Laman
to night
Aku adalah binatang jalang yang menghembuskan angin kedinginan. apa pun bisa kita lakukan, biarkan Hayal mu melambung tinggi menikmati sensasi lambda sehingga hayalmu menembus batas, bangun ketika kau mulai lelah akan semua, bakarlah dinding-dinding yang membuatmu tidak mempunyai waktu untuk membuka sensasi Lamda. masih ingatkah kita pernah bercerita tentang puncuk-puncuk lambda di ketinggian 200Hez aku telah menemukan seluk beluk lambda. Mari bersama menembus batas normal, yang akan membuka tabir mimpi menjadi kenyataan. aku lambda yang membagunkan dengan Argumentum ad populum, wujud nyata, ilusi, melayang maya membuka tabir biru menjadi sir Lamda
Tuesday, March 27, 2012
Saturday, March 24, 2012
"Surti & Tiga Sawunggaling: “Harus Saya Selesaikan”
“Ini saya harus selesaikan. Harus selesaikan,” kata Surti
yang dimainkan oleh Ine Febriyanti pada akhir lakon Surti dan Tiga
Sawunggaling di Teater Salihara, Jakarta, akhir Juli lalu. Pementasan
ulang monolog, yang masih dikunjungi banyak penonton ini, disutradarai
oleh Sitok Srengenge.
Dihadapkan pada ruang serbaputih dengan tiga kain mori putih
berjuntai di atas panggung, ada kursi taman gandeng dan kerangka keranda
yang tegak bagai menara serta selembar mori yang sedang dilukis dengan
malam. Kemudian timbul-tenggelam dalam cahaya suram, terlihat Surti
menari.
Setelah itu, ia duduk di kursi gandeng dan mulai bertutur langsung
kepada penonton bahwa ia mengalami hal yang sangat sulit, yang hanya
bisa ia ceritakan saat sendiri seperti itu. Jen, suaminya, pemimpin
gerilya yang suka memburu mimpi, ditembak tanggal 14 bulan puasa di
jidatnya. Dia, oleh orang bertopeng, dituduh komunis. Para orangtua
memutuskan untuk tidak memandikan tubuhnya dan membiarkan saja lubang
berleleran darah beku di keningnya itu sebagai penanda perbuatannya.
Jen merebut Surti dari kekasihnya yang kemudian terlebih dulu mati
tertembak dan meninggalkan sepucuk pistol agar Jen tak hanya bermimpi.
Surti sangat menyesali perbuatannya, tetapi tak dapat mengingkari bahwa
sosok Jen telah menyedotnya sehingga ia penasaran dan meninggalkan
pacarnya.
Tetapi, ini bukan kisah cinta. Seorang Goenawan Mohamad (GM), sang
penulis naskah, tidak akan masuk ke wilayah itu. Ini adalah puisi
panjang tentang tiga ekor sawunggaling yang dilukis Surti di kain
morinya. Yang satu bernama Anjani, lainnya Bahir dan Cawir. Ketiga
burung itu gerah di kain mori yang masih kaku, lalu ke luar jendela dan
menjadi saksi pertempuran gerilya menentang Belanda, masing-masing
membawa ceritanya sendiri.
Sutradara memvisualkan dialog burung-burung itu dengan koreografi.
Ine Febriyanti, yang pernah kita saksikan main gemilang dalam lakon Miss
Julie, beberapa tahun lalu, di Graha Bhakti Budaya TIM, menarikan
gerak-gerik burung itu sambil berbicara. Tak ada salahnya bila
visualisasi dipakai untuk memperkaya sebuah pembeberan kata-kata di
lakon, ke atas panggung. Hanya saja, kata-kata Goenawan sudah begitu
kuat. Bahkan, selorohnya pun sudah terasa puitis. Menambahkan asesoris
pada kata-kata itu memerlukan kecermatan agar tidak jadi kenes, tetapi
memang bukan tak boleh. Dengan kreativitas tak ada yang bisa dilarang di
atas pentas.
GM—panggilan akrab Goenawan Mohamad—bukan saja penyair tetapi juga
esais terkemuka. Ia bahkan melontarkan filsafat dalam “bersin”-nya tanpa
ia sadari. Seluruh Surti malam itu terasa sebagai peragaan puisi dan
esai tentang rasa sunyi. Penonton diguyur oleh pikiran-pikiran tajam
yang kadang berbelok liar, mistis, tetapi juga spiritual dengan napas
kemanusiaan yang kental. Di sana-sini menggelepar kata-kata “bijak” yang
tidak bersinar karena didandani, tetapi karena pengertiannya yang
menyadarkan atau menggerus kita pada kisaran kesadaran baru.
"Tupping dan Sekuraan, Ekspresi Rasa Syukur Orang Lampung"
Salah satu bentuk ekspresi masyarakat Lampung yang
mempunyai nilai simbolis perwatakan manusia, sesuai ajaran moral dan
etika sosial budaya masyarakat pedesaan Lampung pada zamannya.
Idulfitri sudah datang, maka di Lampung, suasana menjadi meriah
karena topeng Lampung hadir lagi. Pesta rakyat khas provinsi yang
beribu kota Bandar Lampung ini biasa ditampilkan dalam rangkaian
Idulfitri untuk mengungkapkan rasa syukur, sukacita, sekaligus
perenungan terhadap sikap dan tingkah laku.
Sejak kapan masyarakat Lampung mengenal topeng, tidak diketahui
secara pasti. Yang jelas, parade topeng selalu mendapat sambutan karena
berbentuk arakarakan berkeliling desa dengan aneka atraksi. Topeng
menjadi media untuk menggambarkan berbagai karakter dan mimik
wajah—sedih, marah, senyum hingga tertawa—yang mereka tampilkan melalui
seni tupping atau sekura.
