya. Kebesarannya bukan karena dipujikan, bukan karena
keadaan sekitarnya yang membuat ia menonjol, bukan juga karena rekayasa
dan manipulasi, melainkan karena ia memang besar.
Kebesaran seorang empu tidak bisa diukur dengan angka. Tidak untuk
ditakar dengan penjumlahan. Akan tetapi, dari pengaruh, dampak,
kemanfaatan keberadaannya bagi lingkungan serta mereka yang disentuhnya
dengan langsung ataupun tak langsung. Dari akibat-akibat kehadirannya
yang menyebabkan terjadi perubahan, perkembangan bahkan mungkin saja
pembalikkan bahkan penyimpangan pada nilai-nilai untuk mencapai tingkat
yang lebih. Kebesaran seorang empu menciptakan nilai dan harmoni baru.
Oleh kebesarannya sekitarnya menjadi subur. Bertabur ion-ion segar
yang mendaur ulang pikir rasa sehingga merangsang semangat bekerja dan
mencipta. Empu adalah pupuk, perangsang, membuat kehidupan bergerak
menemukan jawaban-jawaban yang selaras dengan tuntutan dan tantangan
zaman. Seorang empu menjadi tiang utama dalam bidangnya.
Tetapi, empu adalah juga manusia biasa. Ia tidak bisa bebas dari apa
yang menjadi kebutuhan manusia lain. Kebesarannya tak selalu diikuti
dengan bonus yang pantas untuk semua jerih payah, perjuangan,
pengorbanan, dan pengabdiannya. Sering kali ia tak mendapatkan apa yang
seharusnya ia terima. Karena suntuk pada aktivitas-aktivitasnya yang
khusus, ia abai mengurus hidupnya sendiri. Pada saat orang menikmati
hari tua, banyak empu yang tak berdaya. Ia terpaksa harus membayar
kebesarannya dengan ketidaksejahteraan.
Tak sedikit empu lumpuh pada usia senja. Raga keropos walau
semangatnya mungkin masih berkobar. Atau jiwanya mulai lelah karena
seperti kepalanya selalu keseruduk bukit batu yang bebal. Beban yang
dipikulnya berlebihan. Ia sudah alpa mempersiapkan keamanan dan
kenyamanan akhir hidupnya karena pengabdiannya pada kerja. Memang semua
kebesarannya itu bermanfaat bagi banyak orang, bahkan juga negara,
tetapi sering terhadap dirinya sendiri tidak. Dalam keadaan tak
berdaya, banyak di antara empu yang kemudian diamdiam gugur, menghilang
lalu terhapus bahkan sejarah lupa mencatatnya.
Sekali-sekali negara terkesima, mendusin oleh kilat cahaya, lantas
teringat pada asetnya yang harus dipelihara. Bukan hanya minyak, gas
bumi dan kekayaan alam lain yang bisa diukur dengan angka saja, yang
harus dijaga, tetapi juga macan-macan tua yang sudah ompong. Lalu
dibuat panitia resmi untuk memberikan santunan kesejahteraan kepada
para empu. Meskipun sangat kecil, perhatian itu lumayan. Tapi baru
lewat setengah tahun, santunan surut lalu menghilang. Banyak
penyebabnya. Berjubel persoalan genting mendera. Syahdan, bantuan itu
tak pernah jelas, memang dihentikan atau berbelok ke bakul lain yang
rakus.
Para empu mungkin tidak peduli karena kebahagiaan batinnya sudah
terpenuhi. Kehadiran karyanya yang berarti, sudah ia anggap cukup.
Nyala di mata mereka yang memandangnya dengan kagum dan hormat adalah
segala-galanya. Bukan materi yang menjadi tujuannya, melainkan arti.
Bukan kenyamanan sendiri yang diburunya, tetapi kecukupan rasa orang
banyak. Baginya mengabdi adalah haknya. Ia tak peduli jadi pecundang
karena sudah menerima dirinya sebagai korban. Hidupnya adalah darma
pada masyarakat dan kehidupan.
Subscribe to:
Posts (Atom)