Laman

to night

Aku adalah binatang jalang yang menghembuskan angin kedinginan. apa pun bisa kita lakukan, biarkan Hayal mu melambung tinggi menikmati sensasi lambda sehingga hayalmu menembus batas, bangun ketika kau mulai lelah akan semua, bakarlah dinding-dinding yang membuatmu tidak mempunyai waktu untuk membuka sensasi Lamda. masih ingatkah kita pernah bercerita tentang puncuk-puncuk lambda di ketinggian 200Hez aku telah menemukan seluk beluk lambda. Mari bersama menembus batas normal, yang akan membuka tabir mimpi menjadi kenyataan. aku lambda yang membagunkan dengan Argumentum ad populum, wujud nyata, ilusi, melayang maya membuka tabir biru menjadi sir Lamda






Friday, April 20, 2012

"Ramadan Multikultur, di Wajah Indonesia"

Warisan Indonesia/Hardy Mendrofa
Ramadan bagi masyarakat Indonesia—yang penduduknya mayoritas muslim—tidak sekadar ritual peribadatan, tetapi sekaligus karnaval kehidupan. Bukan saja kaum muslim yang sibuk menyiapkan diri, melainkan juga kalangan nonmuslim. Indonesia tidak monolitik. Kalau ada yang berupaya menghadapkan secara diametris dengan saudara sebangsa yang berbeda agama, tentulah itu upaya politik yang keji, karena realitas kultural kita memang beraneka.
DI Kampung Pekojan, kawasan pecinan kota Semarang, Jawa Tengah, hari-hari ini tampak berbeda dari biasanya. Kawasan padat yang menjadi pusat bisnis itu setidaknya dihuni empat etnis berbeda: Jawa, China, Arab, dan India.
Selama bulan Ramadan, seluruh penghuni kampung sibuk menyiapkan makanan khas berbuka puasa (takjil) bubur india yang disajikan di serambi Masjid Jami’ Pekojan, yang dibangun pada 1799 oleh H Muhammad Azhari Akwan itu.
Diungkapkan Ali Baharun, takmir Masjid Jami’ Pekojan, kerukunan antaretnis dan agama di wilayah itu sudah terjadi turun-temurun. Meskipun Masjid Jami’ berada di lokasi yang “unik”, tak pernah ada gangguan sedikit pun. Toleransi tinggi terus dipegang setiap warga di kawasan masjid itu. “Ketika ada kerusuhan antaretnis Jawa dan China pada 1981, di kawasan masjid ini tak pernah ada gesekan sedikit pun,” ungkap Baharun.
Ada pemandangan lain begitu masuk di pintu gerbang masjid. Di sana terdapat sejumlah makam tua yang nisannya masih terjaga. Setidaknya ada dua kompleks makam terpisah di areal dalam masjid. Makam tersebut adalah makam para keturunan pendiri masjid, imam masjid, ataupun takmir.
Salah satu makam, yang banyak diziarahi adalah makam Syarifah Fatimah, seorang perempuan keturunan Gujarat yang dimakamkan pada 1290. Konon, perempuan itu dulunya dikenal suka menolong sesama, hingga jalan kampung di sekitar masjid pun kemudian diberi nama Petolongan. – EP, Tim peliput: Don (Jakarta), Iyan DS (Semarang dan Solo), Wayan Sunarta

"Pencangkokan Nurani demi Kebangkitan"

Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)

Ada 12 naskah drama yang ditulis Bung Karno di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Semuanya pernah dipentaskan di sana. Jumlah itu tidak termasuk beberapa lakon yang ditulisnya di Bengkulu.
Lakon-lakon itu seakan lenyap di tengah kemasyhuran Bung Karno sebagai orator penggerak revolusi, pendiri, dan proklamator Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untunglah dalam rak rumah Bung Karno di Ende masih ada fotokopi “aslinya”. Dari para anggota teater Bung Karno di Ende diketahui kedua belas naskah drama yang ditulis Bung Karno di Ende berjudul: Kutkutbi, Rahasia Kelimutu, Aero Dinamit, Dokter Sjaitan, Anak Haram Jadah, Maha Iblis, Amoek, Sanghai Rumba, Gera Ende, Indonesia 1945, Rendo, dan Jula Gubi.
Setelah pembuangan di Ende (14 Januari 1934 sampai 18 Oktober 1938), BK dibuang kembali ke Bengkulu, juga selama empat tahun. Di sana ia menikahi Fatwamati (1943) yang memberinya lima orang anak, yaitu Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.
Selama di Bengkulu (1938-1942) BK juga membangun kelompok teater. Naskah-naskah yang dimainkan di Bengkulu sebagian berasal dari naskah Ende, tetapi ada juga naskah baru, antara lain Rainbow (Poetri Kentjana Boelan); Chungking-Djakarta, Si Kecil; Hantoe Goenoeng Boengkoek.
Seusia dengan Toneel Klub Kelimutu, ada kelompok tonil lain yang terkenal bernama Dardanella. Namun, naskah mereka tidak seperti naskah-naskah BK. Lakon Bung Karno dengan sangat sublim menyulut “gerakan pemberontakan”. Beberapa anggota Toneel Klub Kelimutu membenarkan bahwa BK selalu membangkitkan “semangat pembangkangan” terhadap Belanda.
Lakon Indonesia 1945 konon ditulis atas pesanan Tuan Natahan, orang Filipina yang memimpin sandiwara keliling. Drama itu berisi ramalan akan tiba saatnya bangsa Asia bangkit dan memberontak terhadap penjajah kulit putih. Kemudian Indonesia 1945 menjadi kenyataan: Indonesia merdeka pada tahun 1945 dan diproklamasikan oleh penulisnya sendiri.