Tupping berkembang di Lampung Selatan, antara lain di Kuripan, Canti,
dan Kesugihan. Sedangkan sekura atau sekuraan di Lampung Barat, antara
lain di Belalau, Balik Bukit, Batubrak, Sukau, Kenali, dan Liwa.
Tari tupping dan sekuraan merupakan wadah masyarakat Lampung
mengungkapkan rasa syukur kepada Sang Pencipta. Semangat ini merupakan
nilai kearifan lokal yang perlu ditumbuhkembangkan para generasi muda
Lampung sehingga diharapkan di masa depan kita memiliki generasi muda
yang tangguh dan selalu mensyukuri nikmat dari Sang Pencipta
“Manortor” Bersama Sigale-gale"
Musik gondang sabangunan terus mengentak sigale-gale
bergoyang menari dan orang-orang pun bergantian manortor (menari). Kini
tarian itu bukan lagi ritual untuk menghormati leluhur, melainkan bagian
dari suguhan wisata.
MUSIK gondang sabangunan, sore itu, terus mengentak menyambut
kedatangan rombongan Temu Pusaka 2011. Wajah Merdi Sihombing, perancang
busana kondang dan pelestari ulos, tampak berbunga-bunga. Ia sibuk
mengawasi para pembantunya bekerja seraya menyambut kedatangan peserta
untuk makan siang sekaligus mengunjungi bengkel kerja dan pusat tenun
ulosnya di Samosir.
Jarum jam menunjukkan pukul 15.00 WIB. Waktu seminar berkepanjangan,
akibatnya peserta letih dan kelaparan. Maklum saja sebelumnya panitia
mengajak mereka menempuh perjalanan panjang dari Tuk-tuk. Sebagian
peserta langsung berhamburan menyerbu hidangan yang disediakan tuan
rumah. Sisanya, menyerbu ruang bengkel kerja Merdi Sihombing lalu
memotret gadisgadis yang asik menenun ulos.
Sementara itu, ibu-ibu langsung menuju sasaran melihat koleksi di
butik perancang busana yang sedang naik daun itu. Lembaran-lembaran
rupiah bertukar dengan ulos hasil karya Merdi Sihombing.
Selepas makan siang, musik gondang sabangunan makin mengentak,
apalagi paminta gondang (ketua kelompok) mulai mengajak manortor. Patung
sigale-gale, yang sejak tadi diam, mulai bergerak mengikuti irama
musik. Beberapa orang mulai turun manortor, tak ketinggalan I Gede
Ardika, Pia Alisyahbana, dan peserta dari India, Kanada, Malaysia, ikut
bergabung menari. Apalagi, Merdi Sihombing juga ikut nimbrung sambil
menyawer. Peserta lain pun segera mengikutinya.
Gondang Mula-mula mengawali hajatan itu lalu berturut-turut menyusul Gondang Somba, Gondang Mangaliat, Gondang Simonang-monang, Gondang Sibungajambu, Gondang Marhusip. Sukaria itu pun berakhir dengan Gondang Hasahatan Sitio-tio.
"Kemiskinan Bisa Disiasati"
Setelah Teater Populer, Teater Ketjil, Bengkel Teater, dan Studiklub
Teater Bandung (STB) ditinggal pendirinya, tinggal Mandiri dan Koma,
teater sezaman yang masih bertahan hingga kini. Berikut perbincangan E.
Pudjiachirusanto dari Warisan Indonesia dengan pendiri Teater Mandiri,
Putu Wijaya, dalam rangka ulang tahun ke-40 Teater Mandiri.
Wawancara dengan dramawan kelahiran Tabanan, Bali, 11 April 1944,
yang mendapat gelar Sarjana Hukum dari UGM Yogyakarta ini, berlangsung
di sela latihan “Aduh” di halaman rumahnya di Perumahan Astya Puri,
Tangerang Selatan.
Bisa diceritakan proses pendirian Teater Mandiri ini?
Sebelum saya ke Jakarta, saya sudah memiliki teater waktu kuliah di Yogyakarta. Ketika hijrah ke Jakarta, saya berkeinginan memiliki teater sendiri. Pada 1969 itu, Teater Ketjil sudah berdiri, Teater Populer juga sudah ada. Ketika tiba di Jakarta, saya bergabung dengan Teater Ketjil, juga Teater Populer, termasuk pernah ke Teater Wahyu Sihombing. Tapi, karena di Wahyu Sihombing banyak pemain, saya akhirnya tidak jadi bergabung.
Sebelum saya ke Jakarta, saya sudah memiliki teater waktu kuliah di Yogyakarta. Ketika hijrah ke Jakarta, saya berkeinginan memiliki teater sendiri. Pada 1969 itu, Teater Ketjil sudah berdiri, Teater Populer juga sudah ada. Ketika tiba di Jakarta, saya bergabung dengan Teater Ketjil, juga Teater Populer, termasuk pernah ke Teater Wahyu Sihombing. Tapi, karena di Wahyu Sihombing banyak pemain, saya akhirnya tidak jadi bergabung.
Saya lantas membuat pertunjukan di TVRI. Akhirnya, saya mencari nama
untuk teater ini. Waktu itu saya punya dua pilihan. Pertama, “Teater
Kita” artinya milik semua orang. Tapi akhirnya, saya memilih nama
“Mandiri”. Ketika itu kata “mandiri” masih terlalu asing. Pertama kali
saya dengar dari Prof. Djojodigoena, dalam kuliah sosiologi di UGM
Yogyakarta. “Mandiri”, sebuah kata Jawa, yang artinya mampu berdiri
sendiri, independen, tetapi tidak menolak bekerja sama. Saya sangat
tertarik dan jatuh cinta pada kata itu. Orang Indonesia harus mandiri.