"Bumi Tempat (Sikerei) Berpijak kaki"


Mentawai sudah banyak diincar wisatawan. Mempertahankan kehidupan tradisional untuk tujuan pariwisata.
Kabupaten Kepulauan Mentawai dikukuhkan tahun 1999 dengan ibu kota Tua Pejat, Sipora—sebuah kota pelabuhan. Uniknya, letak kantorkantor pemerintahan jauh dari pelabuhan. Lewat jalan berliku dan menanjak, kita bisa melihat deretan kantor departemen sepanjang puluhan kilometer. Apakah pemerintah sebetulnya juga percaya pada ajaran nenek moyang orang Mentawai bahwa sebaiknya tidak membangun permukiman di dekat pantai?
Menurut salah satu cerita rakyat, Mentawai berawal dari dua perahu besar yang pergi meninggalkan Padang menuju arah barat. Di tengah perjalanan, kedua perahu tersebut berpisah. Sebelum berpisah, sebagai tanda pengenal bila bertemu kembali, mereka mematahkan kulit kerang dan batu gosok menjadi dua. Separuh bagian disimpan oleh setiap nakhoda.
Setelah lama mengembara, kedua perahu besar tersebut bertemu kembali, tetapi malah bertempur. Untunglah semua terselamatkan berkat kecocokan potongan kulit kerang dan batu gosok tersebut. Satu perahu kembali ke Padang, sementara yang lain tetap bertolak menuju Pulau Siberut, yang akhirnya menjadi nenek moyang penduduk Mentawai.
Versi lain menceritakan tentang Ama Tawe, seorang lakilaki dari Nias yang sedang mencari ikan di laut. Badai yang tiba-tiba menghantam, membuat pria itu terdampar di muara Simatalu. Di situ ia menjumpai banyak pohon sagu dan keladi, yang menjanjikan lokasi subur. Maka dibuatnyalah perahu besar untuk menjemput istri dan anak-anaknya hingga akhirnya terciptalah nama Mentawai.
Kisah yang kedua itu mendapat banyak dukungan karena dalam bahasa Mentawai memang terdapat banyak persamaan dengan bahasa Nias. Contohnya, ‘kucing’ dalam bahasa Nias dan Mentawai sama-sama disebut ‘mao’. Dalam penyebutan bilangan 1-10, hanya angka 9 yang berbeda. Selain itu, ditemukan pula seni tato di sebelah selatan Pulau Nias.
Pada akhirnya, hipotesis ini terbantahkan karena berbeda dengan Nias, masyarakat adat Mentawai tidak pernah memasuki zaman logam. Soal kemiripan bahasa, hal itu wajar karena berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu Yunan di Selatan Cina.

"Didik Nini Thowok: Tarian Lintas Gender Itu Mistis unik"



Dalam dunia seni tari, nama Didik Nini Thowok amat fenomenal. Modalnya tak cuma kemampuan meliukkan anggota badan dan tubuh bak gemulai perempuan, seniman kelahiran Temanggung, Jawa Tengah, 13 November 1954, ini juga hebat dalam menggarap koreografi tarian populer. Diam-diam dia piawai main pantomim, komedi, dan menyanyi. Kadang, ia sengaja tampil dengan ketiga kemampuan itu. Pasti hasilnya luar biasa.
Putra pasangan Hadiprayitno dan Suminah itu sejak kecil lekat dengan seni. Hobi menggambar ia tekuni di bangku sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah pertama (SMP). Saat itu ia pun rajin berlatih menyanyi, terutama tembang Jawa. Namun, tarilah yang benar-benar menenggelamkannya di kubangan seni. Untuk mencapai kemajuan, setamat sekolah menengah atas (SMA), ia menimba ilmu di Akademi Seni Tari Indonesia di Yogyakarta, cikal bakal Jurusan Tari Institut Seni Indonesia (ISI).
Awal dekade 1980-an, namanya melambung. Hal ini berkat penampilannya pada pentas fragmen tari nini thowok. Nini thowok atau nini thowong adalah semacam permainan rakyat jalangkung yang biasa dimainkan masyarakat Jawa tradisional. Nini thowok sejak itu terus melekat ke mana pun Didik berkarya dan meraih kesuksesan.
Tak ada yang ragu atas dedikasinya di dunia tari. Ratusan penghargaan pernah ia terima. Beberapa karya garapannya, seperti tari Topeng Walang Kekek (1980), Dwimuka (1987), Kuda Putih (1987), Dwimuka Jepindo (1999), dan Topeng Nopeng (1988), jadi bukti keempuannya.
Seniman bernama asli Kwee Tjoen Lian itu menerima kedatangan Singgir Kartana dari Warisan Indonesia di Sanggar Tari Natya Lakshita miliknya di Green Plaza Kav. 7 Jalan Godean Km. 2,8, Yogyakarta, akhir Februari 2012. Berikut petikan wawancaranya.
Kapan Anda mulai menari dengan gaya tarian perempuan?
Sejak sekolah, saya sudah tampil menari. Tapi, kalau tampil dengan pakaian perempuan, dengan sanggul dan kebaya itu, kalau enggak salah tahun tujuh puluh dua. Saat itu, pas acara perpisahan sekolah SMA saya. Saya menari tarian garapan saya sendiri yang saya beri judul Tari Persembahan. Itu merupakan gabungan dua unsur, yaitu Bali dan Jawa.
Anda berguru kepada banyak empu tari tradisional, yang paling berkesan siapa?
Ya, ada lebih dari dua puluh guru yang saya datangi langsung. Di antaranya Ni Ketut Sudjani, I Gusti Gde Raka, Rasimoen, Sawitri, Ni Ketut Reneng, Ibu Suji, empu tari Topeng Cirebon. Saya belajar dari mereka tentang banyak hal. Bukan hanya tari, melainkan juga tentang kearifan. Hampir semua guru tempat saya belajar itu sosoknya rendah hati. Saya juga belajar dari para penari dari negara lain, seperti Sangeeta, Richard Emmert, Sadamu Omura, Jetty Roels, Gojo Masanosuke, serta beberapa nama maestro lain dari sejumlah negara. Semua mengesankan.
Ada kesan khusus yang Anda dapatkan dari para guru itu?
Ya, tentu banyak hal, ya. Akan tetapi, yang paling mengena adalah pesan dari mereka. Intinya, kalau ingin menguasai berbagai gaya tarian, kita mesti melakukan tahapan batin yang disebut emptiness atau mengosongkan diri. Menghilangkan ego kita. Biar cepat menyerap pengetahuan dari guru. Mengosongkan diri tentu berbeda dengan kosong, ya. Mengosongkan diri lebih menekankan pada spirit atau niat menghilangkan ego kita, kesombongan kita, agar terbuka pada hal-hal baru yang belum kita pahami.
Meski tarian Anda berbasis pada tradisi, tetapi tampilan Anda selalu “kocak” dan disukai banyak orang, bagaimana bisa seperti itu?
Itulah pentingnya belajar dari banyak unsur. Kita menjadi kaya referensi. Tapi, yang namanya seni tradisi itu kan kebanyakan sifatnya serius, ya. Kalau kita tampilkan ke khalayak (penonton) yang heterogen, mungkin membosankan. Makanya, saya ramu dalam bentuk koreografi yang menghibur. Misalnya, di sela-sela gerakan serius, saya sisipkan gerakan lucu. Kan jadi segar. Saya senang kalau penonton terhibur.
Bagaimana mengasah kemampuan menarikan tarian perempuan sehingga tampak “nyaris sempurna” sebagaimana Anda lakukan?
Itu proses yang lama saya geluti. Dan, bahkan saya akan terus melakukannya. Begini, sejak kecil, saya memang terbiasa melakukan permainan yang biasa dilakukan para perempuan. Dan, saat mengawali menari, saya lebih condong ke gerakan tari perempuan. Sampai akhirnya saya merasa cocok dengan itu. Koreografi garapan saya juga kebanyakan seperti itu.