Orang boleh pintar, rajin, tetapi yang paling penting adalah mandiri.
Pementasan pertama, “Orang-orang Mandiri” di TVRI yang masih hitam
putih. Pemainnya karyawan majalah Tempo, sekitar tahun 1971. Itulah yang
saya anggap sebagai awal berdirinya Teater Mandiri.
Apakah situasi sosial politik ketika itu memungkinkan bagi ekspresi seni, seperti dilakukan Teater Mandiri?
Kami lantas meneruskan pertunjukan di TVRI, sebelum tampil pertama kali di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada 1974. Ada dua pertunjukan yang disensor dan kemudian tidak ditayangkan. Sensor dilakukan karena pemerintah merasa terancam. Seniman-seniman, seperti W.S. Rendra sangat gerah dengan kondisi ini.
Kami lantas meneruskan pertunjukan di TVRI, sebelum tampil pertama kali di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada 1974. Ada dua pertunjukan yang disensor dan kemudian tidak ditayangkan. Sensor dilakukan karena pemerintah merasa terancam. Seniman-seniman, seperti W.S. Rendra sangat gerah dengan kondisi ini.
Tetapi, saya yang pernah belajar ilmu hukum (Selain kuliah di FH UGM,
juga pernah di Akademi Seni Rupa Indonesia, dan Akademi Teater Nasional
Indonesia—ketiganya di Yogyakarta, Red), mengerti bahwa hukum memang
untuk membatasi, sekalipun di zaman merdeka. Kita akan terus terbatasi
hukum bila jiwa kita tidak merdeka.
Ketika saya dilarang memakai pemain berambut gondrong, saya ikuti.
Ketika dua pertunjukan saya tidak ditayangkan, saya tidak marah. Karena
saya mengerti, tugas pemerintah memang melakukan pelarangan.
Apa filosofi Teater Mandiri hingga mampu bertahan sampai usia 40 tahun?
Sebagai orang kreatif, tugas saya menyiasati larangan itu dan berusaha berkelit darinya. Menyampaikan sesuatu, tetapi tanpa mengurangi maksudnya dan tidak terjegal oleh larangan. Ini yang melahirkan konsep “Bertolak dari Yang Ada”. Kalau kita menghadapi sesuatu, kita lihat dulu kondisi kita, lalu kita berangkat dari kondisi itu. Kalau saya dilarang ke kanan, saya tidak akan marah. Saya akan pergi ke kiri dulu, kemudian ke kanan. Karena kreativitas itu tidak bisa dipasung. Larangan itu tidak lantas membuat kita berpangku tangan. Waktu itu saya berpikir, berikan saya seribu larangan, saya akan mencoba mengelak dan tidak membatalkan niat saya.
Sebagai orang kreatif, tugas saya menyiasati larangan itu dan berusaha berkelit darinya. Menyampaikan sesuatu, tetapi tanpa mengurangi maksudnya dan tidak terjegal oleh larangan. Ini yang melahirkan konsep “Bertolak dari Yang Ada”. Kalau kita menghadapi sesuatu, kita lihat dulu kondisi kita, lalu kita berangkat dari kondisi itu. Kalau saya dilarang ke kanan, saya tidak akan marah. Saya akan pergi ke kiri dulu, kemudian ke kanan. Karena kreativitas itu tidak bisa dipasung. Larangan itu tidak lantas membuat kita berpangku tangan. Waktu itu saya berpikir, berikan saya seribu larangan, saya akan mencoba mengelak dan tidak membatalkan niat saya.
Misalnya, terjadi pada buku saya Stasiun, saya dilarang menggunakan
kata ‘ngeloco’. Buat beberapa teman, kalau dilarang menggunakan
kata-kata tertentu, dia urung menulis. Tapi buat saya, ketika kata
‘ngeloco’ dilarang, saya berkelit tanpa membatalkan niat saya
menyampaikan sesuatu kepada publik.
Itulah yang saya sebut sebagai “Bertolak dari Yang Ada”. Artinya,
memahami dan menerima kondisi, menggunakan kondisi yang ada, untuk
meraih cita-cita semaksimal mungkin. Ketika kita miskin, kita tak perlu
mengutuk kemiskinan itu, tetapi menerima dan menyiasati, tidak lantas
menjadi minder. Bagaimana memaksimalkan kemiskinan dengan kreatif untuk
mencapai hasil maksimal, itu yang utama.
"Angklung Indonesia, Jadi Warisan Dunia"
Plong! Mungkin begitulah perasaan Adhelina Pisca, saat
mendengar kabar bahwa angklung mendapat pengakuan UNESCO, sebuah
organisasi PBB di bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sebagai
warisan dunia asal Indonesia. Tahun lalu, tepatnya tanggal 19 Desember
2009, di sebuah laman berbahasa Indonesia, ia menulis kalimat dengan
nada seperti orang menjerit: “Jangan sampai Indonesia kecolongan lagi
sama Malaysia.” Jeritan itu muncul setelah ia membaca tulisan di sebuah
koran beberapa saat sebelumnya, berjudul “Angklung Terancam Dipatenkan
Negara Tetangga.”
Kegembiraan Adhelina Pisca boleh jadi mewakili rasa lega bangsa ini,
yang belakangan menyimpan keresahan dan kecemasan terhadap kekayaan
budaya dan hak milik bangsa sendiri karena usikan negara tetangga. Entah
mengusik soal reog-lah, lagu-lah, batik-lah, naskah-naskah kuno-lah,
hingga pulau-pulau terluar (terdepan).