Monday, April 9, 2012

"Saman dalam Tradisi dan Budaya Jawa"


Pada masa kerajaan Hindu, Saman memiliki posisi kuat. Lalu tergusur gelombang perubahan yang dibawa Islam. Mereka pun bergerilya berada di balik berbagai karya seni tradisi di desa-desa.
Saman punya sebutan universal, yakni travesty. Sifatnya terbatas, tidak massal, karena amat sarat dengan nilai spiritual. Oleh karena itu, saman jauh dari ingarbingar. Menurut Wisma Nugraha Christianto Rich, M.Hum., istilah itu menunjuk pada laki-laki yang memerankan perempuan.
Orang yang disebut saman dianggap memiliki kemampuan spiritual yang mampu menjadi perantara dunia profan dengan yang sakral sehingga dia dibutuhkan dalam setiap kegiatan ritual pemujaan pada sesuatu yang dianggap sakral. Kebanyakan kesenian yang berakar pada tradisi, secara historis berkaitan dengan keberadaan saman. Kesenian lengger di Banyumas, gandrung di Banyuwangi, dan lain-lain, awalnya ditarikan oleh laki-laki,î kata Wisma Nugraha saat ditemui Warisan Indonesia, awal Maret 2012.
Jejak saman saat ini masih ditemukan pada berbagai tradisi budaya masyarakat, tentu wujud yang pragmatis ataupun profan. Beberapa ritual yang merujuk pada eksistensi seorang saman juga masih ada, misalnya, beberapa dukun di Jawa Timur kabarnya berkelaminí waria.
Di Desa Lakar Santri, Kecamatan Lakar Santri (dekat Kota Surabaya), misalnya, ada makam keramat seorang saman bernama Wongsonegoro. Pada waktu tertentu, sekelompok orang menjalankan ritual tahunan, lengkap dengan pertunjukan seni tradisional.
“Nah, yang menjadi donatur acara tersebut adalah seorang spiritualis waria yang cukup dikenal di kawasan itu,” kata dosen Jurusan Sastra Nusantara, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada (UGM), itu.
Pada masa kerajaan Hindu-Buddha, peran saman dalam ritual kesuburan penting. Dalam penelitiannya tentang kesenian tradisional di Jawa Timur, Wisma Nugraha menemukan adanya korelasi antara ritual dan tradisi pertanian. Posisi saman saat itu penting, baik di masyarakat luas maupun dalam lingkaran kekuasaan. Raja-raja kerap melibatkan mereka dalam ritual. Saman meraih legitimasi kultural dari kerajaan. Sebaliknya, dengan menggandeng para saman, raja-raja bakal menjadi kian berwibawa di mata rakyatnya. Begitulah hubungan simbiosis mutualisme timbul.