Proposal pendaftaran angklung sebagai nominasi warisan budaya tak
benda (intangible heritage) asli Indonesia, diajukan ke UNESCO bulan
Agustus 2009, oleh belasan komunitas angklung yang tersebar mulai dari
Bandung, Cirebon, Bali, hingga luar Jawa. Kantor Kementerian Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Pendidikan, dan Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata ikut memfasilitasi penyusunan proposal itu.
Pengakuan UNESCO terhadap angklung tersebut memperjelas kehadiran
angklung Indonesia di mata dunia. Di samping itu, kini bertambah satu
lagi sumbangan kekayaan Indonesia pada kebudayaan dunia setelah wayang,
keris, dan batik mendapat pengakuan yang sama dari lembaga yang sama
pula. Kabarnya, kini tari Saman sedang antre untuk mendapatkan pengakuan
yang sama tahun 2011.
Dengan makin banyaknya kesenian dan produk budaya Indonesia
mendapatkan pengakuan UNESCO, makin banyak pula bukti yang menegaskan
bahwa bangsa ini kaya akan karya seni budaya. Konsekuensinya, tentu saja
semakin menuntut tanggung jawab kita bersama, terutama para pemangku
kepentingan—pelaku seni dan budaya yang bersangkutan, pemerintah,
tokoh-tokoh masyarakat, media, kalangan pengusaha sebagai maesenas—untuk
semakin peduli, merawat, dan mengembangkannya. Bukan sebaliknya, tambah
sombong dan terlena. Jika selama kemerdekaan Indonesia kebudayaan belum
pernah masuk ke dalam prioritas pembangunan, bukankah dengan adanya
pengakuan demi pengakuan UNESCO ini—di sisi lain kekerasan merebak di
mana-mana— merupakan momentum yang tepat bagi pemerintah pusat dan
daerah menjadikannya kebudayaan sebagai prioritas pembangunan. Selain
nilai, bidang kebudayaan juga sangat berpotensi untuk pengembangan
ekonomi kreatif.
"Tari Saman, Warisan Dunia,mengguncang hati"
Pemerintah daerah Aceh telah mendaftarkan Tari Saman
sebagai tari dunia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa dan sudah mendapat
nomor seri 00001. Jika sudah mendapat ketetapan dari UNESCO, Tari Saman
menjadi satu-satunya tarian daerah dari Indonesia yang menjadi warisan
dunia.
Tari saman—sebuah tarian yang menggabungkan seni suara, gerakan
badan, dan tepukan tangan sebagai pengganti musik pengiring—memang
sangat melekat dengan Aceh.
Para penari biasanya duduk berjajar dan tidak berpindah sepanjang
penampilan tari. Yang bergerak hanya tangan menepuk bahu dan paha, badan
naik-turun, dan kepala menggeleng ke kiri dan ke kanan.
Gerakan tari diawali dengan ritme yang lambat, semakin lama semakin
cepat, bahkan sangat cepat, seiring nyanyian syair yang dilantunkan oleh
seorang syekh pemimpin para penari itu. Tari ini biasanya dimainkan
oleh belasan sampai puluhan laki-laki dalam jumlah ganjil.
Hampir semua tarian Aceh dimainkan secara beramairamai. Tak
terkecuali tari saman yang dimasukkan ke dalam jenis kesenian ratoh duek
(tari duduk). Keseragaman formasi dan ketepatan waktu dalam bergerak
adalah suatu keharusan agar gerak tarian tetap harmonis dan sempurna,
meskipun dilakukan dengan gerakan yang sangat cepat.
Tari saman dianggap tarian suku Gayo, sebuah suku Aceh yang terletak
di wilayah pedalaman dan pegunungan Aceh. Tepatnya di wilayah Aceh
Tengah. Tarian ini biasa ditampilkan untuk merayakan peristiwa-peristiwa
penting dalam adat, juga untuk merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad
SAW.
Tarian yang diyakini erat kaitannya dengan masuk dan berkembangnya
agama Islam di Nusantara, khususnya di wilayah Aceh, biasanya
menggunakan syair berbahasa Arab dan bahasa suku Gayo. Konon penciptaan
tari saman adalah untuk berdakwah menyebarkan agama Islam. Itulah
sebabnya tarian saman ini sangat kental dengan keislamannya.
Ada keyakinan pula bahwa tari saman erat kaitan dengan tarekat
Samaniyah yang masuk ke Aceh dan Palembang sekitar abad ke-18, dibawa
oleh Abdul Saman al-Palimbani, salah satu murid Syekh Abdulkarim
al-Hasan as Samani Almadani sebagai pencipta tarekat Samaniyah.
“Syekh Abdulkarim al-Hasan as Samani Almadani tidak pernah
menjejakkan kaki di bumi Nusantara untuk mengembangkan tarekat
Samaniyah. Tarekat ini sampai ke Nusantara melalui muridnya yang disebut
Ulama Empat Serangkai yang salah satunya adalah Abdul Saman
al-Palimbani,” kata Iman Juani, seorang penari saman Aceh, yang sedang
meneliti asal-usul tari saman.
Keempat murid Syekh Abdulkarim al-Hasan as Samai Almadani sampai ke
Nusantara dan mulai menyebarkan agama Islam ke beberapa daerah di
Nusantara, antara lain ke Makassar, Bugis, Palembang, dan Aceh. Abdul
Saman al-Palimbani merupakan syekh yang mengembangkan tarekat Samaniyah
di Palembang dan Aceh.
“Dalam akar saman, ada ratip atau zikir dengan identitas tersendiri,
yaitu menggoyangkan badan ke kiri dan kanan, berzikir, dan bertepuk. Di
Aceh, akar Saman sudah ada sebelumnya, tetapi belum islami,” kata Iman
Juani.