"Ayu Laksmi Totalitas “Ni Polos” Mengemban Suara Semesta"


Sontak pintu terbuka lebar. Dari dalam ruangan muncul wanita dalam balutan kain tenun gringsing. Dandanannya mengingatkan pada sosok Ni Polok, penari Bali terkenal pada era 1930-an, yang kemudian menjadi model sekaligus istri Le Mayeur—pelukis dari Belgia yang menetap di Bali.
Halo, akhirnya sampai juga. Susah cari tempatnya, ya?” sambut “Ni Polok modern”, yang melelehkan kepenatan kami setelah satu jam lebih menyusuri jalan-jalan di Denpasar, mencari salon kecantikan Niti’s, tempat Ayu Laksmi didandani agar sesuai dengan pencitraan Ni Polok untuk pemotretan. Bila ketika menjadi lady rocker Ayu biasa mengenakan celana jeans, sekarang penggemar warna putih dan hitam ini lebih suka mengenakan busana tradisional.
“Kain tenun ini asli Tenganan, loh. Koleksi istimewa. Mau keluar dari ruang penyimpanan harus sembahyang dulu,” tutur Ayu Laksmi, menampakkan religiositas Ayu yang kental. Pencapaian rohaninya ia capai lewat proses panjang.
Kelahiran Singaraja, Bali, pada 25 November 1967 ini bernama lengkap I Gusti Ayu Laksmiani. Sebagai bungsu dari empat bersaudara yang dibesarkan seorang ibu, Drg I Gusti Ayu Sri Haryati—karena ayahnya I Gusti Putu Wiryasutha sudah lama meninggal dunia—Ayu tumbuh penuh penjagaan.
“Kemungkinan karena saya anak bungsu, jadi sering dianggap tak mampu. Setiap pengambilan keputusan harus dibantu orang lain, terutama orangtua dan saudara, termasuk memilih pendidikan, memilih model pakaian, rias wajah. Jadi, boleh dikatakan, saya sempat berada di dalam ruang yang ragu dan ada kecenderungan untuk berkata ‘ya’, yang penting orang lain senang,” kata sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Udayana ini.
Menjadi lady rocker adalah bagian dari pemberontakannya. Kebetulan pada 1986, dengan bekal prestasi dalam kontes menyanyi di Bali, seorang produser dari Jakarta membukakan pintu bagi Ayu untuk menjadi lady rocker yang dikenal secara nasional. Setelah lepas dari bayang-bayang keluarga, idealisme sebagai seniman semakin tumbuh. Berlembar-lembar syair digubahnya. Namun, oleh produsernya, semua dianggap terlalu berat untuk pasar musik.
Pada masa ‘ketidakberdayaan’ itu, Ayu kembali ke Bali. Demi hidup, ia yang punya hobi jalan-jalan, menyetir mobil, menikmati alam, dan bergaya di depan kamera ini tak peduli lagi cap artis Ibu Kota yang pernah disandangnya. Ayu berjualan karpet, menjadi penyanyi di kapal pesiar, dan membuka kafe yang akhirnya bangkrut.
“Saya mulai memasuki ruang kemandirian. Bahkan, sering jadi kelewatan mandirinya, sampai-sampai sering mengundang kekhawatiran orangtua dan saudara-saudara saya. Sering ada pernyataan ‘leave me alone, let me decide it by myself’ dalam pikiran saya, walau itu tak terucapkan.”

"Perkawinan Adat Sikka, Flores: Emas Kawin dan Martabat Perempuan"

Pernikahan adalah juga pertalian kekerabatan antara kedua pihak turun-temurun karena itu asal-usul emas kawin mesti diselidiki.
Seperti perkawinan adat suku-suku di Nusantara yang menganut garis laki-laki (patriarki), emas kawin bagi mempelai perempuan memegang peranan utama. Begitu juga dalam perkawinan adat Sikka, Kabupaten Sikka, Flores, emas kawin yang disebut ling weling atau belis memegang peranan utama.
Tradisi perkawinan ini mengacu pada ungkapan: Daaribangnopok, kolitokar (ribang: batu asahan; nopok: aus; koli: lontar; tokar: tinggi lagi tua) yang maknanya: pertalian kekerabatan antara kedua pihak akan berlangsung terus-menerus dengan saling memberi dan menerima sampai turun-temurun. Untuk itu hendaklah asal-usul emas kawin itu kita selidiki (Mandalangi Pareira: 1988).
Menurut sejarah lisan yang berkembang di masyarakat setempat, emas kawin ini diatur sejak pemerintahan raja perempuan, bernama Du’a Ratu Dona Maria, yang memerintah sekitar abad ke-17.
Pada masa itu pernah terjadi perselisihan yang mengakibatkan pertumpahan darah, yang disebabkan ulah laki-laki tak senonoh kepada anak-anak gadis ataupun perempuan yang telah berkeluarga. Maka bertindaklah raja, setelah berunding dengan para tetua adat, untuk melindungi martabat perempuan. Ketetapan itu dituangkan ke dalam sastra lisan, dengan petikan:
“Ata du’autangnahanora ling, Ata du’alabungnahanoraweling, Ata la’Iumingnahanora ling. Ata la’Iwatuknahanoraweling. Ata du’asuwurnahalopalebung. Ata du’asokingnahalopabatu”.
(Sarung wanita berharga, baju wanita bernilai, kumis lelaki berharga, janggut lelaki bernilai. Sanggul wanita jangan dibongkar, tusuk emasnya jangan dijatuhkan).
Moralitas dari sastra lisan ini, menurut budayawan setempat, Oscar Pareira Mandalangi, wanita harus dihargai tinggi, sebagai piñata periuk barang-barang langka pada masa lampau. Demikian juga tudimanu (pisau dan ayam), yang dimaksudkan sebagai emas dan gading.