"Hitam-Putih Tenun Toraja"
Aneka tenun tradisional Indonesia seolah tidak akan habis ditelusur. Selain dikenakan sebagai busana sehari-hari, di beberapa etnis, tenun juga menjadi busana utama saat berlangsung upacara adat ataupun hari besar keagamaan. Itulah sebabnya banyak ragam tenun di penjuru Nusantara ini. Pada suatu masa, corak kain tenun yang menjadi primadona dapat digunakan sebagai alat tukar jual-beli. Namun, kain-kain buatan masa lampau tersebut tidak bisa lagi kita nikmati saat ini, selain tidak lagi diproduksi, daya tahan seratnya luruh karena suhu dan kelembaban iklim tropis.
Begitu pun tenun asal Toraja. Sudah banyak ragam dan motifnya yang tidak diketahui lagi oleh para penerus zaman. Padahal, tenun Toraja memiliki sejarah ragam tekstil sebagai salah satu perlengkapan upacara adat kematian Toraja.
Ribuan tahun yang lalu, tenun Toraja dibuat dari kulit kayu. Kemudian material tersebut berubah lebih maju menjadi serat nanas. Konon, kain tersebut lebih sering digunakan untuk membungkus mayat karena daya serapnya tinggi. Setelah pedagang India dan Gujarat mendarat di Palopo—pantai barat Toraja sekitar 60 kilometer dari Rantepao— dikenallah campuran kapas. Kemudian kain tenun dibuat dari serat nanas yang ditambahkan serat kapas tanpa dipintal sehingga bahannya sedikit lembut. Kain tenun tersebut sudah berfungsi sebagai penutup badan.
Awal mulanya produksi kain tenun Toraja memang sulit diketahui secara pasti, kapan kegiatan menenun itu dilakukan dengan alat apa mereka menenun dan bagaimana warna serta ragam corak yang dihasilkan. Konon, menenun dimulai setelah masyarakat Toraja membangun rumah tinggal yang representatif dan dapat menjadi tempat kegiatan (Said, 2004: 152). Dalam menciptakan corak dan motif untuk menghias tenun, beberapa tokoh Toraja berkeyakinan bahwa ragam tersebut diperoleh dari meniru motif ukiran yang terdapat di tongkonan—rumah adat. Namun, jika melihat perkembangan zaman dan peradaban, motif garislah yang lebih dulu ada dibandingkan tongkonan
Ubud Writers & Readers Festival – Nandurin Karang Awak
Perhelatan Yayasan Saraswati yang sudah melahirkan Ubud Writers &
Readers Festival (UWRF) tahun ini semakin semarak, heboh, dan menarik.
Kenduri yang berlangsung sejak 8 tahun ini dijuluki “Among The Top Six
Best Literary Festivals in The World” oleh Harper Bazaar, United
Kingdom. Apalagi, kali ini tema sentralnya bertajuk “Nandurin Karang
Awak (Cultivate The Land Within)”, kalimat yang direnggut dari salah
satu geguritan—syair yang dinyanyikan—karya pujangga dan pendeta besar
Bali yang sangat dihormati: Ida Pedanda Made Sidemen.
“Dalam karyanya itu, Ida Pedanda Made Sidemen menitipkan pesan kepada
kita,” tulis Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika, di dalam buku acara,
“agar mengisi hidup ini dengan menimba ilmu sebanyakbanyaknya dan
selalu berpegang pada kebenaran. Beliau yakin, hanya dengan pengetahuan
dan keluhuran budi, manusia akan dapat mengatasi segala tantangan
hidup.”
Bupati Gianyar Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati menyatakan, tema besar itu mengandung nilai-nilai
kearifan lokal, tradisi, dan spiritualitas Bali. “Yang nantinya diharapkan menjadi inspirasi bagi para peserta festival dalam berkarya dan berdialog dengan mengedepankan dimensi kesederhanaan hidup, kekayaan batin, dan kemerdekaan jiwa.”
kearifan lokal, tradisi, dan spiritualitas Bali. “Yang nantinya diharapkan menjadi inspirasi bagi para peserta festival dalam berkarya dan berdialog dengan mengedepankan dimensi kesederhanaan hidup, kekayaan batin, dan kemerdekaan jiwa.”
Sementara Tjokorda Raka Kertyasa, sebagai pembina festival, bertanya,
apa yang kita tanam dalam diri kita? Jawabannya, “Tubuh ini adalah
bumi, yang terdiri dari lapisan-lapisan, elemen-elemen Panca Maha Butha
dan roh atau jiwa.”
Wayan Juniartha, koordinator program untuk Indonesia, menjelaskan
lebih lanjut bahwa Nandurin Karang Awak (menanami tanah sendiri) ada
dalam geguritan Salampah Laku, puisi panjang tradisional. Dalam
geguritan itu disebutkan: “… idep beline mangkin, makinkin mayasa lacur,
tong ngelah karang sawah, karang awake tandurin… (kehendak kakanda
sekarang, mulai melakukan tapa kesederhanaan, tidak memiliki tanah
sawah, maka tubuh diri-lah yang ditanami).”
“Mengolah diri sendiri sebagaimana mengolah sawah—menyebarkan benih
kebajikan, memotong rumput-rumput keinginan, serta memanen dengan
saksama agar hanya biji budi terbaik yang dihasilkan—merupakan konsep
filosofis penting dalam tataran spiritual Bali,” kata Juniartha kepada
Warisan Indonesia
Di Tangan Anak-anak, Gambuh Kembali Menggeliat
Gambuh diperkirakan sudah ada sejak abad ke-15 dan terus
mengalami evolusi sampai abad ke-17. Mengalami balinisasi pada abad
ke-19 sampai dengan abad ke-20. Gambuh nyaris mati pada abad ke-21,
tetapi bangkit lagi melalui anak-anak.