"Sisi Lain Perempuan Bali"


Karakter perempuan Bali sering digambarkan secara streriotif, sebagai figur manusia beretos kerja tinggi, ulet, mandiri, dan memiliki bakti yang tinggi pada keluarga.  Tidak ada masalah bagi perempuan Bali untuk mengembangkan diri sebagai seorang profesional di bidang karier yang digelutinya yang disumbangkan pada kesejahteraan keluarga.
Perempuan Bali memainkan lakon yang multidimensi dan multijender, sebagai perempuan, pekerja, anggota keluarga, dan warga banjar, serta sebagai penyelenggara praktik keagamaan. Praktik agama Hindu adat Bali hampir bisa dipastikan digerakkan oleh mayoritas kaum perempuan.
Namun, sering kali beban berat yang disandang sebagian besar kaum perempuan Bali itu tidak sepadan dengan hak-hak yang mereka dapatkan. Fenomena ini memunculkan pertanyaan, seperti apa ideologi patriarki bekerja dalam keluarga Hindu adat Bali? Bukankan secara kultural perempuan Bali relatif memiliki kemandirian dan kebebasan untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan?
Lalu apa yang menyebabkan kemandirian itu tidak membuahkan keadilan terhadap hak-hak hidup kaum perempuan Bali? Hak-hak mana yang telah tercerabut dari diri kaum perempuan Bali?

"Perantau Flores – Antara Kesetiaan Adat dan Gereja"


Sudah sejak dulu orang Flores merantau. Kini tak hanya keluarga terpandang, yang miskin pun lebih senang bekerja di kota, meski sebagai buruh kasar. Di perantauan mereka mencoba setia dengan adat dan gereja.
Adalah Helmi Johannes, wartawan dan penyiar televisi yang sekarang bekerja di Washington DC, membenarkan hal itu. Putra pahlawan nasional asal Pulau Rote, Flores, Prof. Herman Johannes, yang juga mantan penyiar berita sebuah stasiun televisi swasta, ini lahir dan dibesarkan di Yogyakarta.
Kepada Warisan Indonesia, Helmi mengatakan bahwa warga asal pulau-pulau sekitar Flores memang sejak lama senang mengembara. Ia pun menyebut nama-nama sejumlah tokoh intelektual, pejabat sipil, kepolisian, serta wartawan asal Flores. Sayang, tak ada perincian mengapa mereka meninggalkan kampung halamannya dan membuat penghidupan baru di perantauan.
Ayah Helmi berasal dari pulau bagian paling selatan wilayah Indonesia yang miskin. Sebagian warganya hidup sebagai nelayan tradisional yang mencari penghidupan dengan melintasi batas-batas negara. “Banyak dari mereka ditangkap Pemerintah Australia. Mereka secara turun-temurun sudah melakukannya dan tidak mengenal masalah geografis,” ujar Helmi.
Penuturan itu seakan menepis kesan, yang pernah ada dalam benak sebagian orang bahwa perantau dari kawasan Nusa Tenggara Timur (NTT), terutama Flores, dipelopori kaum elite setempat. Meskipun memang benar bahwa merekalah yang memiliki akses informasi dan bekal uang sehingga bisa pergi ke wilayah yang mereka idam-idamkan untuk menuntut ilmu. Setelah bekerja keras dalam beberapa dekade mereka menjadi kelompok orang yang hidup mapan di kota-kota besar.
Daerah utama tujuan perantau adalah Pulau Jawa, Sulawesi, juga Australia. Konon mereka menganggap bahwa Jawa merupakan tanah subur dan menjanjikan serta jauh lebih maju. Sarana pendidikan modern menjadi faktor penting, mengapa keluarga berada mengirimkan anak-anaknya belajar di kota, seperti Yogyakarta, Jakarta, Surabaya, dan juga Bandung.
Sebagian lagi memilih merantau ke Sulawesi karena telah ada jalinan hubungan panjang mengingat kerajaankerajaan di sana pernah menguasai sebagian wilayah NTT. Sementara Australia menjadi tujuan lain karena pengaruh gereja. Mayoritas warga Nasrani memandang orang-orang Belanda sebagai saudara bukan penjajah.Hal ini karena dulu mereka mengenal Injil dari misionaris Barat.

"TORAJA: Tradisi Terkoyak Ambisi"


Upacara rambu solo’ merupakan ritual tertinggi yang dilestarikan Suku Toraja. Banyak yang mengeluarkan biaya miliaran rupiah untuk menyelenggarakan upacara tersebut karena mereka percaya, betapa berharganya memberikan persembahan terbaik bagi orangtua yang meninggal. Menurut mitologi Toraja, kehidupan bermula di langit.
Desember 2011, Toraja ramai dengan penyelenggaraan rambu solo’. Hal itu, antara lain, diselenggarakan oleh keluarga besar Philipus Tappi di Tongkonan Limbong, Kelurahan Sereale, Kecamatan Tikala, Kabupaten Toraja Utara, dan oleh keluarga besar Agnes Datu Sarongallo di Tongkonan Siguntu’, Kelurahan Nonongan, Kecamatan Sopai, Kabupaten Toraja Utara. Kedua penyelenggaraan rambu solo’ itu masing-masing memakan biaya lebih dari Rp 50 miliar karena selain memakan waktu panjang rata-rata dua minggu, juga dihadiri oleh ribuan orang—dari kalangan keluarga, undangan, bahkan yang datang sebagai turis sehingga selain harus membeli ratusan kerbau—sebagai simbol kendaraan tokoh yang meninggal menuju alam puya—juga menyembelih ratusan ekor babi—yang dalam bahasa Toraja disebut bai—untuk konsumsi selama upacara.
Rambu solo’ adalah upacara kematian, yang merupakan ritual tertinggi—bahkan lebih tinggi daripada ritual pernikahan—dalam aluk todolo, kepercayaan leluhur nenek moyang suku Toraja yang masih dijalani oleh sebagian besar masyarakat Toraja sampai sekarang. Menurut kepercayaan aluk todolo—yang konon sejak 1970 resmi diterima di sekte Hindu Bali—itu, setelah melalui hidup yang hanya sementara ini, manusia akan menuju alam puya, yaitu perhimpunan arwah sebelum menjadi dewa. Hubungan yang terjalin antara yang masih hidup dan yang sudah meninggal didasari pemikiran bahwa bahwa nenek moyang mereka tetap memelihara dari langit.
Dalam kehidupan seharian masyarakat Toraja, aluk todolo diwujudkan dalam dua upacara yang berkaitan dengan kehidupan manusia, yaitu upacara kesenangan (rambu tuka’) dan upacara kematian (rambu solo’). Namun, yang paling menonjol adalah upacara kematian. Hal itu karena bila mengikuti kepercayaan tersebut, masyarakat Tana Toraja hidup untuk mendapatkan kehidupan berikutnya. Bila biasanya kematian diidentikkan dengan kesedihan, bahkan harus diratapi, karena ditinggal oleh yang meninggal, aluk todolo melihatnya dari pemikiran yang positif, yaitu bahwa kematian terjadi karena kasih sayang leluhur yang mengajak yang dikasihinya itu untuk kembali ke asal.
Dengan demikian, ketika yang meninggal itu tiba di tempat asal, akan disambut dengan sukacita oleh leluhurnya. Dalam salah satu tulisannya, Prof. Dr. H. Abu Hamid, antropolog dari Universitas Hasanuddin, Makassar, mengatakan bahwa penganut aluk todolo memandang hidup ini sebagai proses untuk mencapai yang lebih tinggi dan suci.
Itu sebabnya seorang perempuan penderita kanker, yang semula nyaris putus asa lantaran merasa tak siap menghadapi kematian, menjadi muncul kepercayaan dirinya setelah ke Toraja dan melihat makna kematian menurut aluk todolo. Dan perempuan itu, Helen Marshall, fotografer dari Inggris, kemudian pada 5-12 Januari 2012 memamerkan foto-foto menarik tentang Toraja di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) bersama Risang Yuwono.

"Jiwa Bangsa yang Hilang Jiwa"

Foto: Hardy Mendröfa
“Banyak orang cemas lalu bertanya-tanya, apakah di negeri ini masih ada pahlawan. Tetapi, kalau kita simak di daerah-daerah, tidak perlu ragu karena masih banyak perbuatan kepahlawanan yang tidak seharusnya membuat kita khawatir, ”begitu antara lain kata Andi Noya, “rajanya”Kick Andy, acara bincang-bincang di Metro TV, dalam Kick Andy Heroes Award 2011, beberapa waktu lalu.
Salah satu pahlawan versi Kick Andy ialah Johanes Barnabas Ndolu, yang berasal dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Ia adalah seorang kepala adat yang berjuang justru melawan adat. Ternyata,adat telah melakukan “penindasan” terhadap masyarakat yang membuat warga terbelit utang, Ada upacara yang mewajibkan urunan sumbangan tertentu kepada anggota masyarakat untuk pesta besar-besaran yang akhirnya mencekik leher semua orang.
Berkat upaya Johanes, tekanan untuk menyumbang— dengan iming-iming akan juga disumbang pada giliran menyelenggarakan pesta—dialihkan. Hajat yang tidak sedikit menguras biaya itu dialihgunakan menjadi pengumpulan dana masyarakat untuk pendidikan masa depan putra-putri Rote. Perjuangan tersebut tak sedikit mendapat tantangan. Akan tetapi, jumlah desa yang berhasil ditaklukkan Johanes berhasil mematahkan hati ketiga juri (Romo Mudji Sutrisno, Dr. Komaruddin Hidayat, dan Dr. Imam Prasodjo), hingga kemudian menobatkannya sebagai salah satu dari 7 Pahlawan Kick Andy.
Apa yang dilakukan oleh Johanes sesungguhnya adalah penafsiran baru terhadap gotong royong. Pengumpulan sumbangan dari masyarakat untuk mewujudkan pesta, tentu rasio awalnya dulu adalah meringankan beban anggota masyarakat yang bertanggung jawab atas pesta. Biaya itu akan kembali kepada pemiliknya kelak. Akan tetapi, karena adat menetapkannya sebagai keharusan yang mutlak dengan segala sanksi sosialnya, kearifannya menjadi luntur.Kebijakan adat atau tradisi itu berubah menjadi kezaliman.
Dengan mengalihkan arah dari pesta ke pendidikan, Johanes sebenarnya tetap mempertahankan ide “mendukung bersama” beban masyarakat. Tetapi untuk itu, ia harus melakukan pendekatan dan diplomasi sedemikian rupa sehingga kata menentang, melabrak, dan melawan bisa berbunyi melempangkan tujuan dengan target yang positif.