Di panggung terbuka di depan angkul-angkul (gapura Bali),
lima anak perempuan menari dengan gerakan-gerakan gemulai dan ritmis,
diiringi seruling dan gamelan yang mendayu-dayu. Mereka menarikan
Condong dan Kakan-Kakan sambil saling sapa, menyambut kedatangan Galuh.
Kemudian Galuh tampil dengan tari yang halus, luwes, lembut, dan
berdialog dengan bahasa Kawi (Jawa Kuno), menceritakan situasi dan
kondisi di sekitarnya. Para penari kemudian keluar dari panggung.
Pada babak selanjutnya, muncul peran Prabangsa (patih), Kade-Kadean
(arya), dan Demang Tumenggung. Mereka tampil menari secara bergantian
dengan gerakan-gerakan yang berwibawa disesuaikan dengan karakter
masing-masing. Gerakan mereka diikuti oleh para punakawan dengan tari
dan lawakan-lawakan yang lucu dan segar, menyambut kedatangan tokoh
Panji (pangeran). Kemudian Panji tampil di hadapan para abdinya dan
cerita melangkah ke babak selanjutnya. Itulah sekelumit adegan dalam
sebuah pementasan gambuh yang menceritakan perjalanan Ratna Manggali
mencuri kitab Lontar Takepan Danta milik Ni Calonarang untuk
diserahkan kepada mertuanya, Mpu Baradah. Ratna Manggali adalah putri
kesayangan Ni Calonarang yang dipersunting oleh Mpu Bahula atas perintah
Mpu Baradah guna menyingkap rahasia kesaktian Ni Calonarang dan
menetralisasi kekuatan buruk kitab sakti itu.
Sensasi Musik Batu di Goa Tabuhan
Tidak bisa membayangkan stalaktit-stalakmit bisa
menghasilkan suara indah? Memang, harus ke Goa Tabuhan untuk membuktikan
hal itu.
Di dalam sebuah ruangan gelap, tujuh orang, terdiri empat pria dan
tiga perempuan, memosisikan diri di sela-sela stalaktit dan stalakmit
(batu goa yang menjulur dari atas dan dari bawah). Hanya dalam hitungan
detik, mengalunlah gending-gending Jawa yang dimainkan para personel
musik tradisional tersebut.
Tembang Jawa “Nyidam Sari” mengawali alunan merdu dari suara tiga
perempuan yang bertindak sebagai sinden atau penyanyi. Sesekali
senggakan mantap keluar dari vokal waranggana atau penabuh gamelan. Lima
lagu Jawa mereka lantunkan dalam waktu tak lebih dari 20 menit.
Meskipun singkat, tetapi penonton dan penikmat benar-benar merasakan
sensasi musik tradisional itu.
Ya, karena alunan tembang-tembang Jawa ini—lain dari biasanya—tidak
diiringi gamelan lengkap, seperti saron, kenong, kempul, gambang, rebab,
dan gong. Namun, hanya dengan kendang, sebagai alat asli perangkat
gamelan, yang dipadu dengan pukulan stalaktit dan stalakmit, jadilah
alunan gamelan Jawa yang tak kalah indah suaranya.
Sensasi musik tradisional ini bisa kita saksikan hanya di Goa
Tabuhan, yang terletak di Desa Wareng, Kecamatan Punung, Kabupaten
Pacitan, Jawa Timur. Berjarak sekitar 25 kilometer arah barat dari pusat
kota Pacitan, dan sekitar 100 kilometer dari arah kota Solo. Jika dari
Solo, Goa Tabuhan bisa ditempuh melalui rute
Solo-Wonogiri-Baturetno-Giriwoyo-Donorojo-Goa Tabuhan.
Mitos Negeri Kayangan
Ratusan gunung yang menghias Nusantara banyak menjadi tempat tujuan
wisata di daerah ketinggian dengan hawa sejuk. Sebutlah Berastagi di
Sumatera Utara; Bukit Tinggi di Sumatera Barat;
Kawasan Puncak Pass, Pengalengan, dan Kawah Putih di Jawa Barat; bahkan berbagai tempat lain hingga ujung timur Indonesia.
Namun, bisa jadi hanya Dataran Tinggi Dieng yang memiliki puluhan
titik wisata dalam satu kawasan. Daya tarik Dieng tidak sebatas
keindahan alam nan eksotis. Mitos yang menyelimutinya semakin menjadi
pesona sekaligus magnet kunjungan turis lokal dan mancanegara.
Mitos anak gembel dari Dieng, misalnya. Kisah misteri keberadaan
anak-anak itu begitu tersohor. Rambut mereka menjadi kaku tidak tercipta
sejak lahir atau karena kesengajaan. Penyebabnya justru berlangsung
saat usia anak di bawah lima tahun. Diawali oleh demam tinggi, keesokan
harinya beberapa helai rambut menyatu jadi gimbal.
Saat proses rambut seorang anak menjadi gimbal, demam bisa datang
berulang. Anehnya, penampilan si anak gembel berubah kusam. Meskipun
mandi dan keramas, kulit mereka seolah tak terawat. Ketika rambut
gimbalnya dipotong, anak yang menderita “penyakit aneh” ini jatuh sakit
lagi dan rambutnya kembali mengeras.