"Seni Tradisi Jangan Punah"

Foto: Hardy Mendröfa
Demi melestarikan kesenian tradisional, pementasan atau pertunjukkan kini dimodernisasi menyesuaikan dengan jaman._ Tetap berupaya melakukan tranformasi nilai tradisional ke dalam kehidupan urban dijalani.
Beberapa mantan model yang tenar di era 70-an, di kala senggangnya kini sering berkumpul. Ada Nana Krit, Meidyana Maemunah alias Memes, Andang Gunawan, Chitra Triady, juga sering berkumpul untuk berlatih tari. Bukan tari modern, melainkan tari tradisional. Yakni tari Jawa yang memang sebenarnya tidak mudah untuk dilakukan. Namun, demi untuk melestarikannya, mereka rela bersusah payah berlatih.
Nana Krit, mengaku dunia tari memang bukan hal baru baginya. Saat kecil dan remaja, ia memang sudah mulai menari. Maklum, masa kecil dan remaja dijalankan di Solo.  “Nah, di sana ya anak-anak sudah mulai diajarkan menari Solo,” ungkapnya.
Namun, ketika dewasa dan tinggal di Jakarta, kota urban, membuat ia meninggalkan dunia tari. Baru beberapa tahun belakangan, dia kembali menggeluti dunia tari tradisional.  “Saya sempat bergabung bersama paguyuban wayang Kunti Nalibroto, dan sekarang bersama-sama mantan model membentuk Banyumili,” kata Nana yang belakangan sibuk menjalani bisnis event organizer-nya itu.
Belakangan, memang banyak pagelaran kesenian tradisional yang digerakkan oleh kalangan perempuan, kebanyakan kalangan ibu-ibu pejabat, istri pengusaha dan tokoh terkemuka, atau ibu-ibu dari kalangan menengah atas maupun kaum sosialita. Selain Banyumili, ada juga paguyuban wayang Kunti Nalibroto yang dimotori mantan model era 70-an Ratih Dagdo Subroto yang sudah duluan dengan menggelar lebih dari tujuh kali pentas wayang orang putri di beberapa tempat di Jakarta, atau Mitra Wayang Indonesia yang dimotori oleh Atilah Soeryadjaya, yang bulan lalu sukses mempergelarkan wayang orang bertajuk Srikandi Kembar Lima.

"‘Opera Van Java’ Meramu Tradisi di Televisi"


Foto: Istimewa
Menggunakan konsep pewayangan, Opera Van Java (OVJ) pun mendulang sukses. Selain hiburan, OVJ jadi ‘bandul’ pengingat keberadaan kesenian tradisional di Indonesia.
CERITA-cerita legenda yang sangat popular di masyarakat Indonesia, kembali dipopulerkan stasiun tv Trans 7 lewat sebuah acara bertajuk Opera Van Java (OVJ). Namun demikian, OVJ akan dihadirkan dengan gaya komedi. Ada kisah tempo dulu yang berupa cerita legenda di masyarakat. Misalnya tentang Ande-ande lumut, Timun Mas, Joko Kendil, Lutung Kasarung, dan lainnya.
Namun, ada juga yang diambil dari tema keseharian, suatu fenomena yang tengah menarik di masyarakat saat ini. Namun, apapun ceritanya, konsepnya memang selalu pewayangan.
“Konsepnya memang pewayangan. Ada dalang, sinden, gamelan, dan wayang orangnya yang diperankan dengan pemain tetap dan bintang-bintang tamu. Tapi ceritanya nggak harus cerita rakyat dari Jawa,” ujar Andi Chairil, kepala Departemen produksi Trans 7, di Gedung Trans TV, di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Dalam acara tersebut, Parto “Patrio” berperan sebagai seorang dalang yang berwenang mengatur alur cerita pada setiap cerita yang dimainkan. “Sisi edukasi yang ingin kami tampilkan pada sitkom ini nilai-nilai kebudayaan Indonesia yang sangat kaya, yang bisa saja sudah dilupakan anak-anak jaman sekarang,” katanya.
Sementara, peran sinden dibawakan oleh perempuan yang selama ini dikenal sebagai penyanyi pop. Berganti-ganti, tetapi yang paling sering tampil adalah Dewi Gita.
Para sinden itu, dituntut untuk berimprovisasi serta menyanyikan beberapa buah lagu dengan gaya khas seorang sinden. “Yang menarik dalam acara ini adalah setiap cerita yang akan dimainkan hanya diketahui Parto, sang dalang.

"Papua, Cinta yang Terabaikan"


Anton Bayu Samudra
Kalau saja masih hidup, Johanes Abraham Dimara, pejuang Papua, pasti akan menangis. Sebab, konflik di Papua yang sudah ada sejak tahun 1960-an ternyata sampai tahun 2011 ini masih ada. Bahkan, masih ada yang berupaya mengibarkan bendera “Bintang Kejora”—bendera Papua merdeka.
Semasa hidupnya, Johanes Abraham Dimara (J.A. Dimara), meskipun tidak banyak dikenal di kalangan generasi muda Papua, diakui sebagai salah seorang putra Papua yang terlibat langsung dalam seluruh rangkaian perjuangan pembebasan pulau paling timur di Indonesia itu, sejak masih bernama Irian Barat. Anggota TNI berpangkat Mayor itu mengikuti perjuangan sejak sebelum Operasi Trikora sampai proses penyelesaian secara politik diplomasi di forum PBB.
Bila melihat sejarahnya, Provinsi Papua berdiri pada 10 September 1969 dengan nama Irian Jaya, setelah sebelumnya dikenal dengan nama Irian Barat. Bila wilayah-wilayah lain di Indonesia dapat dibebaskan dari cengkeraman penjajah, pada lima tahun sesudah Proklamasi 17 Agustus 1945, pembebasan Irian Jaya melalui proses yang panjang.
J.A. Dimara, yang semula adalah guru agama di Ambon, mengikuti perjuangan sejak membantu Yos Sudarso dalam Ekspedisi Merah Putih di Maluku. Setelah masuk-keluar penjara, ia terbawa ke Makassar, dan di situlah ia berjumpa Bung Karno saat Presiden RI itu meninjau rumah sakit tempat Dimara dirawat. Selanjutnya, ia dipercaya sebagai ketua Organisasi Pembebasan Irian Barat (OPI) yang membuat dirinya kembali masuk penjara. Sekeluar dari penjara, ia diminta Bung Karno bergabung dengan rombongan Menlu ketika itu, Dr. Soebandrio, ke PBB untuk ikut memperjuangkan Pembebasan Irian Barat di forum internasional.
Tidak mengherankan, di dalam buku biografinya J.A. DIMARA, Lintas Perjuangan Putra Papua (Carmelia Sukmawati, 2000)—yang diberi pengantar, antara lain, oleh Megawati Soekarnoputri dan Jenderal (TNI) Try Sutrisno—diceritakan, betapa dalam keadaan sakit pun semangat keindonesiaannya tak kunjung padam. Ia terus bersuara lantang menyerukan perlunya persatuan bangsa ini.