Belum ada yang bisa menjawab fenomena ini. Tak banyak kajian ilmiah
yang membahasnya. Ketika dugaan penyebab gimbal berhubungan dengan
kebersihan anak dan keluarganya, nyatanya “kejanggalan” juga terjadi
pada keluarga dengan tingkat sanitasi di atas rata-rata. Contoh nyata
tampak pada Muhammad Alfarizi Masaid, siswa kelas III SD. Rambutnya gimbal, sementara adiknya berambut normal. Mereka berdua dibesarkan
pasangan suami-istri petani kentang yang cukup berhasil.
Pasar Tradisional di Kanvas Para Pelukis
Pasar tradisional, tempat transaksi pedagang dan pembeli,
itu termasuk salah satu objek favorit para pelukis tradisional, mulai
dari modern hingga kontemporer. Apanya yang menarik?
Di kota-kota besar di Indonesia, pasar-pasar tradisional sudah
tergantikan oleh supermarket dengan beragam merek, baik merek asli dalam
negeri maupun waralaba asing. Namun, di desa-desa, pasar tradisional
masih berjaya, meskipun sudah terancam minimarket lokal yang mulai aktif
masuk desa.
Salah satu keunggulan pasar tradisional adalah selalu tersedia ruang
tawar-menawar sehingga pembeli tertantang untuk mendapatkan barang bagus
dengan harga murah, sedangkan penjual tetap bisa mengambil keuntungan.
Dalam proses tawar-menawar hingga tercapai titik sepakat atau tidak
sepakat itulah muncul “perasaan tertentu” yang tidak didapatkan di
supermarket, minimarket, dan hipermarket yang harganya tidak bisa
ditawar lagi. Dalam proses tawarmenawar itu pula pedagang dan pembeli
dilatih untuk saling meluluhkan hati “lawan” dengan cara yang santun.
Dalam ranah seni rupa Indonesia, kehidupan pasar tradisional banyak
diangkat para pelukis ke atas kanvas. Tentu saja dengan alasan
masing-masing. Mulai dari kekayaan warna yang ditimbulkan dari kostum
penjual dan pembeli, kekayaan garis bidang dan ruang, kekayaan gerak,
hingga yang sudah disinggung di atas—ekspresi individu ataupun kelompok
dalam proses transaksi dan pergerakan di dalam ruang. Di samping itu,
setiap pasar juga menawarkan bentuk-bentuk arsitektur yang menunjukkan setting pasar,
juga isi dari pasar tersebut sesuai dengan jenisnya—mulai dari pasar
ikan, pasar burung, pasar buah, pasar kambing, hingga pasar yang menjual
sayur-mayur, bahan kebutuhan pokok, dan kebutuhan sehari-hari lain.
Belum lagi bau pasar yang mempunyai aroma khas. Dinamika pasar seperti
itu menantang pelukis untuk bisa “menaklukkan” secara artistik.
Lengger Banyumas – Masak Porno, Sih?
Gerakan-gerakan tarian lengger yang erotis dianggap porno. Padahal, tarian itu awalnya kesenian keagamaan lokal.
Dua penari wanita muda usia—mengenakan kain dengan bagian dada
terbuka, berkalung selendang, dan rambut disanggul—muncul dari arah yang
berlawanan, diiringi tetabuhan yang keluar dari berbagai alat musik,
seperti gendang, gender, dan calung dari bambu. Irama yang rancak
membuat geyol si penari semakin mantap. Sambil menyanyi, mereka
menarik penonton laki-laki dengan selendangnya. Begitulah awal
pementasan tari lengger.
Di bagian yang disebut babak lenggeran ini, kedua lengger (penari) memperkenalkan diri kepada penonton, kemudian menyanyi dan menari. Di sini sudah ada saweran dari penonton pria yang terkesima dengan geyol si penari yang erotis.
Adegan seperti itulah yang membuat tari tradisi dari Banyumas ini
pernah dilarang oleh pemerintah daerah setempat. Tarian itu dianggap
melanggar Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi.
Pembuatan film berjudul Kelas 5000-an, yang terpilih sebagai
film cerita pendek terbaik di ajang Festival Film Indonesia 2010,
terinspirasi dari kehidupan penari lengger. Film yang disutradarai oleh
Jihat Ajie itu mengisahkan penari lengger bernama Tantri. Ibunya
menyarankan agar Tantri mencari pekerjaan lain, tetapi Tantri sudah
telanjur mencintai pekerjaan yang ia warisi dari ibunya itu.
Setiap Tantri manggung, selalu ramai pengunjung—terutama
lelaki. Yang artinya banyak rezeki. Namun, pihak keamanan membubarkan
pertunjukan Tantri karena dianggap mendatangkan keonaran dan melanggar
Undang-Undang Pornografi. Padahal, Tantri tidak paham apa itu
Undang-Undang Pornografi. Yang ia tahu hanyalah menari dan pulang
membawa uang untuk anak semata wayangnya dan ibunya yang renta.
Naskah Melayu Kuno yang Terserak
Setumpuk naskah lama tergeletak di lemari. Berhuruf Melawi Jawi atau Arab Gundul. Naskah berjajar tak teratur. Terserak bersama sekumpulan buku kuno. Kunci lemari terbuat dari gerendel kecil, mudah dibungkas. Rumah berarsitektur khas Melayu tersebut tak ada yang merawat. Pekerja pembangunan masjid menjadikannya gudang dan ruang rehat. Tumpukan sekop, panci, dan kompor bercecer di segala ruang. Naskah dan rumah sama tak terawatnya. Itulah ironi rumah khas Melayu di Kampung Dagang, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Rumah itu milik ulama terkenal di Sambas, Basuni Imran, yang bergelar “Sang Maharaja Imam”. Rumah Basuni Imran diperbaiki untuk dijadikan museum, tetapi perbaikan dan pengisian benda sejarah tak kunjung usai. Semua terbengkalai. Kabupaten Sambas terletak di ujung pantai utara Kalimantan Barat. Berjarak sekitar 225 kilometer dari Kota Pontianak. Sambas pernah jadi perlintasan budaya, agama, perdagangan, dan jalur ekspansi antarnegara. Hal itu bisa dilihat dari berbagai barang kuno yang ditemukan di Sambas, misalnya, patung Buddha Mahayana terbuat dari emas dan perunggu yang dianggap sebagai patung Buddha tertua di Indonesia. Sayangnya, patung itu tiba-tiba raib dan muncul di Balai Lelang Southeby’s, London tahun 2002. “Sambas jadi salah satu pintu masuk ke wilayah Nusantara,” kata Mul’am Kusairi, pencinta barang kuno dan seni di Sambas dan juga mengajar kebudayaan dan kesenian Melayu Sambas di salah satu universitas di Malaysia. Hal itu bisa dilihat dengan ditemukannya kontrak dagang pada 1609, antara kesultanan Sambas dengan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Sambas masuk dalam jajaran sejarah perekonomian awal di Indonesia. Juga ditemukan berbagai senjata dari Eropa di Sambas, seperti pedang, meriam, dan lainnya. Artinya, banyak orang meninggal di Sambas. Dalam ketentaraan, senjata tidak boleh ditinggal. Kecuali ditawan atau dibunuh. Senjata yang ditemukan sebagian besar pedang perwira. Pedang perwira banyak hiasan dan inisial. Pedang prajurit tidak ada hiasan dan inisial. Senjata ditemukan di tempat yang dianggap sarang lanun atau perompak. Pedang sebagian besar dari Inggris, Belanda, Prancis, dan Amerika Serikat. Pedang Moghul atau India juga banyak. Rata-rata buatan abad ke-17 hingga abad ke-18 | |
Wednesday, March 21, 2012
Wednesday, March 7, 2012
ci
PT BSS Mangkir DPRD Merasa Dilecehkan
MUSI RAWAS-Rapat mediasi lanjutan sengketa lahan
masyarakat dengan PT PT Buana Sriwijaya Sejahterah (BSS) di DPRD Kabupaten Musi
Rawas (Mura) tampa
dihadiri oleh perwakilan PT BSS. Anggota DPRD Kabupaten Mura, Zainudin Anwar
mengaku kecewa karena pihak PT BSS tidak hadir dalam rapat lanjutan mengenai
tuntutan warga Kecamatan Nibung.
Bahkan Zainudin merasa dilecehkan oleh PT BSS.
“Kami cuma mempasilitasi antara warga dan PT BSS agar
persoalan tersebut dapat diselesaikan. Tapi pihak PT BBS tidak hadir memenuhi
undangan kami artinya mereka (PT BSS) melecehkan lembaga DPRD,” kata Zainudin
saat rapat di Gedung DPRD Kabupaten Mura, Rabu (7/3) sekitar pukul 9.30 Wib.
Rapat tersebut merupakan lanjutan dari rapat sebelumnya
dilaksanakan padaq (27/1) lalu. Ditambahkan Zainudin, masyarakat Nibung merasa
lahan mereka diserobot oleh PT BSS
“ lebih baik kami membela rakyat daripada membela
investor asing sebab, investor Cuma ada selama sumber daya alam masih ada di
nibung, sedangkan rakyat selalu ada karena mereka memang tinggal di situ, di
nibung, kami bukan mencari kambing hitam tetapi kami hanya mempasilitasi
masyarakat dengan PT BSS agar ketemu dan masalahnya menjadi klir,kota Musi
Rawas ini nomor 5 daerah di sumatra selatan yang termasuk rawan komplik ” ujar
zainudin
“ bila tidak ada untung buat masyarakat, buat apa adanya
investor asing setuju tidak setuju adalah hak masyarakat kita sudah menurunkan
tim dan sudah di cek banyak lahan produktif milik rakyat yang sejak dulu
tinggal disitu yang di serobot PT BSS ” tarmizi
Masyatakat menuntut, agar pemerintah mencabut hak izin PT
BSS karena dianggap telah menyerobot tanah warga Nibung , PT BSS harus
mengembalikan lahan yang telah di kelola oleh warga, PT BSS di tuntut agar
tidak menggarap lahan sebelum adanya keputusan atau ketetapan, dan lahan yang
di jadikan plasma harus jelas batasan batasanya.
Menurut laporan Tarmizi yang berkedudukan sebagai Camat
desa Nibung lahan yang ada di 5 desa yang terdiri dari lahan produktif dan
lahan tidak produkrif, Jati mulya, SP 8, SP 10, SP 11 dan tebing ringgi di
perkirakan sekitar 29.000 Hektar dan lahan yang di kuasai oleh PT Buana
sriwijaya sejaterah (BSS) sekitar 20.000. Hektar, terdapat perbedaan yang
sangat mencolok antara kapasitas lahan milik warga dengan lahan PT BSS yang di
persengketakan, dan hasil sementara belum bisa mengambil keputusan karena tidak
hadirnya sebelah pihak dari pihak sebelah PT BSS yang mangkir dari rapat.
Kesimpulan yang dihasilkan oleh DPRD Musi rawas , hanya
akan di agendakan kembali, dan bila pihak dari PT BSS mangkir kembali DPRD
akan menggunakan aparat, untuk sementara
PT BSS tidak boleh melakukan aktivitas di lahan sengketa, dan 500 hektar lahan
digunakan untuk plasma, PT BSS harus ikut memelihara jalan yang di
lewati.(Mg02)
Subscribe to:
Posts (Atom)