"PUANG UPE’ Bissu Penjaga Rakkeang Kuning"

Junaidi Sudirman
Kendati telah surut, peran bissu masih ada di masyarakat Bugis. Mereka menjadi tempat berlindung bagi para wadam agar dapat diterima dalam kehidupan. Warga masih kerap datang untuk memohon agar keinginannya terkabul.
Si pria langsing menghunus pelan alameng dari sarungnya yang berlapis kuningan dan berbalut kain putih. Sebilah pedang berlapis serbuk putih yang tipis muncul. Lelaki berdada rata yang tampak doyong itu segera mencium pedang tersebut seraya memejamkan mata kemudian memasukkannya lagi ke sarungnya.
Lelaki itu bernama Puang Upe’. Umurnya sekisar 50 tahun. Ketika mendiang Puang Matoa Saidi memimpin komunitas Bissu Dewatae, Puang Upe menjadi Puang Lolo—bahasa Bugis yang berarti ‘pemimpin muda’—sebutan untuk jabatan wakil Puang Matoa. Ia mengemban tugas ini sejak 2001, bersamaan dengan saat Puang Saidi dilantik menjadi Puang Matoa.
“Tadi, yang putih itu adalah bedak, untuk mencegah karat, Nak,” kata Puang Upe’ dalam bahasa Bugis yang cepat di kediamannya pada akhir Februari 2012. ‘Nak’ merupakan panggilan yang sering meluncur dari bibir Puang Upe’ ketika bercakap dengan siapa saja.
Alameng, pedang pusaka pemimpin komunitas Bissu Dewatae, kini tersimpan di rumah panggung sederhana Puang Upe’ di Bonto Te’ne, Kecamatan Segeri, Pangkajene Kepulauan, sekitar 60 kilometer sebelah utara Kota Makassar. Kendati Puang Upe’ kini sebagai pemegang alameng, tetapi kenyataannya ia belum resmi menyandang gelar “Puang Matoa” karena belum melalui upacara pelantikan.
Selain alameng, di rumah Puang Upe’ juga ada tanda kebesaran dan perlengkapan upacara bissu lainnya:
[1] Paccoda’, sebatang kayu bersegi delapan yang terbungkus kain kuning cerah yang dibawa oleh Puang Lolo; [2] Tolousu dan arumpigi berupa kayu berongga atau bambu berujung kepala ayam berisi butiran dan mengeluarkan bunyi bila diguncang yang dibalut kain merah—keduanya dibawa oleh anak bissu—mengingatkan pada hewan peliharaan sang pencipta jagat I La Galigo, Patoto’e (Sang Penentu Nasib), dan [3] Lellu Patara, pemayung dari kain cinde segi empat yang setiap sudutnya berbatang penunjang.
Pergantian kepemimpinan bissu Segeri terjadi bila sang pemimpin meninggal. Ketika Puang Saidi meninggal pada 28 Juni 2011, terjadi pro dan kontra tentang pergantian kepemimpinan ini. Menurut antropolog Universitas Negeri Makassar, Halilintar Lathief, penyigi yang telah 30 tahunan meneliti bissu, pergantian itu dilakukan di depan jasad Puang Matoa sebelum dikuburkan. Entah mengapa hal itu lalu diurungkan

Friday, April 6, 2012

pencuri Karet Divonis Satu Tahun

SIDOREJO- Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Lubuklinggau menghukum Adud selama 1 tahun penjara. Warga Desa Bangun Rejo, Kecamatan Suka Karya Kabupaten Musi Rawas (Mura) terbukti mencuri 5 kepingan karet milik Ribut wahono 28 juni 2010.
Amar putusan yang ditetapkan majelis hakim diketuai Ahmad Samuar dengan anggota hakim Salomoan dan——– serta dibantu Panitera Pengganti (PP) Armen lebih rendah satu tahun dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Faisyal. Sebelumnya JPU menuntut 1,5 tahun dikurangi selama berada dalam tahanan.
“Setelah mendengar keterangan saksi-saksi, pengakuan terdakwa dan bukti yang terungkap dalam persidangan, kami berkesimpulan Adud terbukti melanggar pasal 363 ayat ke I ke 3 dan ke 4 KUHP,” kata hakim Ahmad Samuar.
Adapun hal-hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat dan merugikan orang lain. Sedangkan, hal-hal meringankan terdakwa mengakui terus terang perbuatannya dan terdakwa tulang punggung keluarga.
Dalam persidangan terungkap Adut yang tamatan SD ini mencuri 5 kepingan karet milik Ribut wahono 28 juni 2010 lalu bersama rekanya dengan cara dipikul. lalu di jual dengan harga Rp 8000.000 rupiah. (Mg02)